[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVID

Gelombang tiga COVID-19 tidak bisa dihindari, apa alasannya?

Jakarta, IDN Times - Pemerintah lagi-lagi merevisi aturan perjalanan dalam waktu singkat. Syarat PCR untuk pelaku perjalanan udara, darat dan laut yang baru seumur jagung telah dicabut. Tepatnya setelah memicu berbagai polemik di publik.

Kini pemerintah tak lagi hanya wajib menggunakan tes PCR, namun ada pilihan antigen. Kondisi ini menimbulkan berbagai pertanyaan publik, belum lagi penurunan tarif PCR yang menimbulkan dugaan ada bisnis di belakangnya.

Lalu seberapa penting penggunaan PCR saat penularan COVID-19 di Indonesia melandai? Apakah pemerintah panik jika timbul gelombang ketiga?

Berikut ini hasil wawancara dengan Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman dal acara Ngobrol Seru by IDN Times yang mengangkat tema "Plin Plan Aturan dan Harga Tes PCR Bikin Galau!". 

Sebenarnya seberapa mendesak atau penting pemeriksaan PCR sebagai syarat perjalanan saat kasus penularan turun di tengah gencarnya vaksinasi?

[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVIDDok. PT Angkasa Pura II

Jawaban singkatnya tidak urgent, kita juga mengapresiasi pemerintah merevisi (aturan) ini, karena kalau tidak direvisi selain tidak efektif, dan tidak tepat, juga beban. Bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga pemerintah sendiri, karena akan banyak menimbulkan masalah.

Ketika suatu keputusan kebijakan tersebut dianggap tidak tepat dengan sains terkini dan kondisi maka akan melahirkan banyak masalah, salah satunya trust atau kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Sebenarnya saat era vaksinasi ini atau vaksinasi jadi syarat ini sudah mengurangi resiko apalagi dalam negeri leveling transmisinya sama, apalagi bicara pesawat lebib aman, bahkan moda transportasi darat tidak esensial. Bahkan, jika cakupan vaksinasinya sudah 80 persen gak perlu lagi syarat pakai antigen

Bagaimana risiko penularan di pesawat?

Pesawat itu moda transportasi yang jauh lebih aman dibanding moda transportasi lain, karena pesawat dilengkapi strategi sirkulasi udara dengan hepafilter, artinya untuk PCR tidak digunakan. Bahkan, sebelum ada vaksinasi kasus klaster pesawat itu sedikit, itu sebelum vaksin ada, protokol kesehatan, wajib vaksinasi apalagi sekarang. Makanya, di Amerika dan di sini (Australia) persyaratan itu gak ada, bahkan ditanya vaksin pun paling di negara bagian tetapi tidak di tes.

Baca Juga: Anggota DPR Minta PCR Gratis, Menkes: Gak Ada Anggarannya, Pak!

Sementara potensi perjalanan darat seperti kereta, bus, seberapa besar potensi penularannya?

Risiko tentu agak sedikit lebih besar, tetapi ini bergantung sekali lagi bagaimana level penularan di masyarakat. Jadi jika penularannya di masyarakatnya sudah rendah maka risiko ke moda transportasi juga ikut rendah, apalagi ditambah syarat vaksinasi, kapasitasnya (dalam gedung) dijaga misalnya 80 persen, kemudian sirkulasi dan ventilasinya semakin kecil resiko penularan, jadi pada moda transportasi ini kasusnya itu masih 0,6 persen ke bawah ini sedikit sekali, tapi jangan sampai parno (panik), jika sampai sudah vaksinasi harus memakai masker, jaga jarak, kalau ramai ya kalau bisa dengan kendaraan pribadi.

Jika vaksinasi sudah lengkap perlu PCR untuk perjalanan? Bagaimana jika calon penumpang masih dosis satu, apakah cukup antigen?

