Yuki Kato Bongkar Stereotipe Perempuan yang Sudah Gak Relevan

Jakarta, IDN Times - Stereotipe terhadap perempuan sering kali membatasi ruang gerak mereka. Artis Yuki Kato menilai bahwa banyak dari stereotipe tersebut sudah tidak relevan dengan perempuan masa kini. Stereotipe seperti 'perempuan harus lembut' atau 'perempuan tidak cocok menjadi pemimpin', dianggapnya sebagai pandangan kuno yang perlu segera diubah.
Dalam acara Indonesia Millennials and Gen-Z Summit 2024, Yuki menjadi speaker di sesi 'Beyond Labels: Women Shaping Their Existence in Collaboration with: The Maple Media' pada Selasa (22/10/2024) di The Tribrata Darmawangsa, Jakarta Selatan. Ia membongkar ragam stereotipe yang kuno dan sudah gak relevan di era modern ini. Apa saja, ya?
1. Stereotipe lahir dari masyarakat atau komunitas

Stereotipe lahir dari masyarakat atau komunitas sebagai hasil dari sosial dan budaya yang berkembang di dalamnya. Banyak stereotipe yang sudah banyak dilabeli untuk perempuan. Misalnya, anggapan bahwa perempuan harus selalu bersikap lembut atau tidak layak memegang peran kepemimpinan.
"Awal mula ada stereotipe gender itu datang dari komunitas atau society. Kita itu semacam dikelompokkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki 'menjadi'. Misalnya, anak perempuan mainannya boneka dan suka warna pastel," kata Yuki.
2. Ragam stereotipe gender yang sering dilabeli kepada perempuan dan laki-laki

Stereotipe gender sering kali menciptakan batasan yang tidak adil bagi perempuan dan laki-laki. Pada perempuan, misalnya, sering dilabeli sifat seperti harus selalu bersikap lembut, emosional, dan kurang cocok untuk posisi kepemimpinan. Di sisi lain, laki-laki sering diharapkan kuat secara fisik dan emosional. Mereka jarang diberi ruang untuk menunjukkan kerentanan.
"Terus, sering juga ada stereotipe seperti anak cowok sukanya olahraga, badannya atletik. Terus, kalau ada cowok nangis, biasanya dibilang gak boleh nangis atau gak boleh lemah," ucap Yuki.
Yuki melanjutkan, padahal emosi itu tidak dibatasi gender. Laki-laki itu gak masalah untuk menangis dan merasa sedih. Begitu pun dengan perempuan, gak masalah jika memang ingin merasa kuat dan gak emosional.
3. Perempuan harus sesuai kodrat, masih menjadi stereotipe yang kerap dibahas

Stereotipe bahwa perempuan harus sesuai dengan kodratnya, sering kali membatasi ruang gerak mereka dalam kehidupan sosial. Terutama ketika terkait dengan peran domestik dan keluarga. Menurut Yuki, stereotipe ini masih ada sampai sekarang.
"Di tahun ini, stereotipe yang masih dibahas itu perempuan harus sesuai kodratnya. Misalnya, yang banyak dibahas itu harus bisa masak, padahal memasak itu kan life skill (gak harus dibatasi gender)," ujar Yuki.
4. Stereotipe lainnya yang sering dilabelkan adalah 'perempuan harus elegan dan feminin'

Stereotipe bahwa perempuan harus selalu tampil elegan dan feminin adalah salah satu label yang sering dilekatkan pada perempuan. Stereotipe ini memaksa perempuan untuk selalu terlihat lembut, anggun, dan menjaga citra feminin.
"Perempuan juga dilabeli harus elegan dan feminin, harus bisa menyelesaikan masalah berdasarkan intuisi. Perempuan juga dibilang gak boleh kasar dan terlalu vokal," tutur Sarratobing, podcaster dan kreator konten.
Di sisi lain, stereotipe ini juga menekan perempuan yang memiliki karakter kuat atau lebih tomboi, membuat mereka dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan dituntut untuk tampil sempurna, menjaga penampilan yang anggun, dan sering kali mendapat penilaian negatif jika tidak memenuhi standar ini.
5. Jika perempuan gak menyentuh standar masyarakat, biasanya akan mendapatkan judgment

Standar masyarakat bagi perempuan sering kali memunculkan tekanan yang kuat. Ketika perempuan tidak memenuhi ekspektasi tersebut, mereka rentan mendapat penilaian negatif. Standar ini bisa meliputi banyak aspek, mulai dari penampilan fisik, cara berpakaian, hingga bagaimana perempuan seharusnya bersikap.
"Sekali perempuan gak menyentuh garis ekspektasi, misal di umur tertentu belum menikah, biasanya akan di-judge. Tapi kalau untuk stereotipe yang harusnya udah gak relevan itu, perempuan yang terlalu 'pintar' nanti gak ada laki-laki mau deketin," kata Sarratobing.
IDN menggelar Indonesia Millennial and Gen-Z Summit (IMGS) 2024, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema Catalyst of Change, IMGS 2024 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.
IMGS 2024 diadakan di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, pada 22-23 Oktober 2024. Dalam IMGS 2024, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2025. Survei ini disusun oleh IDN Research Institute. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z Indonesia.