Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Alasan Sikap Kompetitif Bikin Seseorang Gagal Meromantisasi Hidup

ilustrasi sosok kompetitif (pexels.com/Moose Photos)
Intinya sih...
  • Sikap kompetitif dalam gaya hidup dan penampilan dapat membuat seseorang gagal meromantisasi hidup.
  • Sikap kompetitif yang tidak terkontrol membuat seseorang hidup dalam perbandingan dan tertekan untuk selalu produktif.
  • Jiwa kompetitif yang tidak terkontrol juga membuat seseorang sulit bersyukur, terjebak pada standar kebahagiaan tinggi, dan gagal meraih kebahagiaan sejati.

Kehidupan terkadang diwarnai oleh persaingan. Antar orang berubah menjadi yang terbaik. Jika persaingan itu mengarah pada pencapaian yang menjadi bagian prestasi tentu tidak masalah. Namun yang terjadi, persaingan justru menyangkut persoalan remeh dan tidak seharusnya dijadikan ajang perbandingan.

Contohnya persaingan mengenai gaya hidup mewah, atau persaingan dari segi penampilan yang terlihat menarik dan trendy. Sikap kompetitif seperti inilah yang membuat seseorang gagal meromantisasi hidup. Mereka tidak mampu mengenali diri secara utuh. Tentu ada penjelasan di balik situasi demikian. Apa sajakah itu?

1. Cenderung untuk hidup dalam perbandingan

ilustrasi saling membandingkan diri (pexels.com/Ron Lach)

Sebenarnya sikap kompetitif memiliki sisi positif tersendiri. Seseorang akan termotivasi untuk menunjukkan pencapaian terbaik. Tapi ketika sikap kompetitif tidak terkontrol, justru Ini yang menjadi bumerang. Pada akhirnya seseorang gagal meromantisasi hidup yang dijalani.

Perlu diketahui, sikap kompetitif membuat seseorang hidup dalam perbandingan. Ia selalu mengukur dirinya berdasarkan pencapaian orang lain. Tidak terdapat kesadaran bahwa setiap orang sudah memiliki kehidupan masing-masing beserta keunikan yang ada. Padahal dalam beberapa situasi, kita tidak harus membandingkan diri dengan orang sekitar.

2. Merasa harus produktif terus-menerus

ilustrasi bekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)

 menjalani hidup, tentu sudah kita kerap terpaku pada persaingan. Jiwa kompetitif mengharuskan menang atas segalanya. Ketika ada orang lain memiliki pencapaian serupa, cenderung merasa terganggu. Padahal sikap kompetitif seperti ini yang membuat seseorang gagal meromantisasi hidup.

Dengan adanya sikap kompetitif, terdapat perasaan tertekan karena harus produktif terus-menerus. Tidak ada waktu luang untuk menikmati waktu bersantai bersama diri sendiri. Padahal untuk meromantisasi diri, kita membutuhkan waktu luang sejenak dalam rangka mengenali diri secara utuh.

3. Kesulitan dalam menikmati proses

ilustrasi merasa terpuruk (pexels.com/MART PRODUCTION)

Memiliki jiwa kompetitif dapat menjadi keunggulan jika kita mampu mengelola sesuai porsi yang tepat. Tapi seringnya seseorang justru dikendalikan oleh sikap kompetitif dalam berbagai situasi. Mereka menempatkan perbandingan di atas segalanya. Bahkan untuk hal yang tidak seharusnya dijadikan sebagai ajang perbandingan.

Di sinilah kita perlu menyadari bahwa sikap kompetitif membuat seseorang gagal menghormati saksi hidup. Dengan menjadikan perbandingan sebagai tolok ukur, kita akan kesulitan dalam menikmati proses. Adanya sikap kompetitif menjadikan sudut pandang hanya terpaku pada hasil akhir, namun tidak mau mengetahui perjuangan di baliknya.

4. Terjebak dalam perasaan terintimidasi

ilustrasi merasa takut (pexels.com/Aliaksei Lepik)

Pada faktanya kita juga harus belajar meromantisasi diri sendiri dalam menjalani hidup. Mulai dari memahami diri secara utuh, sampai dengan peka terhadap apa yang saat ini sedang dirasakan. Tapi ini tidak akan terjadi ketika seseorang masih mempertahankan sikap kompetitif. Jiwa persaingan akan merusak cara seseorang meromantisasi hidup yang dijalani.

Karena sikap kompetitif akan menumbuhkan perasaan terjebak dan terintimidasi. Seseorang selalu merasa terancam ketika mendapati orang lain yang memiliki pencapaian serupa, atau bahkan lebih baik. Perasaan perasaan terintimidasi ini akan menghadirkan kecemasan dan sikap pesimis dalam jangka panjang.

5. Hanya berfokus pada pencapaian, bukan perbaikan

ilustrasi sosok ambisius (pexels.com/Kampus Production)

Siapa yang tidak ingin meraih pencapaian paripurna? Sudah pasti ini menjadi pilihan banyak orang. Pencapaian tersebut adalah simbol dari keberhasilan dan usaha yang tidak berakhir sia-sia. Tapi berbeda jadinya ketika kita menjadi orang yang memiliki jiwa kompetitif tidak terkontrol.

Fenomena demikian menyebabkan diri sendiri tidak mampu meromantisasi hidup secara utuh. Kita hanya berfokus pada pencapaian dan validasi yang diperoleh. Adapun perbaikan yang seharusnya diprioritaskan justru terlupakan. Padahal, perbaikan adalah kunci menciptakan kesuksesan yang lebih besar.

6. Tidak mampu untuk bersyukur dan menghargai hidup

ilustrasi sosok ambisius (pexels.com/RDNE Stock Project)

Pernahkah kamu merasa gagal dalam meromantisasi hidup? Seringkali kita merasa kehidupan yang dijalani tidak berharga. Tapi sebelum itu, mari lihat dulu pada diri sendiri dan renungkan. Apakah saat ini masih mempertahankan sikap kompetitif dalam diri?

Ketika seseorang memiliki jiwa kompetitif, ia tidak lagi mampu bersyukur dan menghargai hidup. Segala sesuatunya didasarkan pada perbandingan tiada akhir. Bahkan tanpa disadari terjebak pada standar kebahagiaan terlalu tinggi dan tidak realistis.

Meromantisasi hidup adalah bagian dari menuju kebahagiaan. Tapi apa jadinya jika seseorang justru memiliki sikap kompetitif tidak berkontrol? Di sinilah sebab gagal meromantisasi hidup. Perlu diketahui, dalam meromantisasi hidup yang dibutuhkan adalah kebahagiaan dan ketenangan. Bukan sekedar perlombaan tiada akhir.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us