[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVIDCalon penumpang menunggu antrean tes cepat Antigen di Stasiun Yogyakarta, Gedong Tengen, DI Yogyakarta, Selasa (22/12/2020) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Sebenarnya cukup pakai antigen, apalagi kalau sudah divaksinasinya satu kali. Rekomendasi WHO pada September 2020 sudah kuat, apalagi sekarang sekali sensitivitas tes Antigen jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu. Untuk menentukan seseorang itu infeksius atau tidak, cukup dengan rapid tes antigen pada saat itu ditambah lagi dengan memakai masker.

Sebagai gambaran, sebelum ada sebelum ada vaksin itu ada penerbangan dari Wuhan (China) ke Kanada semua pakai masker itu belum semu dites, kemudian ada 2 orang sakit di pesawat, kemudian dal jangka waktu 1 sampai 2 minggu tidak ada yang terpapar, selama semuanya disiplin memakai masker.

Apalagi saat ini sudah divaksin, walaupun sakit itu virusnya gak banyak, dari misalnya orang yang nggak di vaksin itu bisa 7 hari atau 5 paling cepat 5 hari durasi menularkan, kalau orang yang sudah dipakai untuk paling lama 2 hari itu juga jumlah virus sedikit. Jadi jangan terlalu khawatir, namun bukan berarti abai.

Baca Juga: Epidemiolog Prediksi Indonesia Keluar dari Pandemik COVID Akhir 2022

Pengetatan peraturan perjalanan apakah bisa dinilai pemerintah karena banyak prediksi gelombang ketiga muncul akhir tahun

Kita berpikir positif saja, sebab semua pemerintah mana pun ingin melindungi warganya dan mencegah gelombang ketiga. Namun, pilihan ini ternyata belum tepat secara pendekatan Sains terkini, yang bagus pemerith merespon, jadinya beda saya pun akan terus bersuara.

Nah sekarang kita mensyukuri pemerintah merespons ini adalah langkah yang baik. Dan satu, ini semua juga akan bergantung pada kita, walaupun pemerintah sudah mencabut aturan namun kalau masyarakat abai ya gak bisa kita harus berperan, pemerintah sudah memilih kebijakan yang tepat tinggal kita sekarang, sisanya itu ada di masyarakat bagaimana menerapkan 5 M dan disiplin menjaga protokol kesehatan, agar apa yang dikhawatirkan pemerintah jangan sampai ini terjadi gelombang ketiga itu.

Yang jelas kalau bicara gelombang ketiga sulit dihindari, tidak bisa dihindari, yang bisa dilakukan yakni upayakan mengurangi potensi ledakannya jadi kolaborasi antara pemerintah cepat-cepat melakukan akselerasi vaksinasi, masyarakat menjaga protokol kesehatan dan mematuhi peraturan.

Penetapkan PCR sebagai syarat perjalanan serta penuruan harga PCR menimbulkan pertanyaan publik bahkan menduga ada bisnis di baliknya, sebenarnya harga standar PCR berapa?

Selain tanda tanya ini juga menimbulkan adanya teori konspirasi serta swasangka. Bicara tes PCR ini sulit distandarisasi pada level tertentu, karena pemeriksaan ini kan ada berbagai komponen, beli alatnya, belum nyicil ke bank, adik saya yang patologi saya tanya sekarang kondisinya sama. Ini gambarannya, tarif ojek itu tidak sama meski tujuannya sama beda ya karena kondisinya ada yang nyicil, minjam, ini yang gak bisa apalagi kalau di bawah standar tertentu dan kelayakan karena akan mengurangi kualitas tesnya.

Harga tidak bisa ditentukan masyarakatnya saja, karena fasilitas Kesehatan, rumah sakit membeli reagen. Kalau pemilihan strateginya tidak benar ini menimbulkan.

Dan saya pernah di biro perencanaan anggaran Kementerian Kesehatan jadi komponen harga kita hitungan itu, tidak ada perbedaan jauh. Kan aneh pemeriksaan PCR lebih murah dari pemeriksaan HBsAg untuk hepatitis itu aneh banget.

