Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Hal Insecure yang Sering Dianggap Wajar oleh Sekitar

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)
Intinya sih...
  • Lingkungan sering membentuk standar-standar tidak sehat, memicu perasaan kurang dan insecure
  • Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain diperparah oleh media sosial, mengganggu cara kita melihat diri sendiri
  • Kebiasaan insecure seperti takut gagal dan mencari validasi eksternal dapat merusak kepercayaan diri dan kemampuan untuk berkembang

Kadang kita tumbuh di lingkungan yang gak sadar telah membentuk standar-standar gak sehat. Hal-hal kecil seperti komentar soal fisik, pencapaian, sampai cara berpikir—sering kali dibalut dengan dalih “cuma becanda” atau “buat motivasi”. Padahal, tanpa sadar, kita jadi sering merasa kurang, membandingkan diri, dan mempertanyakan nilai diri sendiri. Insecure jadi sesuatu yang normal, bahkan dianggap bagian dari proses tumbuh. Tapi, benarkah harus seperti itu?

Kita semua pasti pernah ngerasa insecure. Itu manusiawi. Tapi kalau kebiasaan itu dipelihara, apalagi di-amin-i sama sekitar, lama-lama bisa jadi luka yang susah sembuh. Nah, di bawah ini lima kebiasaan insecure yang sering dianggap biasa aja sama lingkungan. Padahal efeknya bisa ganggu cara kita ngelihat diri sendiri dan ngatur masa depan. Yuk, sadari dan mulai ubah pola pikirnya.

1. Terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Lingkungan kita sering banget gak sadar jadi ladang kompetisi gak sehat. Ada teman yang dapet kerja duluan, lulus lebih cepat, atau punya bisnis yang kelihatan sukses—langsung muncul perasaan “aku kok belum ya?”. Sayangnya, banyak dari kita yang gak diajak untuk ngelihat hidup sebagai perjalanan yang unik, tapi malah sebagai lomba siapa yang ‘lebih cepat’ atau ‘lebih keren’. Padahal hidup itu bukan sprint, tapi marathon yang tiap orang jalurnya beda-beda.

Kebiasaan membandingkan diri ini makin subur karena media sosial. Kita disuguhin highlight hidup orang, tapi lupa bahwa itu cuma potongan kecil. Akhirnya, kita jadi gak adil sama diri sendiri. Ngerasa belum cukup baik, belum cukup berhasil, padahal mungkin kita cuma belum ngelihat pencapaian kita dari sudut yang benar. Kalau lingkunganmu masih nganggep wajar banding-bandingin, coba tarik batas. Kamu berhak punya standar versi kamu sendiri.

2. Meremehkan pencapaian sendiri

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Sueda Dilli)

“Ah, ini mah biasa aja.” “Cuma kebetulan.” Pernah gak ngomong kayak gitu setelah berhasil ngelakuin sesuatu? Ini bentuk dari kebiasaan insecure yang halus tapi bahaya. Sayangnya, sering banget lingkungan juga gak ngasih ruang buat ngerayain pencapaian kecil. Kalau gak sesuatu yang ‘wah banget’, dianggap gak penting. Padahal validasi internal itu penting banget buat ngebangun self-worth.

Kita butuh belajar ngasih penghargaan ke diri sendiri, bahkan buat hal-hal kecil. Bisa bangun pagi konsisten, berani speak up, atau ngatur waktu lebih baik—itu semua layak diapresiasi. Jangan tunggu tepuk tangan dari luar buat ngerasa cukup. Ubah mindset kalau keberhasilan itu gak harus selalu besar dan diakui orang banyak. Kalau kamu aja gak ngehargain dirimu, siapa lagi?

3. Takut bikin salah dan selalu cari aman

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Ron Lach)

Lingkungan yang perfeksionis atau judgmental bisa bikin kita takut banget buat coba hal baru. Takut salah ngomong, takut gagal, takut dicap bodoh. Akhirnya kita main aman terus. Gak berani ambil peluang, gak mau keluar dari zona nyaman. Padahal dari kesalahan justru kita banyak belajar dan tumbuh.

Kebiasaan cari aman ini sering disalahpahami sebagai ‘realistis’ atau ‘bijak’. Padahal itu cuma rasa takut yang dibungkus rapi. Kalau kamu terus-terusan takut salah, kamu gak akan pernah tahu potensi diri sebenarnya. Gagal itu bukan musuh. Gagal itu guru. Dan lingkungan yang suportif seharusnya bisa kasih ruang buat proses itu, bukan malah jadi sumber tekanan.

4. Terlalu bergantung pada opini orang lain

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/lesha tuman)

Kita semua pasti pernah nyari validasi. Tapi kalau kamu gak bisa ngambil keputusan tanpa persetujuan orang lain, itu tanda kamu lagi kehilangan kompas diri. Lingkungan yang terlalu banyak komentar kadang bikin kita bingung: yang benar versi siapa sih? Versi orang tua, teman, atau pasangan?

Kebiasaan kayak gini bisa bikin kamu kehilangan arah dan gak percaya sama intuisi sendiri. Semua pilihan jadi terasa salah kalau gak disetujui orang lain. Padahal kamu yang paling ngerti apa yang kamu butuhin. Belajar mandiri bukan soal cuek sama sekitar, tapi tahu kapan harus dengerin dan kapan harus percaya diri ambil keputusan. Opini orang penting, tapi jangan sampai jadi penjara.

5. Menghindari konflik demi diterima

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Beberapa dari kita diajarin kalau ‘baik’ itu berarti gak boleh bikin masalah. Jadilah orang yang gak pernah nolak, selalu iya, dan rela ngalah biar gak ada drama. Padahal sering kali itu bukan ‘baik hati’, tapi bentuk insecure karena takut gak disukai. Dan ironisnya, lingkungan sering ngasih pujian buat sikap ini: “Dia tuh gak pernah ribet, enak banget diajak kerja sama.”

Masalahnya, menghindari konflik terus-menerus bisa bikin kita kehilangan suara. Kita jadi terlatih buat menekan kebutuhan sendiri demi kenyamanan orang lain. Lama-lama, kita bisa lupa gimana rasanya punya batasan yang sehat. Belajar bilang "tidak" itu penting. Karena jadi orang yang disukai semua orang bukan tujuan hidup—jadi versi paling jujur dari diri sendiri jauh lebih worth it.

Insecure bukan dosa. Tapi kalau dibiarkan jadi kebiasaan, kita bisa kehilangan arah, kehilangan kepercayaan diri, bahkan kehilangan diri sendiri. Lingkungan yang gak sadar justru bisa ikut memperparahnya. Maka penting banget buat kamu sadar dan mulai keluar dari pola itu, sekecil apa pun langkahnya. Jangan tunggu validasi orang lain untuk mulai percaya sama diri sendiri. Kamu berhak nentuin jalanmu sendiri, dengan tempo dan caramu sendiri.

Yang penting bukan siapa yang paling cepat, paling hebat, atau paling sempurna. Tapi siapa yang paling jujur sama dirinya, paling konsisten berkembang, dan paling berani bertumbuh meski pelan-pelan. So, mulai hari ini, yuk jadi lebih sadar dan berani—buat kamu, bukan buat orang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us