6 Pola Dream Life Syndrome yang Bikin Kamu Gak Menjalani Kenyataan

Istilah dream life sering kali terdengar manis, sih. Hidup yang ideal, penuh kelimpahan, cinta yang utuh, pekerjaan yang bermakna, dan hari-hari yang selaras dengan jati diri. Namun, saat hidup impian itu berubah dari arah menjadi pelarian, kamu bisa mulai kehilangan pijakan pada kenyataan, lho. Nah, dream life syndrome bukan tentang memiliki mimpi, melainkan tentang terperangkap di dalamnya.
Tanpa kamu sadari, kamu menolak hidup apa adanya karena terlalu sibuk membayangkan hidup yang seharusnya kamu jalani dengan "wah". Di sinilah realitas menjadi samar dan waktu berlalu tanpa benar-benar kamu hidupi, Sob. Berikut adalah enam pola dream life syndrome yang kerap menjauhkan seseorang dari kenyataan untuk menjadi reminder bagimu.
1. Terobsesi pada visualisasi, lupa menyentuh realitas

Di era konten inspiratif yang tak ada hentinya, kamu bisa mudah terbujuk untuk percaya bahwa visualisasi adalah segalanya. Kamu diajak membayangkan kehidupan ideal sebesar-besarnya, dari warna seprei di apartemen impian hingga suara air di balkon vila pinggir hutan. Visualisasi memang membantu mengarahkan fokus, tetapi menjadi masalah saat ia menggantikan tindakan.
Dalam dream life syndrome, kamu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membayangkan masa depan yang memuaskan, tapi menunda hal-hal kecil yang sebenarnya membawakan perubahan, seperti menyusun portofolio, memperbarui CV, belajar konsisten bangun pagi. Visualisasi tanpa aksi adalah bentuk eskapisme yang tersamar, lho! Realitas, sesederhana dan seberantakan apa pun, tetaplah lahan tempat kehidupan tumbuh. Kalau kamu belum berani menyentuhnya, kamu hanya akan membangun taman khayalan yang tak bisa kamu tinggali.
2. Menghindari rasa tidak nyaman dengan dalih "ini bukan aku"

Salah satu jebakan dream life syndrome adalah keyakinan bahwa kamu hanya boleh melakukan hal-hal yang “selaras dengan diri sejati.” So, saat pekerjaan terasa membosankan, saat hubungan menjadi rumit, atau saat proses belajar menjadi lambat, kamu buru-buru menyimpulkan, “Ini bukan aku.”
Nyatanya, pertumbuhan sering kali berbunyi seperti gesekan. Diri yang utuh tidak hanya terdiri dari yang nyaman dan mudah, tetapi juga dari yang menuntutmu menahan ego, menunda kepuasan, dan berdamai dengan ketidaksesuaian. Dengan terus menerus mengejar versi hidup yang “lembut dan menyenangkan,” kamu bisa gagal belajar menjadi dewasa. Menjalani kenyataan berarti berani hadir dalam rasa tidak nyaman tanpa langsung menyimpulkannya sebagai salah tempuh. Bisa jadi, justru di situlah kamu sedang ditumbuhkan, ya!
3. Menunda keputusan dengan dalih waktunya belum tepat

Orang yang terjebak dalam dream life syndrome sering kali hidup dalam kondisi menunggu. Menunggu saat yang ideal, menunggu momen saat semua terasa pasti dan tenang, atau bahkan menunggu sampai kamu lebih siap, lebih kaya, lebih dewasa, lebih aligned. Padahal, hidup tidak mengenal kesiapan sepenuhnya.
Yaps, menunda bisa terasa seperti kehati-hatian, tapi sesungguhnya bisa menjadi bentuk ketakutan yang terbungkus rapi buatmu. Kamu menunggu waktu yang tepat, padahal sering kali, waktu yang tepat adalah ketika kamu memutuskan untuk mulai. Menjalani kenyataan menuntutmu untuk berani mengambil keputusan dalam ketidaksempurnaan. Tidak semua pilihan akan membawa hasil instan. Tapi diam di tempat karena takut salah, justru membuatmu jauh dari hidup yang sebenarnya kamu rindukan.
4. Membandingkan diri dengan imajinasi tentang orang lain

