Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Neas Wanimbo Kembangkan Literasi di Tanah Papua Melalui Hano Wene

Tim Hano Wene mendapatkan pelatihan dari kantor UNICEF Papua
Tim Hano Wene mendapatkan pelatihan dari kantor UNICEF Papua (instagram.com/@hanowene)

Debu jalanan menempel di wajahnya, sementara keringat terus menetes di bawah teriknya sinar matahari. Di punggungnya, sebuah karung besar berisi koleksi bacaan bergoyang mengikuti langkah yang tertatih. Berjam-jam ia memanggul beban itu, menembus jalur tanah berbatu yang licin.

Meski transportasi sulit, Neas Wanimbo tetap berjalan kaki. Bukan karena ia tak lelah, tetapi karena ia tahu di ujung perjalanan ada anak-anak yang menunggu kabar baik berupa buku-buku dalam hidup mereka. Bukan tentang seberapa mahal harganya, apalagi seberapa bagus kualitasnya, asal masih bisa dan layak dibaca, apapun jenis bukunya tetaplah seperti harta karun berharga bagi anak-anak di pedalaman Papua.

Realitanya, tidak semua anak tumbuh dengan beruntung memiliki koleksi bahan bacaan yang tersusun rapi di rak buku rumahnya. Hampir di sebagian daerah Papua, buku adalah barang langka. Tidak hanya itu, mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah sering kali terasa jauh dan sulit diakses, bukan hanya tentang jarak tapi juga kesempatan yang kurang merata.

Di antara kegelisahan itu, Neas Wanimbo memilih untuk tidak diam. Dia tahu, bahwa harapan tidak bisa tercapai hanya dengan terus menunggu datangnya bantuan, tapi harapan harus ditanam, disemai, dan dijaga. Keresahan itu membuatnya antusias untuk memperbaiki keadaan di tanah kelahirannya. Neas Wanimbo mulai mendirikan gerakan yang diberi nama Hano Wene. Nama tersebut diambil dari bahasa lokal di distrik Tangma, kabupaten Yahukimo, provinsi Papua Pegunungan, yang artinya berita baik.

Neas tidak ingin memandang Papua sebagai wilayah terpencil, karena dia yakin bahwa di sanalah semangat perubahan tumbuh makin kuat. Berkat kegigihan dan dedikasinya, pemuda asal Papua Pegunungan ini berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Award 2024 dalam bidang pendidikan. Bagi Neas, terpencilnya wilayah bukan alasan untuk berhenti menggerakkan aksi literasi di Tanah Papua. Pada kesempatan ini, penulis tertarik untuk mengulik kisah dari Neas Wanimbo dalam mengukir perjalanan gerakan literasi yang ia bangun bersama masyarakat di pedalaman Papua. Yuk, ikuti kisahnya!

1. Berawal dari keresahan, Neas Wanimbo gigih memperjuangkan pendidikan

Neas Wanimbo berkumpul bersama keluarga
Neas Wanimbo berkumpul bersama keluarga (instagram.com/@neaswanimbo)

Neas Wanimbo lahir dari keluarga sederhana di Papua, di mana kedua orangtuanya bekerja sebagai petani. Sejak kecil, ia menyadari bahwa akses pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil masih sangat terbatas. Keresahan dan pengalaman dari diri sendiri inilah yang mendorong Neas untuk melakukan aksi nyata. Neas juga merupakan alumni dari Tanri Abeng University yang telah berhasil memberikan banyak inspirasi dengan prestasinya, salah satunya adalah mendirikan dan mendedikasikan waktu serta pengalamannya untuk Hano Wene.

Semua berawal dari tahun 2018 silam. Neas Wanimbo bersama teman-temannya mendirikan taman baca yang kini sudah tersebar di beberapa kampung pedalaman Papua. Tujuan mulia seorang Neas Wanimbo adalah agar anak-anak Papua bisa belajar dan memiliki harapan cemerlang untuk masa depan kelak. Ide awalnya yaitu memfasilitasi perpustakaan dengan harapan menyediakan mereka akses pendidikan meskipun berada di kampung-kampung yang tidak ada sekolah. Sulitnya akses pendidikan dan buku-buku bacaan inilah membuat Neas bersungguh-sungguh untuk mendirikan Hano Wene yang diharapkan bisa menjadi kabar baik.

