Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Calon Menantu Harus Diospek Dulu?

ilustrasi calon menantu dan mertua
ilustrasi calon menantu dan mertua (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Ujian yang terlalu keras dapat menimbulkan jarak dan rasa tidak dihargai.
  • Anak merasa terjebak di antara cinta kepada orangtua atau pasangan.
  • Dilema identitas membuat anak mempertanyakan batas loyalitas dan kemandirian.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Belakangan ini, muncul perdebatan tentang cara memperlakukan calon menantu. Ini terjadi setelah viral potongan siniar (podcast) seorang publik figur yang dengan sengaja menguji pacar anaknya. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk “ospek” agar sejak awal sang calon mertua tahu karakter asli sang calon menantu. Bagi sebagian orang, tindakan tersebut dianggap wajar, tetapi bagi sebagian yang lain hal ini terlihat berlebihan, bahkan menyakiti perasaan pihak yang baru saja dikenalkan ke keluarga.

Situasi seperti ini membuka ruang diskursus panjang dan lebih luas tentang bagaimana seharusnya keluarga menyikapi kehadiran pasangan anaknya. Apakah calon menantu memang pantas diberi ujian sebelum diterima atau sebaiknya, ada pendekatan yang lebih manusiawi menjadi pilihan? Berikut beberapa sudut pandang yang bisa dipertimbangkan.

1. Orangtua menguji keseriusan calon menantu

ilustrasi calon menantu dan mertua
ilustrasi calon menantu dan mertua (vecteezy.com/Kanokpol Prasankhamphaibun)

Sebagian orangtua beranggapan bahwa ujian terhadap calon menantu merupakan sebuah bentuk proteksi. Mereka melihatnya sebagai filter awal untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar serius atau hanya datang dengan motif lain, misalnya status sosial atau harta. Dalam konteks ini, pengalaman pribadi masa lalu kerap menjadi alasan utama. Orangtua yang pernah dikhianati, ditinggalkan, atau melihat kegagalan rumah tangga di sekitar mereka merasa lebih aman jika bisa menguji terlebih dahulu siapa pun yang akan mendampingi sang anak. Namun, persoalannya ialah sejauh mana ujian itu bisa dibenarkan secara etis tanpa melukai harga diri orang lain.

Cara menguji yang terlalu keras justru sering kali berbalik arah. Bukannya mendapatkan kepastian, orangtua malah menimbulkan jarak sejak awal pertemuan pertama. Rasa tidak dihargai dapat membuat calon menantu enggan membangun hubungan lebih jauh. Padahal, keseriusan bisa dilihat dari konsistensi perilaku sehari-hari, cara memperlakukan anak, atau kemauan berkomitmen dalam jangka panjang. Dengan kata lain, ujian yang konstruktif bukanlah bentakan atau sindiran, melainkan dialog terbuka, observasi, dan keterlibatan dalam aktivitas mereka. Orangtua yang memahami hal ini akan lebih mudah mendapatkan gambaran utuh tanpa perlu menimbulkan luka bagi pasangan sang anak.

2. Anak merasa terjepit di antara dua pihak

ilustrasi menantu dan mertua
ilustrasi mertua dan menantu (pexels.com/RDNE Stock project)

Posisi anak dalam kasus ospek calon menantu tidak bisa dianggap remeh. Ia sering kali terjebak di antara dua cinta, yakni cinta kepada orangtua dan cinta kepada pasangan. Jika ia lebih condong membela pasangannya, ia mungkin dianggap tidak berbakti. Sebaliknya, jika ia lebih mendukung orangtuanya, pasangan bisa merasa ditinggalkan. Hal semacam ini akan berisiko menciptakan stres berkepanjangan yang pada akhirnya memengaruhi kualitas hubungan asmara maupun hubungan keluarga. Tidak sedikit kasus saat konflik ini membuat anak memilih diam, bahkan menjauh dari kedua belah pihak.

Di sisi lain, anak juga menghadapi dilema identitas. Ia dituntut untuk dewasa, berani mengambil keputusan sendiri, tetapi masih harus tunduk pada norma penghormatan kepada orangtua. Situasi ini membuat anak mempertanyakan batas antara loyalitas dan kemandirian. Apakah ia berhak menentukan masa depannya sendiri atau harus selalu mengikuti filter keluarganya? Jika orangtua tidak membuka ruang dialog, anak bisa kehilangan rasa percaya diri untuk menentukan pilihannya. Jadi, yang dibutuhkan sebenarnya bukan ospek, melainkan keterbukaan komunikasi yang memosisikan anak sebagai individu dewasa, bukan sekadar perpanjangan tangan keluarga.

