Kenapa Orang Tajir Susah Berempati?

Komentar nirempati anggota DPR yang diikuti unjuk rasa beberapa waktu lalu bikin kita sadar kalau banyak orang tajir (kaya raya) yang susah berempati. Gak hanya anggota DPR, masyarakat juga dibikin sadar betapa banyaknya publik figur dan tokoh dengan privilese yang memilih bungkam.
Kenapa, sih, orang tajir susah berempati? Bukannya gelimang harta harusnya bikin orang jadi lebih dermawan? Ternyata ada beberapa penelitian menarik yang bisa menjelaskan fenomena ini. Berikut beberapa rangkumannya.
1. Riset di Amerika Utara membuktikan kalau makin naik kasta ekonomi seseorang, makin berkurang pula kemampuan mereka berempati

Ada beberapa riset menarik yang dilakukan beberapa ahli neurosains di Amerika Serikat. Paul Piff dari University of California, Irvine adalah salah satu ahli yang beberapa kali meneliti korelasi kekayaan dengan empati. Dalam siniarnya dengan American Psychiatric Association (APA), ia merangkum beberapa temuannya. Menggunakan mobil mewah sebagai indikator kemakmuran, ia dan beberapa koleganya menemukan bahwa para pengendara mobil mewah itu cenderung menerobos antrean di jalan.
Mereka juga enggan menurunkan kecepatan saat melintasi zebra-cross, mengindikasikan keengganan mengalah pada pejalan kaki yang hendak menyeberang. Riset itu diamini oleh Kraus, Stephane, dan Dacher dalam jurnal Psychological Science dengan judul ‘Social Class, Contextualism, and Empathic Accuracy’. Dari 106 responden dari beragam etnik dan gender, ditemukan bahwa mereka dengan latar belakang ekonomi lebih rendah cenderung lebih mudah berempati.
Riset lain yang gak kalah menarik dipublikasikan Koo, dkk dengan judul ‘If I Could Do It, So Can They: Among the Rich, Those With Humbler Origins are Less Sensitive to the Difficulties of the Poor’ dalam jurnal Social and Personality Psychology. Riset yang juga melibatkan Piff itu menemukan bahwa orang tajir yang memulai dari nol lebih sulit berempati ketimbang yang kaya dari lahir. Ini sejalan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan banyak orang kaya baru (OKB) yang bertindak menyebalkan. Sampai-sampai ada ungkapan “money doesn’t buy culture”, merujuk pada ketidakmampuan uang membeli hal-hal yang tidak bersifat materi seperti keanggunan, adab, integritas, selera, dan lain sebagainya.
2. Mengapa kekayaan berbanding terbalik dengan empati?

Piff lewat siniar dengan APA berargumen kalau ketiadaan empati pada orang tajir disebabkan oleh perasaan berhak yang tinggi. Kesimpulan ini ia dapat lewat risetnya yang lain. Kali ini ia meminta respondennya bermain Monopoli dan di situ pola perilaku orang bisa terlihat. Ketika pemenang permainan ditanya apa faktor keberhasilan mereka, kebanyakan akan fokus pada keputusan-keputusan yang mereka ambil. Tak ada yang mengakui atau mengingat bahwa keberhasilan itu juga bisa disebabkan keberuntungan dan peluang di luar keputusan mereka. Misal angka yang keluar dari dadu, kartu acak yang mereka dapat, dan urutan giliran.
Permainan itu juga menunjukkan kecenderungan orang tajir mengumpulkan modal dan aset sebanyak-banyaknya. Piff melihat bahwa keputusan finansial para pemenang permainan akan cenderung bersifat konservatif. Semakin kaya mereka, semakin enggan mereka membagi harta dan menggelontorkan dana. Mereka akan cenderung menjaga kekayaan itu dan bakal defensif mempertahankan status quo, meski itu artinya timpang atau tidak adil. Tidak mengherankan, karena mereka adalah pihak yang diuntungkan dalam sistem yang sudah ada.
Piff melanjutkan bahwa kurangnya empati berakar pula dari ketiadaan ketergantungan terhadap orang lain. Kekayaan memberikan seseorang kebebasan dan kekuasaan yang membuat mereka sulit atau tak terbiasa memikirkan perasaan orang lain. Ini diamini Kraus, dkk yang menemukan bahwa kuasa sosial mampu mengurangi skor empati responden mereka, termasuk yang sebelumnya masuk dalam kelompok kelas ekonomi relatif rendah. Kalau orang minim privilese bisa begitu, bayangkan saja orang-orang yang punya uang dan bisa membeli jasa dan waktu untuk kepentingan pribadi mereka.
3. Apakah ada hubungannya dengan gender dan budaya?

Menurut beberapa riset yang dicatut di atas, tidak ada perbedaan signifikan antara responden perempuan dan pria. Hanya saja Piff melihat responden perempuan, setidaknya di Amerika Utara (lokasi ia melakukan penelitian) memiliki skor empati sedikit lebih tinggi. Untuk faktor budaya, beberapa mungkin memprediksi kalau negara dengan budaya kolektif akan menunjukkan hasil berbeda.
Asumsi itu masuk akal, tetapi ternyata hasilnya tak sesuai dugaan. Riset Liu, dkk di China dengan judul ‘Effect of Socioeconomic Status on Altruistic Behavior in Chinese Middle School Students: Mediating Role of Empathy dalam International Journal of Environmental Research and Public Health menemukan kecenderungan sama persis. Anak-anak dari kelas ekonomi lebih rendah terbukti lebih dermawan ketimbang anak-anak dari keluarga berada.
Bukti lain bisa kita lihat di negara-negara berkembang dengan masalah korupsi kronis seperti Indonesia. Meski dikenal dengan kultur kolektifnya, anggota DPR dan pejabat di negeri ini membuktikan kalau kemampuan berempati mereka mati seiring dengan peningkatan level kemakmuran (dilihat dari jabatan, pendapatan dan laporan kekayaan mereka). Ini sejalan dengan pendapat umum bahwa ketamakan adalah sifat universal manusia, tak peduli latar belakang budaya dan gendernya. Beberapa kasus orang tajir tone-deaf pun umum ditemukan di berbagai negara termasuk Rusia, China, Thailand, Korsel, dan lain sebagainya.
Terjawab sudah mengapa orang tajir susah berempati dan condong tone-deaf. Ada kaitannya dengan sifat naluriah manusia yang tamak dan haus validasi. Kalau bisa dirangkum, beberapa faktor utama berkurangnya kemampuan berempati pada orang tajir adalah perasaan berhak yang tinggi (keengganan mengakui hak istimewa mereka) serta sensasi bebas dan berkuasa yang tercipta karena harta.