Pada tahun 2021, Hano Wene dinyatakan sebagai juara favorit Festival Pahlawan Desa. Dalam percakapannya di momen tersebut yang dipublikasikan melalui kanal YouTube, Neas Wanimbo mengenang alasan ia membangun Hano Wene, yaitu mendukung sekolah-sekolah dan komunitas di pelosok Papua. Ia juga menceritakan pengalamannya ketika bersekolah di pedalaman. “Di kampung kami dulu hanya ada satu guru yang mengajar enam kelas. Kami tidak punya fasilitas baca, tidak ada buku, dan guru sangat kurang,” ujar Neas dalam percakapan melalui kanal Youtube Pribadi yang diunggah pada 5 Desember 2021. Pengalaman pahit itulah yang mendorongnya mendirikan komunitas ini agar adik-adik di pedalaman tidak mengalami kesulitan yang sama dan tetap bisa memperoleh akses pendidikan, terutama di kampung halamannya.

2. Minimnya bahan bacaan menjadi kendala terbesar yang ingin Neas tuntaskan

Anak-anak Papua membaca buku bersama di depan Perpustakaan Hano Wene
Anak-anak Papua membaca buku bersama di depan Perpustakaan Hano Wene (instagram.com/@neaswanimbo)

Perjalanan mendirikan Hano Wene tidaklah mudah. Minimnya buku bacaan membuat Neas dan teman-temannya harus memutar otak untuk mencari solusi. Mereka mulai menyusun berbagai program yang dapat memperkuat upaya menghadirkan ruang belajar bagi anak-anak Papua, sekaligus memastikan Hano Wene dapat berjalan secara maksimal.

Salah satu program tersebut misalnya seperti Books For Better Papua, yang berupa misi mengirim 30.000+ buku pelajaran dan bacaan ke Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara. Buku-buku yang terkumpul tersebut kemudian dijadikan satu dalam Taman Baca Hano Wene. Persebarannya dilakukan melalui balai desa dan tempat ibadah, yang kini tersebar di Kampung Huewi, Iliunggime, Wollo, dan Yarona.

Tawa kebahagiaan yang dirasakan anak-anak Papua, ikut dirasakan oleh Neas dan teman-temannya. Baginya, pendidikan harus dimulai dari budaya membaca, dan semangat itulah yang membuat langkahnya tidak pernah padam. Prinsip yang ia pegang yaitu setiap anak harus bisa baca menjadi pertanda bahwa semua orang punya kesempatan yang sama. Hanya saja, sebagian besar dari mereka terhambat akses terhadap buku. Di sinilah kehadiran Hano Wene makin terasa manfaatnya.

3. Medan penuh tantangan tak menjadi hambatan untuk membangun Hano Wene

Neas Wanimbo mendistribusikan buku ke sekolah dan Perpustakaan Hano Wene di Muliama
Neas Wanimbo mendistribusikan buku ke sekolah dan Perpustakaan Hano Wene di Muliama (instagram.com/@neaswanimbo)

Selain terkendala buku-buku dan akses pendidikan yang tergolong masih sangat minim, tantangan membangun Hano Wene tidak cukup sampai di sana. Perjalanan yang harus ditempuh untuk membawa buku-buku tersebut supaya dapat didistribusikan secara merata ke perpustakaan Hano Wene juga tidak mudah. Bukan hanya tenaga, tapi biaya pengiriman juga dapat dipastikan makin besar.

Tantangan yang dihadapi oleh Neas dan teman-temannya juga seringkali membuatnya putus asa di tengah perjalanan. Bagaimana tidak, dengan segala kondisi yang terbatas, minim fasilitas, seringkali membuatnya ragu dan kebingungan. Namun, demi Hano Wene dan anak-anak Papua, Neas berani menembus hutan, menyebrangi sungai, hingga melalui jalur terjal untuk memastikan buku sampai ke tangan yang membutuhkan.

Perjuangan Neas ini menjadi bukti nyata bahwa literasi di pedalaman Papua membutuhkan keberanian dan ketekunan. Neas ingin memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal aksara dan menumbuhkan minat baca. Karena kalau tidak ada yang memulai dan mengusahakan, mau sampai kapan bertahan di keadaan yang sama.

