Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hobi, Gen Z, dan Konsumerisme

olahraga padel (Pexels/César O'neill)
olahraga padel (Pexels/César O'neill)
Intinya sih...
  • Kenapa hobi penting? Hobi adalah kegiatan untuk kesenangan pribadi, menjaga kesehatan mental, dan membantu manusia menyalurkan energi positif serta membangun koneksi sosial.
  • Ponsel pintar dan konten digital bikin anak muda ogah mengembangkan hobi aktif. Disrupsi teknologi membuat mayoritas Gen Z lebih suka hobi pasif karena kenyamanan platform streaming dan media sosial.
  • Hobi menjelma jadi komoditas. Media sosial memperkuat konsumerisme, membuat hobi performatif, dan mengangkatnya sebagai privilege di tengah inflasi biaya hidup. Kapitalisme juga berdampak pada absennya hobi di kalangan anak muda.

Ada beberapa fenomena yang muncul beberapa tahun belakangan. Potensi matinya mesin pencarian karena keberadaan platform kecerdasan buatan (AI) sampai memudarnya kesadaran orang akan pentingnya punya hobi. Fenomena terakhir ini yang kiranya menarik untuk dikupas lebih jauh. Buat sebagian orang, hobi adalah hal yang dengan mudah disebut, tetapi tidak untuk sebagian lainnya.

Hobi yang menurut Cambridge Dictionary diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan di luar jam kerja ternyata tidak dimiliki semua orang. Absennya hobi bahkan menjamur di kalangan gen z, orang-orang yang lahir antara 1997--2012. Mengapa dan apa dampaknya? Bahas lebih jauh, yuk!

1. Hobi tidak punya batas atau gol yang harus dicapai

ilustrasi pelaku hobi fotografi (Pexels/Karolina Grabowska)
ilustrasi pelaku hobi fotografi (Pexels/Karolina Grabowska)

Hobi adalah kegiatan yang dilakukan di luar kewajiban seseorang dan murni untuk kesenangan pribadi, tanpa merugikan orang lain tentunya. Gelber dalam tulisannya untuk Journal of Social History berjudul ‘A Job You Can’t Lose: Work and Hobbies in the Great Depression’ menambahkan, ada elemen ketidakpastian dalam hobi. Dalam arti, hobi tidak punya batas atau gol yang harus dicapai. Ini membuat hobi bisa dilakukan sampai akhir hayat, bahkan setelah orang pensiun dari pekerjaannya.

Ambil contoh kolektor dan penggemar tim olahraga. Tak ada kata berhenti atau pensiun dalam kamus mereka untuk terus mengoleksi barang kesukaan atau menonton tim kesayangan bertanding. Dengan sifat-sifat itu, hobi dianggap sebagai salah satu cara menjaga kesehatan mental. Masih merujuk sumber yang sama, hobi diharapkan bisa mengakomodasi kebutuhan manusia untuk menyalurkan energi dan waktu berlebih dalam bentuk aktivitas yang positif, terutama memungkinkan orang membangun koneksi dan merasa diterima. Bahkan, hobi-hobi yang bisa dilakukan secara individu pun dipercaya bisa mengurangi efek dari perasaan kesepian dalam diri seseorang.

2. Ponsel pintar dan konten digital bikin anak muda ogah mengembangkan hobi aktif

ilustrasi anak muda dan ponselnya (Pexels/Padli Pradana)
ilustrasi anak muda dan ponselnya (Pexels/Padli Pradana)

Disrupsi teknologi sering disebut sebagai pelaku utama dari hilangnya hobi di kalangan anak muda, terutama gen z. Indonesia Gen Z Report 2024 yang dirilis IDN Research Institute menunjukkan, mayoritas hobi gen z di Indonesia bersifat pasif, seperti menonton film/serial televisi, mendengarkan musik/siniar, dan menonton pertandingan olahraga. Tidak banyak yang punya waktu untuk mendalami aspek aktif dari hobi-hobi tadi. Misal, melakukan kurasi film/musik, berpartisipasi dalam diskusi, menonton di bioskop, menghadiri konser, atau menjadi bagian dari klub atau tim olahraga.