Jadi ada memang mungkin harga grosir tapi tidak hitungan satu, jangan bayangin dihitung reagen satu. Belum lagi ada pengulangan pemeriksaan karena tidak semuanya juga lancar, belum kalau gagal kasihan gitu, makanya jangan dipaksakan seperti itu karena harga kelayakannya jadi tidak timbul yang terjadi, ya kasihan itu semuanya.

Berapa harga PCR di Australia?

Gratis, karena selain negara kaya juga masih sedikit kasusnya tapi kalau banyak (kasus) pemerintahnya juga mikir ulang.

Berarti pemerintah juga mengatur harga tarif tertinggi reagen?

[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVIDIlustrasi. Pengoperasian laboratorium PCR COVID-19. (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

Iya seharusnya diatur oleh pemerintah agar sehingga fasilitas kesehatan ini juga tidak terbebani jadi sisi harga pajak berkurang, dan standarisasi tidak kalah penting harga ke masyarakat.

Baca Juga: Epidemiolog: Gak Ada Reagen PCR Rp13 Ribu, Saya Sudah Telusuri!

Evaluasi penerapan PPKM saat ini bagaimana?

Semua negara menerapkan hal serupa karena rekomendasi WHO. Setiap PPKM ada indikator yang menentukan kapasitas, jika tiap level PPKM ada perubahan pembatasan PPKM itu wajar, yang tidak tepat jika tidak konsisten, misalnya, levelingnya tapi pelonggarannya berubah atau beda ini awal-awal sempat terjadi.

Namun sekarang saya lihat sudah relatif jauh lebih baik, tetapi yang harus menjadi catatan, misalnya sekarang di level 1 DKI Jakarta, mal buka 100 persen, jadi tidak serta semua mal buka, karena akan bergantung pada kesiapan dari manajemen atau pengelolaan.

Contoh sederhana aja, bagaimana infrastrukturnya siap tidak, belum masyarakatnya udah terbiasa memakai masker belum, bagaimana kapasitasnya dan ventilasi bangunannya jadi harus detail.

Apalagi adanya varian Delta ini, klaster mal ini terjadi di Malaysia, Singapura, apalagi di Indonesia yang testing masih lemah ini yang harus diwaspadai.

 

Sejumlah kabupaten kota dilaporkan mulai naik meski tidak tinggi, namun apakah ini tanda-tanda muncul gelombang 3 yang diprediksi terjadi di akhir tahun?

[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVIDPetugas kesehatan mendampingi pasien COVID-19 dengan kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) yang tiba di Rumah Susun Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (21/6/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

Ini adalah alarm sama seperti gelombang sebelumnya, nah alarm seperti ini harus disikapi serius sebagai peringatan dini.

Penularan level komunitas ini sejak 2020 sampai sekarang, artinya pemerintah belum bisa mendeteksi sebab kasus-kasus yang ada inu seperti puncak gunung es, jadi harus dicari, ditracing, isolasi karantina secara maksimal.

Jadi seberapa besar gelombang tiga tergantung keberhasilan sekarang, dengan memperkuat sejumlah kabupaten kota yang naik jadi buka penumpang (transportasi) yang dites tapi kasus kontak eratnya dan percepatan vaksinasi.

Pemerintah sudah meniadakan libur Natal dan Tahun Baru, apakah efektif menekan kasus?

Dampaknya akan ada, tetapi efektifitasnya akan bergantung juga sinergi dengan komponen, dan strategi lain karena tidak bisa berdiri sendiri.

Sekarang pemerintah memperkuat 3 T (Testing, Tracing, Treatment) namun bagaimana dengan masyarakat. Menilik lebaran sebelumnya, sebelum liburan masyarakat banyak yang sudah pergi itu yang terjadi akhirnya kan jadi ledakan kan, itu yang jadi pelajaran.

Jadi sebagus apapun negara membuat kebijakan dalam mengendalikan kalau nggak didukung kita semua gagal, jadi semua berperan.

Apakah gelombang ketiga tidak bisa dihindari?

