5 Alasan Menjadi Vokal Dianggap Kurang Adab, Mengapa?

Berbicara secara tegas dan jujur sering kali dianggap kurang adab dalam budaya yang menjunjung tinggi kesopanan. Terutama di Indonesia, menjadi vokal sering dipandang negatif karena orang terbiasa menjaga perasaan dan menghindari konflik. Hal ini sudah diajarkan sejak kecil sehingga banyak yang tumbuh dewasa dengan anggapan bahwa berbicara lantang sama dengan tidak menghormati orang lain.
Padahal, vokal tidak selalu berarti tidak sopan. Banyak orang vokal karena ingin menyampaikan kebenaran atau memperjuangkan keadilan. Sayangnya, masyarakat sering kali lebih fokus pada nada bicara daripada substansi kritik yang disampaikan. Penasaran kenapa menjadi vokal dianggap kurang adab? Yuk, simak lima alasan kenapa menjadi vokal sering dianggap kurang adab!
1. Budaya menjaga perasaan yang terlalu kuat

Di Indonesia, menjaga perasaan orang lain sudah menjadi nilai budaya yang dijunjung tinggi. Sejak kecil, banyak yang diajarkan untuk tidak berbicara blak-blakan agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Akibatnya, kejujuran sering kali dikorbankan demi kesopanan. Saat seseorang berbicara dengan tegas dan jujur, orang lain cenderung merasa tersinggung dan menganggapnya kurang adab.
Budaya ini membuat banyak orang lebih fokus pada cara bicara daripada isi pesan yang disampaikan. Orang yang vokal dianggap tidak menghargai perasaan orang lain, padahal tujuannya hanya ingin menyampaikan kebenaran. Dalam situasi seperti ini, pesan penting yang ingin disampaikan jadi terabaikan hanya karena dianggap terlalu keras atau tidak sopan.
2. Kritik konstruktif yang tidak pernah dibangun

Kritik konstruktif seharusnya membantu orang menjadi lebih baik. Sayangnya, banyak yang tidak terbiasa menerima kritik dengan cara yang sehat. Akibatnya, setiap kritik dianggap sebagai serangan pribadi, terutama jika disampaikan secara tegas. Ketidakbiasaan ini membuat kritik yang seharusnya membangun malah dipandang sebagai sikap kurang adab.
Budaya yang tidak terbiasa menerima kritik membuat masyarakat lebih fokus pada nada suara daripada substansi kritik itu sendiri. Orang cenderung tersinggung dan menganggap kritik sebagai bentuk ketidaksopanan. Padahal, jika diterima dengan lapang dada, kritik bisa menjadi umpan balik yang sangat berguna untuk perbaikan.
3. Fokus pada nada bicara daripada substansi kritik

Masyarakat sering kali lebih fokus pada nada bicara daripada isi kritik yang disampaikan. Saat seseorang menyampaikan kritik dengan nada tegas, mereka langsung dicap kasar atau tidak sopan. Padahal, yang seharusnya menjadi perhatian adalah substansi dari kritik tersebut, bukan cara penyampaiannya.
Fokus yang berlebihan pada nada bicara ini membuat banyak orang lebih sibuk merasa tersinggung daripada introspeksi. Mereka lebih memilih untuk membela diri daripada merenungkan kebenaran dari kritik yang disampaikan. Akibatnya, pesan penting yang ingin disampaikan sering kali tidak sampai ke penerima kritik.
4. Anggapan bahwa kebenaran harus disampaikan dengan lembut

Banyak yang percaya bahwa kebenaran harus disampaikan dengan lembut agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Pandangan ini membuat orang yang menyampaikan kebenaran secara tegas dianggap kurang adab. Padahal, tidak semua kebenaran bisa disampaikan dengan kata-kata yang manis, terutama jika menyangkut masalah yang sensitif atau penting.
Harus diakui, kenyataan memang sering kali pahit dan tidak selalu bisa disampaikan secara halus. Kadang-kadang, kebenaran perlu disampaikan apa adanya tanpa melunakkan kata-kata agar pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami dengan jelas. Sayangnya, masyarakat yang terbiasa dengan kata-kata lembut cenderung sulit menerima kenyataan yang pahit.
5. Stigma negatif terhadap sikap vokal dalam masyarakat

Sikap vokal sering kali diasosiasikan dengan perilaku kasar dan tidak sopan. Di Indonesia, orang yang vokal sering kali dicap sebagai pemberontak, pengacau, atau bahkan pembuat masalah. Hal ini membuat banyak orang takut untuk menyuarakan pendapatnya secara tegas karena khawatir dicap negatif oleh masyarakat.
Stigma ini juga terlihat dalam pandangan negatif terhadap para pendemo yang sering dianggap buang-buang waktu atau cari masalah. Padahal, menyuarakan pendapat secara vokal adalah bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum. Sayangnya, stigma negatif ini membuat banyak orang memilih diam daripada berisiko dicap kurang adab.
Stigma negatif menjadi vokal dianggap kurang adab membuat banyak orang enggan menyuarakan pendapatnya secara tegas. Padahal, vokal tidak selalu berarti tidak sopan. Sudah saatnya masyarakat lebih fokus pada isi kritik daripada cara penyampaiannya agar bisa lebih terbuka dalam menerima masukan dan memperbaiki diri.