Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kecemasan Kolektif yang Membuat Merasa Telat dalam Hidup

ilustrasi sedang cemas (freepik.com/freepik)
ilustrasi sedang cemas (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Kecemasan pada masa peralihan seringkali muncul karena tekanan sosial dan digital
  • Mengurangi waktu scroll media sosial bisa membantu keluar dari pikiran toksik
  • Tekanan untuk sukses finansial dan karier di usia 25 dapat memicu kecemasan kolektif
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menginjak usia 20–30an, banyak dari kita yang merasa sedang dikejar-kejar waktu. Ada hal mendesak yang membuat kita gelisah saat melihat teman sudah lebih maju. Ada yang sudah menikah, punya rumah, merintis bisnis, sukses dalam pekerjaan, sementara kita masih berkelahi dengan pikiran kita sendiri.

Pada masa peralihan (quarter life crisis) sering mendatangkan rasa cemas berlebih dan rasanya seperti ‘menggantung’. Perasaan ini bisa meluas hingga memicu terjadinya kecemasan kolektif, yakni kegelisahan yang menumpuk akibat dari tekanan sosial, ekonomi, budaya, dan digital. Untuk tahu apa saja bentuk kecemasan kolektif, simak terus!

1. Sering membandingkan hidup kita dengan orang lain

Ilustrasi cemas menatap layar ponsel (freepik.com/freepik)
Ilustrasi cemas menatap layar ponsel (freepik.com/freepik)

Saat ini kita bisa menyaksikan ‘kehidupan’ orang lain hanya dalam sekali scroll. Media sosial menghancurkan batas antara kehidupan nyata dan panggung pencitraan. Tanpa sadar kita membandingkan seluruh isi hidup kita dengan segala up & down-nya, dari sebagian kecil cerita yang mereka bagikan. 

Saran ini memang klise, tetapi mengurangi scroll media sosial sangat membantu untuk keluar dari pikiran toxic. Alihkan perhatian pada hal yang benar-benar kita sukai dan bukan karena takut tertinggal (fomo). Fokus pada proses dan perkembanganmu sendiri, karena setiap orang punya waktu dan jalan hidup masing-masing.

2. Standar sukses yang terlalu cepat dan tidak realistis

Ilustrasi cemas sambil menatap laptop (pexels.com/Anna Tarazevich)
Ilustrasi cemas sambil menatap laptop (pexels.com/Anna Tarazevich)

Jika dulu, usia 30-an dianggap sebagai fase awal menuju kemapanan, sekarang usia 25 sudah dituntut untuk punya segalanya; karier mapan, aset properti pribadi, koneksi luas, dan gaya hidup high level. Tekanan ini seringkali datang bukan dari diri sendiri, melainkan dari perspektif sekitar, baik keluarga, lingkungan kerja, dan tentunya media sosial.

Kenyataannya, data menunjukkan bahwa banyak orang baru stabil secara finansial dan emosional di usia 30-an, bahkan 40-an. Sebaiknya kita jangan terpengaruh oleh standar yang tidak masuk akal hanya karena ingin memenuhi ekspektasi ‘ideal’ masyarakat. Kita bisa menjalankan semua rencana yang kita buat perlahan.

3. Kondisi dunia yang tidak stabil membuat kita panik

Ilustrasi sedang panik (freepik.com/freepik)
Ilustrasi sedang panik (freepik.com/freepik)

Kita tumbuh di zaman yang penuh ketidakpastian; pandemi, krisis iklim, inflasi, politik yang menjadi-jadi, hingga disrupsi teknologi. Perubahan terjadi begitu cepat dan membuat banyak aspek hidup menjadi tidak stabil, termasuk pada pekerjaan dan masa depan finansial. Wajar jika kita jadi cemas dan merasa harus terus berlari agar tidak tertinggal.

Karena merasa dikejar-kejar, banyak dari kita lelah secara mental. Daripada cemas berlebih, lebih baik terima saja bahwa hidup di masa kini memang lebih berat. Oleh karena itu, kita harus menciptakan kontrol diri, memiliki support system yang sehat, dan menabung sedikit demi sedikit. Kita tidak bisa mengendalikan dunia, tetapi kita bisa mengatur respon kita terhadapnya.

4. Definisi sukses jadi seragam dan kurang manusiawi

Ilustrasi kewalahan akibat tekanan kerja (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi kewalahan akibat tekanan kerja (pexels.com/cottonbro studio)

Sukses sering dikotakkan dalam beberapa hal; memiliki jabatan tinggi, angka penghasilan, status sosial. Akibatnya, pencapaian kecil lainnya jadi tidak terlihat. Kita lupa bahwa manusia itu beragam dan bentuk suksesnya pun beragam. Ada yang tumbuh dengan pencapaian luar biasa, ada yang justru berkembang dengan menerima dirinya tanpa validasi luar.

Agar tidak terdistraksi oleh standar sukses masyarakat yang sering membuat kita tertekan, maka jadilah pribadi yang kuat dengan membangun kesuksesan versi diri sendiri. Bisa mulai dengan membuat journal pujian, isinya apresiasi atau pujian terhadap diri sendiri, dari hal yang kecil ataupun besar. Ini adalah bentuk perayaan kecil agar kamu tetap semangat.

5. Kurangnya ruang untuk berjalan sesuai ritme sendiri

Ilustrasi sedang stres (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)
Ilustrasi sedang stres (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Budaya hustle membuat kita merasa harus terus produktif. Padahal, hidup tidak harus selalu cepat. Sebaiknya kita tahu ritme sendiri, kapan harus berlari, kapan waktunya jeda, kapan harus berhenti. Seringkali orang yang bergerak pelan dicap malas dan saat dibawah tekanan pun kita harus yakin bahwa usaha tidak akan sia-sia, meski prosesnya lambat.

Justru orang yang memaksakan diri, lama-lama bisa burnout. Pahamilah, yang penting kita tidak menyerah dan tetap berjalan sesuai ritme. Layaknya tanaman, ada yang tumbuh cepat, ada yang butuh waktu lama tetapi akarnya kuat. Kita tidak terlambat, kita hanya sedang tumbuh dengan cara yang berbeda.

Kita adalah generasi yang mudah mengakses informasi dan banyak sekali tekanan yang kita terima. Kecemasan kolektif tidak bisa kita hindari, terutama bagi yang baru memulai karir atau menginjak babak baru dalam hidup. Disaat-saat seperti ini mungkin akan sulit menikmati hidup. Namun, percayalah fase ini akan terlewati dengan banyak bersabar.

Hidup bukan perlombaan. Ditengah kecemasan ini justru kita harus tenang, tetapi jangan sampai abai. Kecemasan kolektif bukan ancaman, melainkan tantangan yang harus dihadapi. Hadapi segala tantangan dengan percaya diri dan yakin bahwa kamu akan menemukan jalanmu sendiri dan tidak tertinggal dari yang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Salma Syifa Azizah
EditorSalma Syifa Azizah
Follow Us