Selama ada kelompok masyarakat atau populasi di suatu negara wilayah yang tidak memiliki imunitas, bisa karena belum divaksin, belum terinfeksi, selama itu pula potensi gelombang itu bisa terjadi, itu prinsip mendasar dalam penyakit menular.

Bagaimana ini dalam konteks Indonesia? Nah yang sudah divaksin penuh baru sekitar 35 persen, terus kalau dihitung lagi yang vaksin satu dosis itu, mendekati 50 persen, belum lagi ada irisannya orang yang sudah terinfeksi, angka realistisnya yang masih rawan atau vaksinasi 50 persen dari 270 juta penduduk.

Kalau lihat potensi sulit, keniscayaan. Analoginya kalau ada padang ilalang kering (belum divaksin) kalau dikasih api ya kebakar meski ada rumput basah yaitu paling kena-kena asap.

Jadi itulah fungsinya orang yang sudah divaksin ini menjadi pelindung orang yang belum divaksin terutama kelompok rawan yang ibarat kayu kering, itulah kenapa yang dikejar kelompok vaksinasi yang rawan, komorbid.

Baca Juga: Epidemiolog Kritik PCR Jadi Syarat Perjalanan: Sia-sia

Musim hujan telah tiba, bagaimana potensi penularan terutama di daerah terdampak banjir?

[WANSUS] Epidemiolog Blak-Blakan Polemik PCR hingga Gelombang 3 COVIDPetugas mengevakuasi warga menggunakan perahu karet saat banjir di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021). Banjir yang terjadi akibat curah hujan tinggi serta drainase yang buruk membuat kawasan Kemang banjir setinggi 1,5 meter (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Jadi mitigasi utama yakni vaksinasi, situasi apapun ketika terjadi bencana itu sulit orang tidak berkerumun, masa mau menolong orang jarak jauh, untuk harus dilindungi dengan vaksinasi lengkap, masker. Selan itu kapasitas atau kepadatan pengungsi tenda juga dikurangi.

Virus sendiri tidak ada masalah dengan cuaca, namun perilaku manusianya cenderung berkerumum dalam rungan ini yang membuat risiko penularan apalagi gak pakai masker dan vaksinasi jadi harus dikombinasikan, jadi tidak airnya yang menularkan.

Banyak ahli yang memprediksi tahun depan pandemik berakhir, bagaimana tanggapannya? Apakah Indonesia bisa keluar dari krisis ini?

Saat 2020, banyak ahli dan riset prediksi Juli atau akhir 2020 namum saya katakan saat itu tidak mungkin. Jadi saya bukan ngeramal ya, artinya ini pentingnya kombinasi pengetahuan dan pengalaman. Tapi kita optimis ya meski manusia ada kekurangan, tapi prediksi akhir tahun depan (2022) kita sudah keluar dari masa krisis, kalau petengahan sih belum

Indonesia bisa keluar dari masa krisis pandemik COVID-19 jika WHO sudah mencabut status ini. Badan Kesehatan Dunia tersebut akan mencabut status bila Indonesia memenuhi sejumlah syarat mulai cakupan vaksinasi sudah 80 persen, angka reproduksi efektif di bawah satu, kasus harian bisa di bawah 1000 sehari, kematiannya di bawah 20 atau 50, itu sudah dianggap kategori terkendali.

Untuk itu, program vaksinasi terus digencarkan agar capai 80 persen masyarakat Indonesia. Selain vaksinasi tentu memperkuat Testing, Tracing dan Isolasi.

Jika cakupan vaksinasi sudah terpenuhi 80 persen maka syarat perjalanan tidak perlu pakai Antigen atau PCR lagi. Jadi intinya percepat vaksinasi dan dukungan masyarakat seban sebagus apapun negara membuat kebijakan ya tergantung seberapa aktif kita berperan dalam mengendalikan, menjaga protokol kesehatan, memakai masker, kalau nggak didukung oleh kita semua apapun strategi ya gagal.

Baca Juga: Menkes: 155 Kabupaten/Kota Alami Kenaikan Kasus COVID-19, Waspada!

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya