5 Manifestasi Toksik dari Rasa Malu Berlebih, Berakibat Fatal

- Rasa malu berlebih menghambat menjadi diri sendiri
- Sulit mengampuni diri sendiri dan perfeksionis
- Kritik dianggap penolakan dan kebiasaan overthinking
Rasa malu adalah satu emosi yang pastinya pernah dialami setiap orang. Ada banyak hal yang memicu rasa malu, bisa melakukan kesalahan, ditegur di depan orang banyak, mengalami kegagalan, dan masih banyak lagi.
Saat digunakan dengan kadar yang cukup, rasa malu sebenarnya memberi alarm agar kita tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Namun, bila berlebihan, malah akan jadi batu sandungan untuk diri sendiri. Sayangnya, banyak orang gak sadar dia dirundung rasa malu yang toksik. Biasanya, perasaan itu bermanifestasi dalam lima hal di bawah.
1. Kamu gak bisa jadi diri sendiri apa adanya

Toxic shame menyorot fakta tentang kelemahan, ketidaksempurnaan, dan kesalahan yang kamu lakukan. Fokusnya bukanlah untuk membenahi diri, melainkan menyerang karakter dan personalitas. Secara tidak langsung, kamu pun percaya bahwa dirimu adalah sosok yang buruk, tidak berharga, dan tidak layak dicintai.
Ini yang membuatmu menyembunyikan jati diri setiap bertemu orang baru. Ketakutan akan penghakiman bisa menjadi tanda bahwa kamu masih hidup dikontrol oleh rasa malu yang toksik. Kamu takut akan kritik dan penolakan, sehingga akhirnya memilih untuk berpira-pura.
2. Kamu sulit mengampuni diri sendiri

Hayo, siapa yang sampai hari ini sering kritik diri sendiri untuk kesalahan kecil? Padahal, kalau temanmu melakukan kesalahan yang sama, kamu mudah untuk memaklumi. Tapi saat kamu sendiri yang melakukannya, kamu langsung menghujami diri dengan kritik dan penghinaan.
Ini adalah tanda kamu masih dikendalikan rasa malu yang toksik. Mudah untuk berbuat baik pada orang lain, tapi sulit untuk menerapkan hal serupa untuk diri sendiri.
3. Perfeksionis

Rasa malu yang toksik membuat kita berpikir bahwa kita harus mencapai sesuatu atau menjadi seseorang agar bisa diterima. Ini yang akhirnya memicumu untuk menyelesaikan sesuatu dengan sempurna.
Masalahnya, kamu tidak akan pernah merasa cukup. Semakin kamu menggantungkan keberhargaan diri pada pencapaian dan pekerjaan, semakin kamu merasa haus akan validasi. Keberhargaan diri sejati datang ketika kamu berhasil menerima dirimu apa adanya.
4. Kamu tidak bisa menerima kritik dengan baik

Perbedaan antara rasa malu yang sehat dan toksik adalah, rasa malu yang sehat membuatmu mampu untuk menerima kritik membangun. Sebaliknya, rasa malu yang toksik membuatmu berpikir kritik adalah penolakan.
Kamu membiarkan kritik, teguran, feedback dari orang mendefinisikan keberhargaan dirimu. Ini yang akhirnya menjadi batu sandungan. Kamu tidak akan bisa berkembang bila hanya terus ingin dipuji-puji saja.
5. Kebiasaan overthinking

Jangan salah, kebiasaan berpikir berlebihan juga bisa berakar dari rasa malu toksik yang tidak segera diselesaikan. Coba deh, apa kamu sering membiarkan diri tinggal dalam masa lalu? Padahal peristiwanya sudah lama berlalu, tapi kamu masih menyalahkan diri sendiri untuk itu.
Percaya deh, hal tersebut malah buang-buang tenaga dan jadi sumbat emosional. Toh, hanya dengan memikirkan tidak akan mengubah apa pun. Kamu perlu melepas dan mengampuni diri sendiri secara sengaja.
Kalau kamu tahu masih sering terjebak dalam lima hal di atas, berarti ini sinyal untukmu melepaskan rasa malu yang toksik. Entah bersumber dari kepahitan atau kegagalan di masa lalu, kamu harus dengan sengaja mengampuni dirimu. Tidak ada manusia yang sempurna, jadi kenapa kamu menuntut dirimu terlalu keras?