3. Pacar sang anak merasa tidak layak diterima

ilustrasi calon menantu dan mertua
ilustrasi calon menantu dan mertua (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Dari perspektif calon menantu, ospek sering kali terasa seperti ujian masuk sebuah instansi yang terasa tidak adil. Ia datang dengan niat baik untuk mengenal keluarga, tetapi langsung dihadapkan pada sikap curiga, dingin, bahkan kadang merendahkan. Hal ini menimbulkan perasaan tidak layak, seolah nilai dirinya harus diukur oleh standar keluarga pasangan, bukan oleh cinta dan komitmen yang ia bawa. Trauma psikologis bisa terbentuk dari pengalaman semacam ini, apalagi jika dilakukan berulang atau di depan banyak orang. Luka semacam itu tidak mudah hilang, bahkan bisa terbawa setelah pernikahan.

Parahnya dan yang lebih berbahaya, calon menantu bisa menyimpan luka tanpa mengungkapkan perasaan sebenarnya. Ia akan tetap melanjutkan hubungan demi pasangannya, tetapi dengan bekas luka batin yang diam-diam menggerogoti kepercayaan yang ada. Lama-kelamaan, hal ini bisa menciptakan konflik baru karena ada perasaan “tidak pernah diterima sepenuhnya”. Padahal, jika sejak awal ada penerimaan yang wajar, hubungan yang sehat akan lebih mudah dibangun. Jadi pertanyaan pentingnya, apakah tujuan orangtua melindungi anak atau sekadar mempertahankan kontrol? Karena jika tujuannya benar-benar kebahagiaan anak, seharusnya calon menantu diberi ruang membuktikan dirinya, bukan dipaksa melalui ospek yang melemahkan harga dirinya sebagai seorang individu.

4. Keluarga dari pihak calon menantu juga memiliki perspektif

ilustrasi keluarga pasangan
ilustrasi keluarga pasangan (pexels.com/RDNE Stock project)

Sering kali, orang lupa bahwa calon menantu datang dari keluarga lain yang juga memiliki martabat. Jika seorang ibu atau ayah memperlakukan calon menantu dengan cara yang keras, secara tidak langsung mereka juga sedang merendahkan keluarga di baliknya. Bayangkan jika orangtua calon menantu mengetahui anaknya dipermalukan, situasi ini bisa memicu gesekan antarkeluarga, bahkan sebelum pernikahan berlangsung. Perkawinan yang seharusnya mempertemukan dua keluarga malah menjadi sumber konflik baru.

Pernikahan merupakan pertemuan 2 kultur kecil, 2 pola asuh, dan 2 nilai yang berbeda. Ketika salah satu keluarga menempatkan diri lebih tinggi, otomatis tercipta ketidakseimbangan relasi. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi sumber pertengkaran yang jauh lebih serius. Keluarga yang bijak seharusnya melihat calon menantu sebagai perpanjangan ikatan, bukan ancaman. Menghormati calon menantu berarti juga menghormati orangtua yang melahirkannya. Perspektif ini penting agar keluarga tidak terjebak dalam pola pikir seolah-olah hanya mereka yang berhak menentukan siapa yang pantas.

5. Masyarakat masih memberi tekanan pada perempuan

ilustrasi calon menantu dan mertua
ilustrasi calon menantu dan mertua (vecteezy.com/ Titiwoot Weerawong)

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi target ospek dibanding laki-laki. Perempuan diharapkan mampu menyesuaikan diri, bersikap penurut, dan menunjukkan bahwa mereka layak menjadi bagian dari keluarga baru. Sementara itu, laki-laki jarang mendapat ujian serupa karena masyarakat masih menempatkan mereka sebagai pihak yang “membawa” pasangan ke dalam keluarga. Ketimpangan ini mencerminkan bias patriarki yang belum hilang. Tidak heran jika banyak perempuan merasa cemas memasuki tahap perkenalan keluarga karena khawatir dipandang rendah atau ditolak.

Ketidakadilan ini membuat banyak perempuan menunda atau bahkan takut menikah. Ini bukan karena tidak siap secara emosional, tetapi karena takut tidak bisa memenuhi ekspektasi keluarga pasangan. Tekanan semacam ini menciptakan ketidaksetaraan sejak awal. Padahal, pernikahan seharusnya berangkat dari kesetaraan. Idealnya, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menghadapi perlakuan yang sama. Jika masyarakat terus membenarkan praktik ospek, pola ini akan terus melanggengkan diskriminasi. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan rumah tangga memang harus bergantung pada sejauh mana perempuan sanggup bertahan menghadapi ujian keluarga suami?

Fenomena ospek calon menantu memperlihatkan bahwa relasi keluarga di Indonesia masih sering dilandasi rasa curiga dan ketidaksetaraan. Alih-alih menjadi ruang penerimaan, keluarga justru berpotensi menjadi sumber luka awal bagi hubungan baru. Pada akhirnya, pernikahan bukan tentang siapa yang berhasil melewati ospek, melainkan siapa yang sanggup membangun kepercayaan sejak awal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us

Latest in Life

See More

Bolehkah Hidup Tanpa Tujuan? One Piece Jawab Lewat Karakter Ini

06 Sep 2025, 23:03 WIBLife