Yuk Tukoni, Menyalakan Api UMKM Yogyakarta di Masa Pandemik

Pandemik COVID-19 yang berlangsung sejak awal 2020 memaksa pintu-pintu warung tertutup dan aktivitas ekonomi melambat. Dapur-dapur kecil di Yogyakarta menjadi saksi betapa beratnya pelaku UMKM bertahan hidup. Setiap hari, satu per satu pengusaha kuliner memutuskan menyerah karena kehilangan pasar, akses distribusi terputus, dan pelanggan yang tak bisa lagi datang.
Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian itu, sebuah kegelisahan sederhana muncul di benak seorang laki-laki Yogyakarta, Eri Kuncoro. Ia memikirkan, bagaimana nasib para pelaku usaha kuliner yang menggantungkan hidup dari penjualan harian?
Keresahan itu menemukan bentuk ketika Pak Amin, penjual mi ayam langganan di dekat rumah Eri, berpamitan untuk pulang kampung karena tak ada lagi pembeli. Momen kecil ini justru menjadi titik balik yang menyalakan gerakan besar. Eri sadar ia harus bergerak. Ia pun merintis sebuah inisiatif bernama Yuk Tukoni, gerakan yang menghadirkan harapan baru bagi UMKM kuliner, khususnya di Yogyakarta.
1. Keterbatasan yang memicu gerakan, Yuk Tukoni muncul dengan konsep saling beli dagangan teman

Kita tilik kembali ke 5 tahun lalu, di mana pandemik COVID-19 memaksa semua orang untuk diam di rumah. Dampak yang terasa bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga perekonomian. Saat itu, melihat kenyataan bahwa banyak pelaku UMKM kehilangan omzet sekaligus kepercayaan diri untuk melanjutkan usaha, Eri menyadari bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menunggu. Ia melihat pola yang sama terjadi berulang.
Para pelaku usaha kebingungan mencari solusi, tidak tahu harus menjual makanannya ke mana, dan tidak berani mengambil langkah karena keterbatasan informasi maupun modal. Situasi ini membuat ia berpikir bahwa dibutuhkan sebuah jembatan, sesuatu yang bisa menghubungkan UMKM dengan pembeli tanpa membuat mereka harus keluar rumah.
"Waktu itu saya cuma berpikir kalau kita diam saja, gimana nasibnya teman-teman yang curhat ke saya makanannya gak laku. Kemudian gimana keluarga dapat solusi karena benar-benar gak ada akses makanan, kan, saat pandemik," cerita Eri Kuncoro dalam Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 yang digelar pada Rabu (8/10/25).
Bersama rekannya, Revo Suladasha, Eri mulai mendekati para pelaku usaha di sekitarnya. Ia mengumpulkan cerita, mengidentifikasi kebutuhan paling mendesak, hingga mencoba memahami apa yang sebenarnya membuat mereka tersendat. Hingga akhirnya muncul sebuah gerakan bernama Yuk Tukoni, yang berarti 'ayo dibeli' dalam bahasa Jawa.
Konsep gerakan awalnya sederhana, yaitu saling beli dagangan teman atau orang di sekitar untuk memutar roda perekonomian. Mereka mengadaptasi konsep marketplace besar, tapi dalam versi sederhana dan skala kecil.
2. Yuk Tukoni bikin UMKM naik kelas dengan repackaging dan branding yang lebih modern

Sejak awal berdirinya, Yuk Tukoni dirancang agar mudah diikuti oleh para pelaku UMKM yang belum terbiasa dengan pemasaran digital. Mekanismenya dimulai dari proses pengumpulan produk. Para pelaku usaha mengirimkan sampel makanan ke tim Yuk Tukoni untuk dikurasi.
Di tahap ini, Eri dan tim menilai kualitas rasa, kebersihan, ketahanan produk, serta potensi untuk dikemas ulang dalam bentuk frozen food. Kenapa frozen food? Eri dan Revo merasa bahwa membekukan makanan menjadi solusi yang tepat di tengah pandemik. Para penjual akhirnya bisa menjajakan makanan, sedangkan pembeli merasa lebih aman karena mereka memasak kembali hidangan tersebut di rumah.
"Karena, kan, itu problemnya di waktu pandemik. Jadi kalau (makanan) dimasak di rumah, otomatis lebih higienis, kan? Otomatis aman, tidak kena penyakit, karena itu akan dimasak lagi... Kenapa? Karena orang, kan, mau datang gak mungkin, dilarang," kata Eri.
Kemudian, jika ditemukan kekurangan, mereka tidak menolaknya. Justru, Eri dan Revo memberi masukan terkait packaging, branding, hingga cara penyajian. Pendekatan ini membuat banyak UMKM merasa terbantu karena mendapatkan “mini inkubasi” sebelum akhirnya siap dipasarkan.
Setelah lolos kurasi, proses berikutnya adalah repackaging dan branding. Tim Yuk Tukoni memotret ulang makanan agar terlihat lebih menarik, menyiapkan kemasan yang higienis dan aman untuk distribusi, serta menyertakan panduan memasak bagi pembeli. Dengan standar ini, makanan yang sebelumnya hanya dijual di etalase warung bisa tampil lebih profesional dan layak bersaing di pasar digital. Semua bahan visual dan identitas produk dikonsep agar UMKM terasa punya “brand” yang jelas, bukan sekadar makanan rumahan.
3. Hanya dalam 12 hari, Yuk Tukoni membawa perubahan pada UMKM Yogyakarta

Ketika mekanisme dasar Yuk Tukoni mulai terbentuk, tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat semua proses itu berjalan cepat, karena para pelaku UMKM tidak punya waktu untuk menunggu. Dalam situasi pandemik yang serba dibatasi, Eri dan Revo hanya punya ruang dan peralatan rumah tangga biasa untuk bekerja. Mereka bahkan hanya berbekal freezer dan lemari penyimpanan pinjaman.
Eri dan Revo berhasil menjalankan ide mereka hanya dalam 12 hari. Mereka sendiri yang mencoba produk, memotret, hingga menyiapkan packaging baru untuk produk UMKM yang akan dijual. Setelahnya, mereka publikasikan melalui Instagram dan WhatsApp untuk media pemesanannya. Bahkan karena diawali dengan niat saling bantu, mereka memberikan layanan free ongkir untuk pengiriman dalam radius 10 kilometer.
"Kalau dihitung dari waktu, itu cuma 12 hari kita siapkan. Dari 1 April 2020 idenya dan gagasannya muncul, 12 April 2020 itu gerakannya bisa jalan. Pastinya, Tukoni lahir bukan sebagai bisnis, tapi sebagai gerakan sosial penyambung napas UMKM tadi," ungkap Eri.
4. Gerakan Yuk Tukoni berhasil membawa dampak nyata dan menyambung napas para pelaku UMKM

Ketika sistem produksi, pengemasan, dan distribusi akhirnya berjalan stabil, dampaknya mulai terasa di banyak sisi. UMKM yang sebelumnya terpukul oleh pandemik kembali mendapat pemasukan rutin. Banyak dari mereka yang awalnya sudah hampir menutup usaha bahkan mampu mempertahankan karyawan, atau merekrut kembali pekerja yang sempat dirumahkan.
Dampak paling nyata yang bisa disaksikan sendiri oleh Eri adalah Pak Amin, si penjual mi ayam langganannya batal pulang kampung. Ia kembali bersemangat berjualan karena bisa kembali tersambung dengan pembeli berkat Yuk Tukoni.
"Pak Amin merasa berterima kasih karena dia akhirnya gak harus pulang. Dia harus membuat pesanan ini dan terus-menerus dia buat. Dia bahkan bilang, 'Pak, saya boleh gak bikin ini unutk saya sendiri, tidak lewat Tukoni?' Saya bilang boleh, silakan," kata Eri menjelaskan.
Bukan hanya itu, pelaku bisnis kuliner lain, yaitu Mie Ayam Bu Tumini bahkan bisa mencatatkan rekor penjualan sebanyak 100 hingga 200 porsi per harinya saat itu. Tentu ini semua mendatangkan banyak manfaat bagi semua pihak.
Gerakan yang awalnya hanya bertujuan menyambung napas UMKM tetangga akhirnya bisa membentuk ekosistem ekonomi baru yang hidup dari kebiasaan saling mendukung. Konsumen pun merasakan manfaatnya. Mereka bisa menikmati makanan lokal favorit tanpa harus keluar rumah, sekaligus membantu para pelaku usaha kecil bertahan di masa sulit.
5. Kini, bahkan setelah 5 tahun, semangat Yuk Tukoni masih menyala

Kesuksesan Yuk Tukoni tidak hanya tercermin dari angka penjualan, tetapi juga dari pengakuan yang diterima. Pada 2020, gerakan ini dianugerahi SATU Indonesia Awards berkat kontribusinya dalam memberdayakan UMKM di masa pandemik.
Eri mengaku sempat tidak menyangka bisa mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. Ia mengatakan, "Buat saya, ini bukan soal penghargaan, tapi bentuk pengakuan bahwa gotong royong masih relevan dan sangat kuat di masa krisis."
Hingga 5 tahun kemudian, gerakan ini tetap berjalan meski dengan skala dan bentuk yang dinamis. Bahkan, kini Yuk Tukoni banyak menjajakan makanan lokal Yogyakarta sehingga bisa dinikmati oleh orang-orang di luar area tersebut.
“Sekarang masih api kecil itu masih menyala. Di 5 tahun ini masih menyala," pungkas Eri Kuncoro.



















