Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Diam-Diam Menyabotase Self Love, Terlihat Produktif

ilustrasi membandingkan diri di media sosial (freepik.com/freepik)
ilustrasi membandingkan diri di media sosial (freepik.com/freepik)

Di tengah arus hustle culture yang makin kencang, banyak orang merasa harus terus bergerak, berkarya, dan menghasilkan sesuatu. Terlihat produktif jadi semacam status sosial baru, semakin sibuk, semakin dianggap sukses. Tapi, tanpa disadari, beberapa kebiasaan yang terkesan positif ini justru pelan-pelan menggerogoti hubungan dengan diri sendiri. Alih-alih merawat self love, kita malah menumpuk tekanan yang bikin kepala dan hati makin keruh.

Self love itu bukan sekadar me time dengan sheet mask dan kopi susu di sore hari. Lebih dalam dari itu, self love berarti menerima, memaafkan, dan mendengarkan diri sendiri. Sayangnya, banyak kebiasaan yang kelihatan niat ternyata malah menjauhkan dari esensi itu. Bisa jadi, selama ini yang dilakukan cuma bungkus luar dari cinta diri, tapi isinya penuh tuntutan dan ekspektasi. Yuk, coba tengok kebiasaan-kebiasaan berikut ini, siapa tahu tanpa sadar udah jadi rutinitas.

1.Terlalu sibuk sampai gak punya waktu untuk diri sendiri

ilustrasi sibuk (freepik.com/freepik)
ilustrasi sibuk (freepik.com/freepik)

Mengejar deadline, rapat bertubi-tubi, atau proyek yang gak ada habisnya memang bikin diri terlihat super produktif. Tapi ketika semua waktu habis untuk kerja dan aktivitas luar, kapan sebenarnya bisa duduk tenang dan mendengar isi kepala sendiri? Ketika tubuh terus bergerak tapi jiwa merasa kosong, itu tanda jelas bahwa self love sedang diabaikan. Terlalu sibuk justru bisa menjauhkan dari momen reflektif yang penting untuk merawat koneksi dengan diri sendiri.

Gak semua kesibukan bernilai positif kalau akhirnya bikin burnout dan jauh dari kebahagiaan personal. Merasa bersalah saat ingin istirahat atau menunda pekerjaan adalah gejala umum dari kebiasaan ini. Produktivitas jadi topeng untuk menutupi rasa tidak cukup yang terus menghantui. Padahal, menyisihkan waktu hanya untuk bernafas dan menikmati kesendirian itu bagian penting dari cinta pada diri sendiri.

2.Terlalu perfeksionis dan gak pernah puas

ilustrasi perfeksionis (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi perfeksionis (freepik.com/pressfoto)

Keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik emang terdengar mulia. Tapi kalau terus-menerus merasa hasil kerja gak pernah cukup bagus, itu bukan lagi usaha sehat, tapi tekanan yang menyiksa batin. Perfeksionisme bisa jadi jebakan beracun yang menyamar sebagai standar tinggi, padahal diam-diam mengikis rasa bangga pada diri sendiri.

Setiap kegagalan kecil terasa seperti bencana besar karena standar yang dipasang gak manusiawi. Alih-alih merayakan progres, fokus malah tertuju pada kekurangan yang sebenarnya gak signifikan. Ini bukan soal memperbaiki diri, tapi soal mengakui bahwa diri juga punya batas dan itu gak masalah. Self love tumbuh dari penerimaan, bukan dari terus-menerus merasa kurang.

3.Membandingkan diri terus-menerus di media sosial

ilustrasi membandingkan diri di media sosial (freepik.com/freepik)
ilustrasi membandingkan diri di media sosial (freepik.com/freepik)

Scroll media sosial bisa jadi hiburan, tapi seringnya malah jadi racun yang bikin diri merasa tertinggal. Lihat orang lain liburan, punya bisnis, atau menikah, semua terlihat mulus dan penuh pencapaian. Tanpa sadar, pikiran mulai bertanya, "Kenapa hidupku gak seberwarna itu?" Padahal, yang dilihat cuma potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan keseluruhan ceritanya.

Membandingkan diri secara konstan bikin lupa menghargai perjalanan pribadi. Setiap langkah kecil yang udah dicapai terasa kurang berharga karena selalu ada orang lain yang lebih. Akhirnya, rasa syukur memudar, dan self love perlahan ikut lenyap. Padahal, satu-satunya kompetisi yang sehat adalah dengan diri sendiri, bukan dengan editan highlight orang lain.

4.Menolak bantuan karena merasa harus kuat sendiri

ilustrasi menolak bantuan (freepik.com/katemangostar)
ilustrasi menolak bantuan (freepik.com/katemangostar)

Di tengah budaya yang memuja kemandirian, minta bantuan sering dipersepsikan sebagai kelemahan. Banyak orang lebih memilih menanggung beban sendiri daripada dianggap gak mampu. Tapi, semakin keras memaksa diri untuk kuat sendirian, semakin besar tekanan yang dipikul. Ini bukan bentuk cinta pada diri, tapi semacam kekerasan halus yang dibungkus ego.

Self love juga berarti tahu kapan butuh dukungan dan berani menerimanya tanpa rasa malu. Semua orang punya titik rapuh, dan membuka ruang untuk orang lain hadir justru menunjukkan keberanian. Menolak bantuan demi terlihat tangguh hanya akan memperdalam luka dalam diam. Kadang, kekuatan sejati justru ada saat berani bilang, "Aku butuh pertolongan."

5.Terus-menerus membuat to do list tanpa memberi ruang untuk istirahat

ilustrasi membuat to do list (freepik.com/freepik)
ilustrasi membuat to do list (freepik.com/freepik)

To do list memang alat penting untuk mengatur waktu, tapi kalau isinya penuh tanpa jeda, itu bukan manajemen waktu, tapi jebakan stres. Menyusun daftar panjang tugas setiap hari bisa jadi ilusi produktivitas yang malah bikin overthinking. Merasa belum layak istirahat sebelum semua poin selesai itu pola pikir berbahaya yang kerap tak disadari.

Istirahat dianggap kemewahan, bukan kebutuhan, dan ini bisa mengikis self worth secara perlahan. Padahal, tubuh dan pikiran juga butuh recharge supaya tetap waras dan kreatif. Memberi ruang kosong dalam jadwal itu bentuk cinta paling sederhana tapi paling berdampak. Bukan seberapa banyak yang dilakukan, tapi seberapa sehat proses menjalaninya.

Self love bukan tentang menjadi sempurna atau terlihat paling sibuk. Justru, mencintai diri sendiri berarti tahu kapan harus berhenti, kapan harus bilang cukup, dan kapan harus mulai mendengarkan isi hati. Produktivitas memang penting, tapi gak boleh jadi alasan untuk terus menyakiti diri sendiri secara perlahan. Saat mulai menyadari pola-pola sabotase ini, di situlah self love bisa tumbuh lebih jujur dan sehat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kirana Mulya
EditorKirana Mulya
Follow Us