Kenyamanan yang ditawarkan platform streaming adalah alasan utamanya. Kini, untuk menikmati hiburan, kita tinggal mengakses situs/aplikasi di ponsel atau desktop. Tak ada lagi keharusan untuk hadir secara fisik di venue acara. Ditambah keberadaan media sosial, beberapa kolumnis dan video essayist juga menyoroti munculnya fenomena doomscrolling, menonton konten digital di media sosial tanpa henti. Ini tanpa sadar menyita waktu luang kita begitu saja.

3. Hobi menjelma sebagai komoditas

bag charms (Pexels/Khanh Nguyen)
bag charms (Pexels/Khanh Nguyen)

Masalah lain yang meliputi hobi adalah kecenderungan manusia melakukan komodifikasi terhadap hobi. Unit bisnis melihat hobi sebagai cara meraup profit, misal dengan terus menelurkan produk edisi khusus untuk memikat kolektor. Dahulu, pelaku hobi punya kontrol untuk membatasi dorongan nafsu sehingga menciptakan istilah kurasi, yakni memilih barang yang ingin dikoleksi dengan matang. Namun, semua berubah sejak media sosial masuk ke hidup kita.

Budaya haul alias memamerkan belanjaan kepada khalayak yang kerap berlebih adalah tren yang berkembang di kalangan pengguna media sosial. Konten-konten seperti itu secara tak langsung mempromosikan konsumerisme. Tak heran, muncul pula yang dinamakan tren-tren mikro seperti menjamurnya botol minuman lucu yang harganya di atas standar pasar sampai bag charm, gantungan kunci yang naik kelas. Bukannya hal ini tidak ada pada masa lalu, milenial pasti tidak asing dengan tren Tamagotchi dan Game Boy, tetapi level konsumsinya tidak bisa disamakan dengan yang dialami generasi berikutnya. Akses yang mudah (kehadiran e-commerce), keinginan dan potensi dapat gratifikasi instan, sampai ketakutan dicap ketinggalan zaman alias fear of missing out (FOMO) berpengaruh.

Media sosial bikin hobi jadi sesuatu yang performatif alias layak dipamerkan. Secara tak sadar, kita pernah atau bahkan sudah tergoda untuk memamerkan apa yang kita kerjakan sebagai hobi untuk unggahan media sosial. Romantisasi hobi bikin kegiatan itu kehilangan esensi aslinya sebagai cara untuk melepas stres. Bukannya istirahat dan menikmati kegiatan yang kita cintai, tanpa sadar kita tergerak untuk mengabadikannya dalam bentuk unggahan yang estetik.

4. Hobi adalah privilese di tengah inflasi biaya hidup

keyboard (Pexels/cottonbro studio)
keyboard (Pexels/cottonbro studio)

Hobi juga bisa dianggap privilese. Untuk mengakomodasi kegiatan itu, kita mau tak mau harus menggelontorkan dana, bahkan untuk hobi yang dianggap murah sekalipun. Memasak, memotret, membaca, mendaki, melukis, memancing, dan merajut saja butuh biaya. Begitu pula hobi olahraga yang mengharuskanmu menyewa venue, membeli busana olahraga dan perlengkapan lainnya. Tak pelak, ada beberapa hobi yang identik dengan kelas sosial tertentu. Hobi olahraga berbiaya tinggi seperti padel, golf, dan tenis secara otomatis akan menunjukkan afiliasi dengan kelas menengah atas. Bahkan, hobi membaca buku dan bermain musik pun kini identik dengan surplus penghasilan karena harga produknya yang kian sulit dijangkau.

Di tengah inflasi biaya hidup seperti sekarang, persepsi kita pada hobi pun ikut bergeser. Hobi dilihat sebagai sesuatu yang sia-sia alias tidak produktif. Apalagi untuk orang yang harus mengambil beberapa pekerjaan sekaligus, punya banyak tanggungan, dan beban finansial lainnya. Sangat lumrah bagi mereka untuk tidak memprioritaskan hobi.

Potensi absennya hobi di kalangan anak muda adalah salah satu dampak kapitalisme. Ia secara perlahan berhasil menciptakan masyarakat yang berorientasi pada profit, produktivitas, dan kepemilikan pribadi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us