7 Perilaku Canggung Ini Bisa Jadi Efek dari Trauma Masa Kecil, Relate?

- Perilaku canggung bisa jadi respons dari trauma masa kecil, seperti sulit melakukan kontak mata karena asosiasi dengan ancaman atau konflik.
- Terlalu banyak menjelaskan hal kecil mungkin refleksi dari kebutuhan untuk merasa aman dan diterima akibat tidak divalidasi secara emosional di masa kecil.
- Tertawa saat situasi serius atau gak bisa menerima pujian tanpa menolaknya juga bisa menjadi respons trauma yang perlu dipahami dan diperbaiki.
Kamu sering merasa canggung dalam situasi sosial? Mungkin kamu menganggapnya sekadar sifat pemalu atau kebiasaan aneh. Tapi tahukah kamu, perilaku yang terlihat “kikuk” bisa jadi adalah respons dari trauma masa kecil?
Trauma tidak selalu tentang peristiwa besar seperti kekerasan atau kecelakaan, lho. Bisa juga berasal dari pengalaman kecil yang terus berulang, seperti sering dikritik, diabaikan, atau tumbuh di lingkungan yang tidak stabil. Tanpa disadari, pengalaman ini membentuk cara kamu berinteraksi dengan dunia.
Nah, berikut tujuh perilaku canggung yang mungkin ternyata adalah respons trauma. Simak, siapa tahu ternyata kamu mengalaminya!
1. Sulit melakukan kontak mata

Kalau kamu sering menghindari tatapan mata saat ngobrol, terutama dengan orang yang kamu hormati atau takuti, itu bisa jadi tanda kamu mengalami respons sistem saraf berupa hypervigilance. Bagi mereka yang tumbuh di lingkungan yang gak stabil secara emosional, kontak mata bisa diasosiasikan dengan ancaman atau konflik. Maka, otak secara otomatis belajar untuk menghindari tatapan sebagai bentuk perlindungan.
Menurut para terapis trauma, perilaku ini juga berkaitan dengan respons fawn, yaitu kecenderungan untuk menenangkan atau menghindari potensi konflik. Respons ini sering terjadi secara otomatis tanpa kamu sadari, seolah tubuhmu sudah terprogram untuk menghindari hal-hal yang terasa mengancam sejak dulu.
2. Terlalu banyak menjelaskan hal kecil

Pernah gak kamu merasa harus jelasin panjang lebar alasan kenapa beli susu oat daripada susu almond? Padahal orang cuma nanya sekilas aja.
Tingkah seperti ini bisa jadi refleksi dari kebutuhan bawah sadar untuk selalu menjelaskan diri karena takut disalahpahami. Psikolog percaya, ini sering dialami oleh mereka yang masa kecilnya kerap merasa tidak divalidasi secara emosional.
Pokok permasalahannya bukan soal susu sebenarnya. Ini soal kebutuhan untuk merasa aman dan diterima.
3. Tertawa saat situasi sedang serius

Kamu pernah ketawa pas orang cerita hal sedih? Atau senyum tiba-tiba di tengah pembicaraan berat?
Itu bukan berarti kamu gak peka, lho. Tapi tubuhmu mungkin sedang mencoba meredakan ketegangan dengan humor.
Dalam teori trauma, ini disebut incongruent affect, yaitu ekspresi emosi yang gak sesuai dengan konteksnya. Ini adalah cara alami otak untuk melindungi diri dari emosi yang terasa terlalu berat.
4. Gak bisa menerima pujian tanpa menolaknya

Kalau ada yang bilang kamu hebat, refleks kamu malah bilang, “Ah, kebetulan aja,” atau, “Itu karena tim juga.” Kebiasaan ini bisa berakar dari pengalaman masa kecil di mana pujian sangat jarang diberikan, atau justru datang dengan tekanan tambahan. Kalau kamu pernah diajari bahwa pujian itu bikin kamu sombong, atau harus segera “dibayar” dengan prestasi selanjutnya, otak kamu mungkin akan menolak pujian sebagai bentuk pertahanan diri.
5. Membeku dalam situasi sosial sederhana

Ada teman kerja ngajak makan siang, kamu bingung harus jawab apa. Padahal kamu suka orangnya dan pengin ikut. Reaksi membeku seperti ini termasuk dalam respons trauma yang disebut “freeze”, yaitu saat tubuh merasa tidak aman dan memilih diam atau menghindar.
Menurut polyvagal theory yang dikembangkan oleh Dr. Stephen Porges, kemampuan kita berinteraksi secara sosial sangat bergantung pada apakah sistem saraf merasa aman atau tidak. Kalau koneksi sosial di masa lalu sering dikaitkan dengan penolakan atau konflik, maka tubuh bisa merespons dengan “diam”.
6. Selalu minta maaf meski bukan salahmu

Kamu bilang “maaf” saat orang lain nabrak kamu, atau minta saus tambahan di restoran pun diawali dengan “maaf”. Perilaku ini bisa jadi hasil dari pola people-pleasing, terutama jika kamu tumbuh di lingkungan yang membuatmu merasa harus menghindari konflik dengan terus minta maaf.
Menurut penjelasan dalam Psychology Today, kebiasaan meminta maaf secara tidak tepat bisa menjadi perilaku yang dipelajari dari bentuk pengabaian atau penyalahgunaan emosional masa kecil. Minta maaf jadi cara untuk “mengecilkan” dirimu agar tetap aman.
7. Sulit mengambil keputusan, bahkan yang kecil

Memilih menu makanan bisa bikin stres. Diminta tentukan waktu rapat aja, kamu langsung jawab, “Terserah kamu aja.”
Kesulitan dalam mengambil keputusan sering dikira cuma soal “gak enakan” atau pasrah. Tapi sebenarnya ini bisa jadi refleksi dari ketakutan bikin kesalahan. Kalau di masa kecil kamu sering disalahkan saat bikin keputusan sendiri, atau pilihanmu selalu dianggap salah, maka wajar kalau sekarang kamu menghindari tanggung jawab atas keputusan apa pun.
Kalau kamu merasa relate dengan dengan poin di atas, kamu gak sendirian. Banyak orang yang gak sadar bahwa perilaku sehari-hari mereka ternyata berkaitan dengan pengalaman masa lalu yang belum selesai.
Kabar baiknya, semua ini bisa dipahami, diproses, bahkan diperbaiki. Otak dan tubuh kita punya kemampuan untuk pulih. Dengan kesadaran, bantuan dari orang terpercaya atau profesional, kamu bisa membangun respons baru yang lebih sehat dan lebih mendukung kehidupanmu sekarang.
Jadi, jangan langsung menyalahkan diri sendiri saat kamu merasa “aneh” di situasi sosial, ya. Bisa jadi, itu hanyalah bentuk dari kamu yang sedang berproses untuk sembuh.