Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ulaanbaatar, Ibu Kota Terdingin dengan Hangatnya Budaya Mongolia

Ibu Kota Mongolia: Ulaanbaatar (unsplash.com/Uudam Mendsaikhan)
Intinya sih...
  • Ulaanbaatar: Ibu Kota Mongolia di Dataran Tinggi Berangin
  • Kota ini Menyimpan Sejarah Panjang, dari Biara Buddha Tibet hingga Kemerdekaan Mongolia
  • Penduduk Ulaanbaatar Menghadapi Suhu Dingin Ekstrem dengan Adaptasi Tradisional dan Modern

Ketika mendengar nama negara Mongolia, sebagian besar orang membayangkan padang rumput luas, kuda liar, dan kehidupan nomaden yang nyaris tak tersentuh waktu. Tapi di jantung negeri ini berdiri Ulaanbaatar, Ibu Kota Mongolia yang kontras dan penuh kejutan. Kota ini bukan sekadar pusat administrasi—ia adalah pertemuan ekstrem antara dingin yang menusuk, budaya kuno, dan geliat urban yang terus tumbuh. Tertarik menjelajahi Ulaanbaatar? Berikut beberapa fakta menarik Ibu Kota Mongolia tersebut.

1. Ulaanbaatar awalnya tempat tinggal nomaden para pangeran Mongolia

Kota Ulaanbaatar kala malam (pixabay.com/Kanenori)

Ulaanbaatar adalah ibu kota sekaligus kota terbesar di Mongolia, terletak di tepi Sungai Tuul pada dataran tinggi berangin dengan ketinggian sekitar 1.350 mdpl. Awalnya hanya merupakan tempat tinggal nomaden bagi para pangeran Mongolia, kota ini mulai menetap secara permanen pada tahun 1639 saat Biara Da Khure dibangun sebagai kediaman bodgo-gegen--pemimpin spiritual Buddha Tibet. Peran religius ini bertahan selama dua abad, sebelum akhirnya dikenal oleh dunia luar dengan nama Urga sebagai sebuah pusat penting dalam jalur perdagangan antara Tiongkok dan Rusia.

Transformasi kota ini semakin kentara di awal abad ke-20. Setelah Mongolia Luar mendeklarasikan kemerdekaan dari kekaisaran Tiongkok pada tahun 1911, nama kota berubah menjadi Niislel Khureheh. Sepuluh tahun kemudian, kota ini menjadi saksi kedatangan pasukan revolusioner Damdiny Suhbaatar dan Tentara Merah Soviet. Tahun 1924, saat Mongolia berubah menjadi republik, kota ini pun diubah namanya menjadi Ulaanbaatar, yang berarti 'pahlawan merah'.

2. Penduduk Ulaanbaatar sudah beradaptasi dengan suhu ekstrem

Ulaanbaatar ibu kota terdingin di dunia (pexels.com/Ligden E)

Sebagai ibu kota negara, Ulaanbaatar memegang rekor dunia sebagai kota ibu kota paling dingin di planet ini. Suhu di musim dingin bisa turun hingga -40 derajat Celsius, dengan rata-rata tahunan hanya sekitar -1 derajat. Kehidupan di tengah suhu ekstrem ini bukan perkara mudah, tapi masyarakat Ulaanbaatar sudah terbiasa menghadapi kerasnya iklim dengan cara yang luar biasa tangguh.

Penduduk Ulaanbaatar menghadapi suhu ekstrem dengan kombinasi adaptasi tradisional dan solusi modern. Banyak keluarga masih tinggal di ger, tenda bundar khas Mongolia yang dirancang tahan cuaca dingin dan mudah dipanaskan dengan kompor berbahan bakar batu bara atau kayu. Sebagian besar kota bergantung pada sistem pemanas sentral, tetapi warga di daerah pinggiran sering harus membakar batu bara sendiri.

Untuk perlindungan pribadi, orang-orang mengenakan pakaian tradisional seperti deel—mantel panjang berbahan wol tebal—serta sepatu kulit bulu dan penutup kepala. Meski menghadapi musim dingin yang panjang dan keras, penduduk Ulaanbaatar telah membentuk ritme hidup yang selaras dengan alam ekstrem, membuktikan daya tahan dan ketangguhan khas bangsa Mongolia.

3. Hampir setengah penduduk Mongolia tinggal di Ulaanbaatar

Mongolia (pixabay.com/jackmac34)

Mongolia dikenal sebagai salah satu negara dengan kepadatan penduduk terendah di dunia, yaitu sekitar 2,18 jiwa/km2. Daratan Mongolia yang luas menyebabkan kerenggangan tersebut. Namun, angka tersebut tidak nampak realistis di Ulaanbaatar yang sangat padat.

Sebagai ibu kota dan pusat perekonomian, sekitar 45 persen atau 1,3 juta penduduk Mongolia memilih tinggal di Ulaanbaatar. Oleh karenanya kepadatan penduduk di di kota ini mencapai 311 jiwa per km2. Pertumbuhan populasi yang pesat membawa tantangan baru seperti kemacetan lalu lintas, krisis perumahan, dan tekanan terhadap infrastruktur kota.

4. Tingkat polusi udara di Ulaanbaatar tinggi

Polusi udara tinggi di Ulaanbaatar (unsplash.com/duku. Fill)

Ironisnya, meski Mongolia dijuluki 'negeri langit biru', Ulaanbaatar justru dikenal karena tingkat polusi udara yang tinggi, terutama saat musim dingin. Ribuan rumah tangga di pinggiran kota membakar batu bara mentah untuk pemanas, yang menghasilkan kabut asap tebal. Pemerintah terus mencari solusi, namun perubahan ini menghadapi hambatan ekonomi dan sosial yang kompleks.

5. Pelestarian budaya tetap menjadi napas penting Ulaanbaatar

Festival Naadam, Mongolia (commons.wikimedia.org/J bayarmagnai)

Meskipun modernisasi terus melaju di Ulaanbaatar, pelestarian budaya tetap menjadi napas penting dalam kehidupan kota. Pemerintah dan masyarakat lokal aktif menjaga warisan tradisional seperti musik throat singing, seni lukis Thangka, serta arsitektur biara dan tenda tradisional ger yang masih banyak ditemui di pinggiran kota. Festival tahunan seperti Naadam, yang merayakan tiga olahraga tradisiona--gulat, memanah, dan pacuan kuda--juga terus digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap identitas Mongolia yang nomaden dan tangguh.

Ulaanbaatar bukan hanya kota dengan suhu ekstrem, tapi juga benteng nilai-nilai lama yang hidup berdampingan dengan wajah modern. Ia berdiri sebagai cerminan semangat Mongolia yang tak pernah padam meski diterpa dingin, perubahan, dan polusi. Jika kamu mencari kota yang tidak biasa, Ulaanbaatar layak untuk dijelajahi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us