5 Stereotip Hubungan yang Sering Dinormalisasi Padahal Gak Sehat

Dalam hubungan asmara, ada banyak stereotip yang sering kita dengar dan bahkan mungkin kita yakini sebagai hal yang normal. Padahal, beberapa dari stereotip ini justru bisa berdampak negatif dan membuat hubungan jadi gak sehat.
Meski sering dinormalisasi, penting untuk menyadari bahwa gak semua yang terdengar umum adalah baik untuk diikuti. Berikut adalah lima stereotip hubungan yang sering dianggap biasa padahal sebenarnya gak sehat.
1. Hubungan putus-nyambung itu wajar dan menambah keintiman

Hubungan putus-nyambung kerap dianggap sebagai tanda dari hubungan yang penuh gairah. Banyak yang berpikir bahwa semakin sering kembali bersama setelah putus, semakin kuat pula hubungan tersebut. Namun, kenyataannya pola ini bisa sangat merusak, lho.
Menurut Anabel Basulto, LMFT, seorang terapis pernikahan dan keluarga, hubungan yang berulang kali putus dan kembali lagi sebenarnya sering kali menciptakan pola toksik. "Polanya menjadi seperti putus hanya untuk kembali lagi, dan itu tidak akan pernah menghasilkan kepuasan dalam hubungan. Kegembiraan berpikir 'kali ini akan lebih baik' hanya membuat otak kita tertipu bahwa pola toksik ini adalah hal yang baik," ujar Basulto.
Memang, adakalanya mengambil jeda dalam hubungan bisa bermanfaat. Tetapi, jika terus-menerus terjebak dalam siklus putus-nyambung tandanya ada yang salah dalam hubungan tersebut.
2. Mengontrol pasangan adalah bentuk cinta

Stereotip yang mengatakan bahwa perilaku mengontrol merupakan bentuk cinta adalah salah satu yang paling berbahaya. Banyak yang keliru menganggap cemburu, keinginan untuk tahu segala hal tentang pasangan, atau mengatur perilaku pasangan sebagai tanda komitmen dan kepedulian.
Menurut Basulto, membiarkan orang lain mengontrol perilaku dan cara berpikir kita bisa berdampak besar pada harga diri kita. "Perilaku mengontrol juga dapat membuat seseorang berisiko mengembangkan kecemasan dan depresi," ujarnya.
Hubungan yang sehat mestinya didasarkan pada rasa percaya, saling menghargai kebebasan, dan dukungan. Cinta sejati bukanlah tentang mengendalikan pasangan, melainkan memberikan kenyamanan, kekuatan, dan dorongan untuk tumbuh bersama.
3. Perempuan harus menjadi pengasuh utama dalam keluarga

Pandangan tradisional yang menempatkan perempuan sebagai pengasuh utama dalam keluarga adalah stereotip yang sering dipegang teguh, padahal sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Gayane Aramyan, LMFT, ketika perempuan harus memikul beban untuk mengurus semua orang dalam keluarga, mereka cenderung merasa kelelahan secara fisik dan emosional.
"Namun, kebanyakan pekerjaan yang dilakukan seorang pengasuh tidak terlihat, sehingga perempuan sering merasa tidak dihargai oleh anggota keluarga mereka, terutama pasangan," kata Aramyan.
Stereotip ini tidak hanya membebani perempuan dengan tugas yang tidak seimbang, tetapi juga merendahkan kemampuan pria untuk berperan serta secara setara sebagai pengasuh. Dampaknya, perempuan merasa terisolasi dan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara pribadi.
4. Pria lebih menginginkan seks daripada wanita

Stereotip bahwa pria memiliki dorongan seks yang lebih tinggi daripada wanita adalah pandangan yang sangat menyederhanakan kompleksitas seksualitas manusia. Menurut Dr. Tara Suwinyattichaiporn, pandangan ini dapat membuat pria yang tidak selalu menginginkan seks merasa kurang jantan dan tidak valid, sementara wanita yang lebih aktif secara seksual dalam hubungan merasa terhina atau tidak diinginkan.
Selain itu, stereotip ini juga menekan pria untuk berperilaku sesuai dengan pandangan maskulinitas yang sempit, sementara wanita merasa dipaksa untuk mematuhi anggapan bahwa mereka secara alami kurang tertarik pada seks. Semua ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam hubungan dan akhirnya menyebabkan perpecahan.
5. Segala sesuatu dalam hubungan harus seimbang 50/50

Anggapan bahwa segala sesuatu dalam hubungan harus dibagi secara adil dan merata 50/50 juga bisa menjadi stereotip yang merusak. Sebenarnya, hubungan yang sehat justru adalah yang bisa beradaptasi dengan perubahan dan kebutuhan masing-masing pihak.
Menurut Basulto, hubungan itu seperti resep masakan, dan tidak semua resep sama. "Pemikiran bahwa sebuah hubungan kemitraan harus 50/50 bisa membuat pasangan memiliki harapan yang tidak realistis tentang apa yang dapat diberikan pasangan dalam hubungan," ujar Basulto.
Misalnya, jika pasangan kamu sedang menghadapi tantangan seperti masalah kesehatan atau stres, penting untuk mau beradaptasi dengan apa yang bisa mereka berikan saat itu. Lebih dari sekadar membagi beban secara merata, yang terpenting adalah komunikasi, bekerja sama sebagai tim, dan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain dengan cara yang memuaskan kedua belah pihak.
Menyadari stereotip-stereotip ini adalah langkah penting untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan bahagia. Jangan biarkan pandangan umum yang salah kaprah ini memengaruhi cara kamu melihat dan menjalani hubungan. Setiap hubungan adalah unik, dan yang terpenting adalah bagaimana kamu dan pasangan saling mendukung dan berkembang bersama.
Sumber :
https://www.verywellmind.com/problematic-relationship-stereotypes-7564936