Kenapa Orang Suka Mengoleksi Buku, Padahal Belum Dibaca?

- Sensasi yang bikin ketagihan: Buku baru itu terasa seperti pintu menuju kemungkinan baru. Meski belum dibaca, kehadirannya saja sudah memberikan sensasi produktif dan semangat baru. Banyak orang membeli buku karena membayangkan potensi pengetahuan, cerita, atau pengalaman yang akan didapat nanti. Rasa ini sering kali cukup memuaskan, bahkan tanpa membuka halaman pertamanya.
- Bentuk self-expression dan identitas diri: Koleksi buku sering mencerminkan minat, nilai, dan citra diri seseorang. Ada yang merasa lebih “jadi dirinya sendiri” ketika punya rak penuh buku sejarah, fiksi, atau psikologi. Bahkan jika belum terbaca, buku-buku itu membentuk
Fenomena mengoleksi buku tetapi tidak segera membacanya ternyata jauh lebih umum daripada yang kita kira. Rak yang penuh judul menarik, tumpukan buku baru yang masih bersegel, hingga daftar belanja yang nggak pernah benar-benar kosong, semua itu rasanya menyenangkan, meski bacaan masih tertinggal. Kenapa sih hal ini bisa terjadi? Berikut beberapa alasannya.
1. Sensasi yang bikin ketagihan

Buku baru itu terasa seperti pintu menuju kemungkinan baru. Meski belum dibaca, kehadirannya saja sudah memberikan sensasi produktif dan semangat baru. Banyak orang membeli buku karena membayangkan potensi pengetahuan, cerita, atau pengalaman yang akan didapat nanti. Rasa ini sering kali cukup memuaskan, bahkan tanpa membuka halaman pertamanya.
2. Bentuk self-expression dan identitas diri

Koleksi buku sering mencerminkan minat, nilai, dan citra diri seseorang. Ada yang merasa lebih “jadi dirinya sendiri” ketika punya rak penuh buku sejarah, fiksi, atau psikologi. Bahkan jika belum terbaca, buku-buku itu membentuk ruang yang terasa personal. Mereka bukan hanya bacaan, tapi juga representasi dari diri yang ingin dibangun.
3. Efek dopamin dari belanja buku

Proses mencari buku, melihat rekomendasi, hingga checkout di toko buku, semua itu memicu dopamin. Sensasi ini kadang lebih kuat dibanding kegiatan membaca yang membutuhkan waktu dan konsentrasi. Nggak heran kalau ada yang lebih sering membeli daripada menuntaskan buku yang sudah dimiliki.
4. FOMO (Fear of Missing Out) pada rekomendasi dan tren

Era BookTok, BookTube, dan review di media sosial bikin kita gampang ke-trigger beli buku populer. Takut ketinggalan obrolan atau tren membuat pembaca menumpuk TBR (to be read) tanpa sadar. Bahkan jika belum punya waktu membaca, setidaknya bukunya sudah “aman” di rak.
5. “Aku beli sekarang, bacanya nanti."

Banyak orang percaya mereka akan punya waktu membaca suatu saat nanti. Optimisme ini nggak salah, hanya kadang realitasnya berkata lain. Aktivitas harian, pekerjaan, atau sekadar mood membaca yang naik-turun bisa bikin rencana baca molor lama.
6. Nilai estetika dan kenyamanan visual

Rak buku yang rapi, warna sampul yang cantik, atau edisi khusus dengan desain premium, semua itu memberi kepuasan visual. Buku menjadi bagian dari dekorasi rumah, menambah kehangatan ruangan, dan membuat suasana lebih personal. Membaca mungkin menyusul belakangan, tapi ingin memiliki edisi cantiknya? Bisa dipahami.
7. Pengaruh konsep “Tsundoku” dari Jepang

Ada istilah Jepang bernama tsundoku, yang menggambarkan kebiasaan menumpuk buku yang dibeli tetapi tidak dibaca. Konsep ini menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut sudah ada sejak lama dan dianggap sebagai bagian dari hubungan manusia dengan pengetahuan, keinginan untuk terus belajar, meski belum sempat diakses.
Mengoleksi buku tanpa langsung membacanya bukan kebiasaan aneh. Sering kali, buku bukan hanya tentang teks dan cerita, tapi juga tentang harapan, identitas, estetika, dan kebutuhan emosional yang lebih dalam.
Selama koleksi itu memberi kebahagiaan dan tidak memberatkan, tidak ada salahnya menikmati prosesnya. Toh, setiap buku punya waktunya sendiri untuk akhirnya dibuka dan dibaca, dan kamu bebas menentukan kapan saat itu tiba.



















