Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Hal yang Bikin Buku Motivasi Terasa Klise dan Mudah Ditebak

Jenuh saat membaca buku
ilustrasi jenuh saat membaca buku (freepik.com/jcomp)
Intinya sih...
  • Tidak lagi peka dengan realitas dan tantangan zamanBuku motivasi belum beradaptasi dengan kompleksitas tantangan modern seperti burnout, ketidakpastian ekonomi, dan perubahan cara kerja digital.
  • Terlalu fokus pada kisah sukses orang lainBuku motivasi kurang relevan karena tidak membedah proses, waktu, dan kegagalan nyata yang harus dilalui seseorang untuk berhasil.
  • Terlalu sibuk menjual harapan daripada memberi pemahaman diriBuku motivasi membentuk ekspektasi yang kurang tepat, seolah setiap orang bisa mencapai titik bahagia hanya dengan berpikir positif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Buku motivasi sempat jadi sumber inspirasi hidup, membuat banyak orang tertarik membelinya. Tapi semakin sering dibaca, semakin terasa betapa banyak di antaranya hanya mengulang kalimat yang sama tentang semangat, kerja keras, dan percaya diri. Padahal, kenyataannya jauh lebih rumit. Janji-janji kesuksesan yang berulang sering gagal menyentuh realitas yang lebih kompleks.

Tak heran jika kini banyak pembaca kehilangan minat pada buku motivasi. Di bawah ini penjelasan mengapa buku motivasi terasa klise dan mudah ditebak di masa kini. Simak sampai habis, ya!

1. Tidak lagi peka dengan realitas dan tantangan zaman

Burnout
ilustrasi burnout (pexels.com/Mikhail Nilov)

Buku motivasi masih banyak menyajikan kisah klise tentang kerja keras, padahal tantangan sekarang jauh lebih kompleks. Ada burnout, ketidakpastian ekonomi, hingga perubahan cara kerja digital yang menuntut fleksibilitas ekstrem. Dunia kerja saat ini bukan hanya soal tekun dan disiplin, tapi juga kemampuan menjaga kesehatan mental dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.

Namun, banyak buku motivasi belum beradaptasi dengan kenyataan baru ini. Mereka tetap mengulang pesan-pesan klasik seperti “jangan menyerah” atau “terus bekerja lebih keras” tanpa menyinggung konteks sosial dan tekanan hidup modern. Akibatnya, pesan yang dulu terasa relevan kini justru terdengar ketinggalan zaman dan gagal memberi solusi nyata bagi pembacanya.

2. Terlalu fokus pada kisah sukses orang lain

Motivator
ilustrasi motivator (pexels.com/Henri Mathieu-Saint-Laurent)

Banyak buku motivasi masih mengandalkan cara lama, menampilkan kisah sukses luar biasa dari tokoh terkenal sebagai sumber inspirasi. Namun, sering kali proses panjang di baliknya diabaikan. Kegagalan, kehilangan arah, dan keberuntungan yang tak bisa disalin begitu saja jarang dibahas. Padahal pembaca masa kini semakin sadar bahwa setiap perjalanan hidup punya konteks dan ritmenya sendiri.

Alih-alih termotivasi, justru muncul rasa minder karena kisah yang disajikan terasa tidak seimbang. Buku semacam ini kurang relevan karena tak membedah proses, waktu, dan kegagalan nyata yang harus dilalui seseorang untuk berhasil. Akibatnya, saran yang diberikan terdengar mudah, padahal penerapannya butuh ketahanan mental bertahun-tahun. Ketika perjuangan disederhanakan, yang tersisa hanya semangat kosong tanpa arah nyata untuk bertahan di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.

3. Terlalu sibuk menjual harapan daripada memberi pemahaman diri

Bosan
ilustrasi bosan (pexels.com/cottonbro studio)

Buku motivasi kini sering terasa seperti produk yang menjanjikan hasil instan. Banyak yang menawarkan “cara cepat berubah” atau “rahasia sukses dalam 30 hari”, padahal kehidupan nyata jauh lebih rumit dari itu. Kata-kata manis dan optimisme yang dibungkus rapi, justru membuat pembaca merasa bosan karena terlalu sering muncul.

Buku motivasi jenis ini justru membentuk ekspektasi yang kurang tepat, seolah setiap orang bisa mencapai titik bahagia hanya dengan berpikir positif. Padahal, banyak orang membutuhkan arah, penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana memahami diri dan menghadapi kenyataan hidup yang tidak selalu ideal, bukan sekadar dorongan. Harapan memang penting, tetapi tanpa pemahaman diri yang mendalam, semangat yang dijual hanya menjadi ilusi sementara yang cepat pudar begitu kenyataan kembali mengetuk.

4. Menggunakan saran seragam untuk masalah yang sangat kompleks

Seorang ibu sedang bekerja
ilustrasi seorang ibu sedang bekerja (pexels.com/RDNE Stock project)

Banyak buku motivasi terjebak dalam pola saran yang sama, bangun lebih pagi, jangan menyerah, pikirkan hal positif, dan kesuksesan akan datang. Padahal, tidak semua orang memulai dari titik yang sama. Saran seperti itu gagal memahami bahwa hidup dipengaruhi oleh faktor yang lebih luas, mulai dari privilege, latar belakang ekonomi, hingga kondisi mental dan sosial yang berbeda-beda.

Ketika solusi disamaratakan, pesan yang disampaikan justru terasa tidak relevan dan tidak manusiawi. Seorang ibu tunggal yang bekerja dua shift tentu tak bisa disamakan dengan seseorang yang punya akses dan waktu lebih banyak. Buku motivasi yang menutup mata terhadap realitas ini sering terdengar naif, karena berusaha menyederhanakan kehidupan yang sebenarnya rumit.

5. Mengabaikan emosi negatif sebagai bagian alami dari hidup

ilustrasi tepukan bahu
ilustrasi tepukan bahu (pexels.com/Mart Production)

Sebagian besar buku motivasi masih berfokus pada keharusan untuk selalu berpikir positif dan tampak bahagia. Pendekatan seperti ini justru sering mengabaikan sisi manusiawi. Rasa lelah, kecewa, dan sedih juga penting untuk diakui. Akibatnya, pembaca merasa perlu terus tampil kuat, bahkan ketika sedang rapuh.

Kalimat seperti “tetap semangat” atau “jangan terlalu dipikirkan” mungkin terdengar ringan, tapi bisa menjadi tekanan terselubung. Emosi negatif tidak seharusnya dihindari, melainkan diterima dan dipahami. Dari sanalah seseorang belajar tumbuh lebih realistis, menemukan keseimbangan tanpa harus berpura-pura baik-baik saja.

Membaca buku motivasi seharusnya membantu seseorang memahami hidup, bukan sekadar menenangkan diri dengan kalimat manis. Sayangnya, di masa kini buku motivasi terasa klise dan mudah ditebak. Padahal di tengah dunia yang terus berubah cepat, pembaca kini mencari makna yang lebih dalam, bukan hanya untuk penyemangat instan. Mereka ingin diajak berpikir, bukan hanya disuruh bertahan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Dampak Psikologis dari Relationship Flexing, Jadi Mudah Cemas

13 Nov 2025, 15:28 WIBLife