Memang, di era ini, media sosial membentuk persepsi. Ia tidak hanya menunjukkan kehidupan orang lain, tapi juga menciptakan narasi tentang hidup yang seharusnya. Kamu mulai mengira bahwa usia dua puluh lima harusnya sudah punya usaha sendiri, pasangan yang suportif, rumah mungil yang estetik, dan kebebasan finansial.
Tanpa sadar, kamu membandingkan realitasmu yang penuh keraguan, ketidakteraturan, dan pertumbuhan yang lambat dengan timeline hidup orang lain yang sudah dikurasi. Kamu mulai merasa gagal, padahal kamu hanya sedang berada di tempat yang berbeda.
Dream life syndrome tumbuh subur di ruang perbandingan, lho! Ia membuat kamu buta terhadap proses, hanya melihat hasil. Kamu lupa bahwa tidak semua hidup ideal bisa atau perlu disalin. Menjalani kenyataan berarti berani melihat hidup sendiri apa adanya, tanpa kacamata standar orang lain.
5. Menginginkan hasil tanpa komitmen jangka panjang

Salah satu ironi dari dream life syndrome adalah saat kamu sangat menginginkan perubahan besar, seperti tubuh yang sehat, karier yang bermakna, relasi yang aman, tetapi tidak bersemangat menjalani proses panjangnya. Kamu ingin hasil tanpa komitmen, ingin dampak tanpa konsistensi, dan ingin transformasi tanpa transisi.
Hal ini bukan hanya soal malas atau tidak. Ini soal bagaimana kamu membayangkan kehidupan. Kalau kamu mengira bahwa hidup ideal akan datang sebagai hadiah karena kamu “percaya” atau “berniat baik,” kamu bisa saja kecewa saat kenyataan hanya berubah pelan-pelan.
Perlu kamu ketahui bahwa menjalani kenyataan berarti menghargai repetisi. Menyiram yang sama, setiap hari. Berlatih kesabaran, memperbaiki diri dalam diam, dan tetap berjalan ketika tidak ada yang menonton. Dream life sejati bukan hasil dari keinginan yang menggebu, melainkan dari komitmen yang bertahan, ya!
6. Terjebak dalam konsumsi inspirasi, tapi tidak mengalami hidupmu sendiri

Terakhir, ironi lain yang halus tapi nyata dalam situasi ini adalah kamu bisa merasa sedang berubah hanya karena kamu banyak membaca tentang perubahan. Kamu bisa merasa spiritual hanya karena kamu mendengar banyak podcast tentang agama. Kamu bisa merasa produktif hanya karena kamu menyimak strategi produktivitas dari berbagai podcast.
Tidak bisa dipungkiri, inspirasi memang penting, tetapi ia bukan pengganti pengalaman, kok. Kamu bisa menjadi kolektor wawasan, tapi tetap tidak hadir dalam hidup sendiri. Dream life syndrome kerap membuatmu merasa sudah cukup hanya dengan menyimak, padahal kamu belum menjalani.
Kamu lupa bahwa pencerahan tidak datang dari kalimat indah semata, tapi dari keberanian menghadapi pagi yang biasa-biasa saja dan tetap memberi yang terbaik. Menjalani kenyataan berarti menghidupi apa yang kamu tahu. Bukan sekadar tahu lebih banyak.
Dream life bukanlah musuh, kok. Ia bisa menjadi bintang penunjuk arah. Tapi saat ia menjadi tempatmu bersembunyi, ia akan berhenti menjadi cahaya. Tapi justru karena itulah, kamu perlu mengamatinya dengan sebaik-baiknya, ya. Menjalani kenyataan bukan berarti menyerah pada yang seadanya. Ia berarti berani hadir, berani belajar, dan berani tetap ada bahkan saat hidup tidak sesuai bayangan. Karena bisa jadi, di tengah ketidaksempurnaan inilah, hidupmu sebenarnya sedang dibentuk.