Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Budaya Performatif dan Kenapa Jadi Tren?

Kyle, karakter Timothee Chalamet di Lady Bird disebut salah satu contoh performative male (dok. A24/Lady Bird)
Kyle, karakter Timothee Chalamet di Lady Bird disebut salah satu contoh performative male (dok. A24/Lady Bird)

Beberapa waktu belakangan kamu mungkin sering mendengar kata “performative” dikombinasikan dengan sejumlah kosakata lain. Misalnya “performative male atau “performative activism”. Keduanya punya arti berbeda, tetapi ketika ditambahi keterangan performatif artinya jadi mirip.

Kalau merujuk tulisannya Fischer-Lichte berjudul ‘Culture as Performance’ dalam jurnal Modern Austrian Literature, performatif pada dua frasa itu merujuk pada kata “performance” atau penampilan. Yakni, sesuatu yang eksis hanya pada waktu dan tempat tertentu tanpa ada tujuan untuk melanggengkan atau memanifestasikannya di luar itu. Dengan begitu, performative bisa dilihat sebagai sebuah aktivitas menciptakan sesuatu untuk tujuan tertentu (seperti menarik perhatian, memamerkan, membuktikan) tanpa ada intensi untuk mengabadikannya dalam bentuk lain yang lebih konkret.

Budaya performatif ini menariknya makin marak dengan kehadiran media sosial dan platform digital secara umum. Coba ingat apakah kamu pernah ikut tren membagikan Spotify Wrapped dan Letterboxd Four Favorites? Urgensi atau dorongan untuk membagikan film, musik, atau ide yang menurutmu bagus ke khalayak bisa pula disebut sebagai bagian dari kultur performatif, lho. Bagaimana bisa dan mengapa kita tergerak melakukannya?

1. Manusia ingin divalidasi dan media sosial memfasilitasi itu

kurasi film Letterboxd (instagram.com/letterboxd)
kurasi film Letterboxd (instagram.com/letterboxd)

Sebenarnya alasan paling sederhana yang membuat kita merasa ingin membagikan hal yang kita suka di media sosial adalah keinginan serta kebutuhan untuk dapat validasi. Validasi untuk tak disebut kuno dan tone-deaf, hingga kebutuhan untuk membangun koneksi dengan orang lain lewat minat dan selera yang mirip. Ini sesuai dengan posisi media sosial awalnya hadir sebagai tempat untuk berkontak dengan orang lain, tetapi lama kelamaan jadi wadah untuk personal branding.

Media sosial dibuat bak buku harian (bisa dipersonalisasi, berisi kenangan dan unggahan pribadi), tetapi dengan catatan bisa diakses siapa saja. Dengan kesadaran itu, kmau tak mau kita pun ikut terdorong untuk menyaring mana hal yang mau dibagikan dan tidak. Media sosial menjelma jadi platform untuk tampil sebaik dan sesempurna mungkin. Performative male misalnya merujuk pada pria-pria yang menciptakan citra maskulin positif, mendukung feminisme, melek isu sosial, dan soft-spoken di jagat maya.

Ini bisa saja dilakukannya untuk menarik jodoh, audiens, atau lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah ia benar-benar seperti itu di dunia nyata? Jawabannya bisa jadi tidak. Namun, yang pasti tak ada celah untuk kesalahan karena satu blunder bisa berdampak besar pada citra daringmu. Untuk itu, terkadang kamu mungkin akan memastikan apa yang kamu bagikan sudah sesuai dengan standar yang ada.

2. Selera adalah pernyataan terhadap status sosial dan ekonomi seseorang

ilustrasi pengguna media sosial (Pexels/Huynh Van)
ilustrasi pengguna media sosial (Pexels/Huynh Van)

Standar di sini adalah selera. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu pernah membahas panjang masalah selera ini dalam buku berjudul Distinction: A Social Critique and the Judgement of Taste (1984). Ia berargumen bahwa selera bisa membagi manusia dalam kelas-kelas sosial beserta fraksi-fraksi di dalamnya. Selera pada intinya bisa dilihat sebagai pernyataan terhadap status sosial, tingkat pendidikan, dan ekonomi seseorang. Orang dari kelas berbeda bisa punya preferensi terhadap produk yang berbeda pula menurut Bourdieu.

Merujuk pada argumen itu, tak heran bila banyak orang mulai memilah apa yang mereka bagikan di media sosial. Produk yang dipakai dan konsumsi adalah hal yang paling mudah untuk dibagikan dan dipamerkan. Ini kemudian memunculkan tren penggunaan produk tertentu, apalagi bila eksposur produk itu besar, baik lewat teman, pengguna lain, atau publik figur.

Sesuai dengan tulisan Paßmann dan Schubert berjudul ‘Liking as taste making: Social media practices as generators of aesthetic valuation and distinction’ dalam jurnal New Media & Society, selera tidak terbentuk secara instan. Ada proses pengulangan dan penyesuaian progresif yang membentuknya dan media sosial adalah fasilitator ideal untuk ini. Mereka menambahkan kalau lama kelamaan, platform media sosial jadi semacam alat yang menentukan valuasi dan keunggulan suatu produk/isu.

3. Pada akhirnya unit bisnis juga yang diuntungkan

Margareth Qualley saat berada di Criterion Closet (instagram.com/criterioncollection)
Margareth Qualley saat berada di Criterion Closet (instagram.com/criterioncollection)

Benar saja, banyak unit bisnis yang mengambil keuntungan dengan fakta ini. Letterboxd dengan segmen “Four Favorites”, Spotify dengan rekap tahunan personal penggunanya, toko musik Amoeba dengan serial “What's In My Bag?”, Criterion lewat “Closet Picks” , dan lain sebagainya. Mereka berhasil membentuk selera yang diasosiasikan dengan status keren. Criterion misalnya berhasil menciptakan impresi kalau rilisan fisik hasil kurasi mereka punya nilai seni tinggi.

Four Favorites yang dipopulerkan Letterboxd berhasil bikin orang berpikir keras untuk menunjukkan kalau selera film mereka bagus, niche, dan unik. Bahkan tidak sedikit yang kesal sendiri karena merasa kalau orang-orang ini sengaja ingin terlihat keren saja dengan menyebut film-film langka dan klasik. Spotify Wrapped punya efek serupa. Bisa saja, orang sengaja mendengar lagu-lagu tertentu untuk memanipulasi rekap tahunan mereka agar terlihat keren dan beda. Semuanya dilakukan untuk penampilan belaka, sebuah aksi performatif.

Lantas, siapa yang diuntungkan di sini? Sebagai pengguna biasa, bukan influencer (pemengaruh), kita tak dapat apapun selain validasi dan kesenangan. Namun, untuk unit bisnis, ini adalah celah menguntungkan. Semakin besar ruang yang mereka berikan untuk pengguna yang ingin tampil, semakin besar pula keuntungan yang bisa mereka ekstrak. Benar begitu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febrianti Diah Kusumaningrum
EditorFebrianti Diah Kusumaningrum
Follow Us

Latest in Life

See More

Beasiswa Cipta Pelita Batch 3, Bantuan hingga Rp12 Juta!

14 Sep 2025, 23:55 WIBLife