Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bom Surabaya Jadi Panggung Eksistensi JAD

 MENGEPUL. Asap tampak mengepul seusai ledakan bom terjadi di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Minggu 13 Mei 2018. Foto oleh Andy Pinaria/Pemkot Surabaya/AFP
MENGEPUL. Asap tampak mengepul seusai ledakan bom terjadi di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Minggu 13 Mei 2018. Foto oleh Andy Pinaria/Pemkot Surabaya/AFP

JAKARTA, Indonesia—Serangkaian aksi terorisme yang mengepung Indonesia dua pekan lalu mengindikasikan kelompok teroris yang bercokol di Indonesia sedang terdesak. Menurut pakar terorisme Institute for Policy Analisys of Conflict (IPAC) Sidney Jones, kelompok teroris menggelar aksi spektakuler dengan membawa seluruh keluarga dalam aksinya guna mencuri perhatian publik terkait keberadaan mereka. 

“Walaupun apa yang terjadi di bulan Mei ini mengerikan, tapi kelompok terorisme di Indonesia harus dilihat tidak punya kekuatan besar. Mereka cari-cari taktik yang spektakuler dan dapat perhatian umum,” ujar Sidney dalam diskusi publik Menguak Fakta Aktual Radikalisme dan Terorisme di Indonesia di Hotel Ashley, Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa 22 Mei 2018. 

Dua pekan lalu, Indonesia dikepung serangkaian aksi terorisme. Pada Ahad, 13 Mei 2018, serangkaian aksi bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya. Pelaku merupakan Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya Dita Oepriyanto, bersama istri dan anak-anaknya.

Keesokan harinya, aksi bom bunuh diri juga dilancarkan kelompok teroris jaringan JAD di Mapolrestabes Surabaya. JAD merupakan salah satu kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan Islamic State (IS) di Suriah dan Irak. 

Menurut Sidney, pola serangan yang dilancarkan JAD merupakan bentuk keputusasaan kelompok teroris dan simpatisan IS karena tidak berhasil berjihad di Suriah. Di sisi lain, kekuatan IS, baik dari segi organisasi dan teritori, juga terus menurun di Timur Tengah, menyusul kembali direbutnya Raqa dan Mosul dari tangan IS oleh militer Irak. 

“Rekrutmen terus menurun dan IS hampir tidak ada lagi di Timur Tengah. Sedangkan di sini, banyak yang ingin ke Suriah, tapi jalur mereka tertutup. Orang-orang pro-IS yang ada di Indonesia akhirnya mungkin memutuskan tidak akan mengarahkan energi mereka ke luar negeri, tapi untuk beraksi di sini,” jelas Sidney. 

Lebih jauh, Sidney menyimpulkan, tidak ada seruan khusus dari IS kepada kelompok-kelompok teroris untuk menggelar serangan secara serentak pada Mei. Mengacu pada perbedaan pola serangan yang terjadi di Mapolda Riau, Sidney mengatakan, aksi teror yang terjadi cenderung mengindikasikan adanya persaingan antarkelompok. 

“Ada dinamika, ketika ada satu kelompok menyerang, (kelompok) yang lain ingin menunjukkan eksistensinya juga dengan serangan,” ujar dia. Di Riau, kelompok teroris menyerang dengan menabrakkan mobil ke Mapolda Riau. 

Default Image IDN
Default Image IDN

 

Adapun dalam serangan bom di Surabaya, serangkaian fakta baru mengemuka di jagat terorisme. Salah satu yang paling mengejutkan ialah fakta bahwa serangan dilakukan oleh satu keluarga. Itu juga kali pertama perempuan dan anak-anak berhasil digunakan dalam aksi bom bunuh diri.

Menurut Sidney, aksi teroris di Surabaya mengindikasikan para perempuan bakal kian memegang peranan penting di dalam jaringan teroris. Namun demikian, ia pesimistis, pola serangan menggunakan seluruh anggota keluarga dalam satu aksi bakal dipertahankan oleh kelompok teroris. 

“Kelihatannya hanya tiga keluarga itu yang dibina (untuk bom bunuh diri). Saya yakin bahwa kita tidak akan melihat keluarga lain terlibat. Karena kelompok ekstrimis juga terkejut melihat bagaimana anak-anak sendiri dibawa dalam aksi-aksi bom bunuh diri,” ujarnya. 

Default Image IDN
Default Image IDN

Janji surga

Dari hasil wawancara terhadap sejumlah anak dan keluarga pelaku terorisme di Surabaya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ratna Listyarti mengatakan, amaliyah yang dilakukan kelompok teroris JAD di Surabaya berbasis keyakinan bahwa semua anak-anak yang dibawa dalam aksi bom bunuh diri bakal ‘masuk surga’ secara instan. 

Para pelaku, lanjut Ratna, mempersepsikan aparat keamanan sebagai thogut (musuh) yang harus diberantas sebagai syarat masuk surga. “Mereka yakin bahwa amaliyah yang mereka lakukan bisa sekaligus membawa anak-anak naik ke surga bersama mereka, orang tua,” jelas Ratna. 

Di sisi lain, anak-anak pelaku juga diyakini tidak memahami risiko dan bahaya perbuatan yang dilakukan orang tuanya. Menurut Ratna, kemungkinan besar aksi terorisme yang dilakukan orang tua mereka hanya dianggap sebentuk petualangan baru bagi anak-anak. 

“Ketika senjata mainan diganti senjata asli dan bom kemungkinan menjadi seperti berpetualang. Anak tidak sadar mereka dikorbankan oleh ideologi kekerasan dan radikal kedua orang tuanya. Dalam hal ini, anak pelaku tetaplah korban,” ujar dia. 

Lebih jauh, Ratna mengatakan, bakal sulit bagi aparat keamanan mendeteksi radikalisasi yang terjadi di keluarga. Pasalnya, kelompok teroris dalam yang bergerak dalam benang hubungan kekerabatan berada di sel kecil dengan jaringan yang longgar. “Secara bersama-sama mereka sengaja mencari maut melalui tangan-tangan polisi. Itu sebabnya mereka marah jika ditangkap, karena tujuan naik ke surga tidak tercapai,” ujarnya. 

—Rappler.com

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us