4. Bukan sekadar kegiatan, melainkan rumah kedua yang menyimpan banyak harapan

Hano Wene menerima donasi buku-buku dan alat belajar dari Tim Yayasan Baliem Cahaya
Hano Wene menerima donasi buku-buku dan alat belajar dari Tim Yayasan Baliem Cahaya (instagram.com/@hanowene)

Hano Wene hadir bukan hanya sekadar menjadi perpustakaan, melainkan hadir di tengah-tengah pedalaman Papua sebagai jawaban atas kesenjangan akses pendidikan yang selama ini terjadi. Neas Wanimbo berharap bahwa Hano Wene tidak hanya menjadi jembatan literasi, tetapi juga menjadi jalan dalam menumbuhkan keberanian untuk bermimpi lebih besar. Misi yang mulia ini membuat Hano Wene terus mengalami peningkatan dan banyak dukungan berdatangan.

Keberadaan Hano Wene telah melahirkan banyak pencapaian nyata. Pada tahun 2025, Kabupaten Yahukimo salah satu daerah di Papua Pegunungan berhasil meraih penghargaan nasional oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atas prestasi signifikan menurunkan angka buta aksara dari 5000 orang pada 2020 menjadi 2000 orang di tahun 2024. Selain itu, Hano Wene juga sudah berkontribusi dalam mendirikan 11 taman baca, mendukung 5 guru sukarelawan di pedalaman, dan membantu lebih dari 500 anak dengan alat tulis juga pakaian yang layak.

Tidak berhenti sampai di sana, hal lain yang sudah dirasakan manfaatnya dengan adanya Hano Wene ini, yaitu telah menyediakan buku paket untuk 5 sekolah, dan menyalurkan buku rohani Kristen juga buku Islam ke sekolah Alkitab dan pesantren Wamena. Semua ini akan sulit terwujud jika tidak didukung oleh banyak pihak lain yang sangat berjasa. Neas tidak hanya memperjuangkan gerakan ini sendirian, tapi juga teman-teman lain dan pihak yang berkontribusi.

5. Perjuangan belum usai, dukungan masih terus dibutuhkan

Yayasan Hano Wene menerima bantuan buku dan Alkitab dari salah satu guru kontrak di distrik Pirime
Yayasan Hano Wene menerima bantuan buku dan Alkitab dari salah satu guru kontrak di distrik Pirime (instagram.com/@hanowene)

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mempertahankan akan jauh lebih sulit daripada memulainya. Hal itulah yang dirasakan Neas Wanimbo dan tim ketika menghidupkan Hano Wene. Mereka harus terus memikirkan program yang bukan hanya bermanfaat, tetapi juga berkelanjutan dan relevan bagi masyarakat di pedalaman Papua. Upaya itu salah satunya diwujudkan melalui program makanan bergizi yang menyediakan hidangan sehat bagi anak-anak di taman baca.

Tidak hanya itu, ada program lain seperti mengajar baca tulis dengan bahasa lokal bagi masyarakat yang belum bisa membaca. Ada juga program kisah inspirasi yang mengangkat cerita sosok inspiratif pedalaman untuk memotivasi generasi muda. Neas juga mengadakan program yang mengajak mahasiswa dan masyarakat kota mengajar sambil mengenal budaya desa melalui kegiatan jalan-jalan dan mengajar.

Tentu saja, itu semua dilakukan supaya semua pihak bisa berkontribusi. Baik bagi masyarakat di sekitar Papua, ataupun di seluruh Indonesia yang ingin satukan gerak terus berdampak. Karena kita satu Indonesia, asalkan mau bersungguh-sungguh saling membantu dan berkontribusi, dampak yang dihasilkan juga makin luas dapat dirasakan.

Walaupun Neas dan tim menghadapi banyak tantangan, mulai dari biaya pengiriman buku yang mahal, kekurangan pengajar ahli, hingga buku donasi yang seringkali tidak sesuai konteks lokal Papua, mereka terus berjuang sekalipun tanpa donatur tetap. Karena dengan bantuan banyak pihak, ini semua akan lebih mudah untuk diusahakan satu persatu secara bertahap.

Semua tantangan ini justru menjadi ruang belajar Neas dan tim untuk terus bertumbuh dan beradaptasi demi pendidikan anak-anak juga masyarakat sekitarnya. Neas yakin dan berharap setiap dari mereka yang ada di pedalaman Papua bisa mendapatkan akses pendidikan berkualitas seperti anak-anak pada umumnya di kota. Meskipun banyak tantangan, namun respon baik dari masyarakat maupun pemerintah membuat Hano Wene terus mengalami perkembangan yang lebih pesat!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Trik Negosiasi Jobdesk agar Beban Kerja Lebih Ringan dan Seimbang

16 Nov 2025, 15:10 WIBLife