Millennial di Antara Persahabatan Indonesia-Malaysia

Kuala Lumpur, IDN Times - Nasi Warna-Warni dengan lauk khas Malaysia menjadi menu jamuan makan malam kami. Lagu demi lagu juga mengiringi acara yang berlangsung di penginapan The Everly, Putrajaya, Malaysia, pada Selasa malam (12/2).
Sepasang penyanyi asal Malaysia begitu merdu melantunkan sederet tembang lawas asal Indonesia antara 1980-an hingga 1990-an, seperti Antara Anyer dan Jakarta, Jangan Ada Dusta di Antara Kita, Hati Lebur Jadi Debu.
Tak ketinggalan pula, lagu legendaris Isabella dari grup band asal Malaysia, Search, yang begitu populer di Indonesia dan Negeri Jiran pada 1990-an itu. Kurang afdol rasanya tanpa kehadiran tembang ini, hingga seorang wartawan senior asal Indonesia meminta langsung kepada sang penyanyi, untuk menyanyikan lagu pop rock ini.
Jamuan makan malam ini merupakan rangkaian acara kunjungan wartawan Indonesia ke Malaysia, yang digelar Ikatan Setiakawan Wartawan Indonesia-Malaysia (Iswami) pada 12-14 Ferbruari. Sebanyak 22 delegasi hadir dalam acara ini, termasuk Presiden Iswami Indonesia Asro Kamal Rokan.
1. Kasus Ambalat hingga Reog membuat hubungan Indonesia-Malaysia memanas

Usai dimanjakan dengan kuliner khas Malaysia, sekitar pukul 21.15 waktu setempat, acara inti pun dimulai. Sang pemandu acara membuka acara dengan tema Memerkasa Generasi Milenial Serumpun. Acara diawali sambutan Wakil Presiden Iswami Malaysia Datok Zulkifli Hamzah yang mewakili Presiden Iswami Malaysia Datuk Zulkefli Salleh, yang membuat suasana mulai cair.
"Saya ini mewakili Presiden Iswami Malaysia Datuk Zulkefli Salleh yang kebetulan tidak dapat hadir malam ini. Tapi Beliau titip salam. Selepas Beliau pulang dari Surabaya, dia terus demam panas. Entah apa yang membuatnya dia demam panas," ujar Zulkifli mengawali pidatonya, disambut tawa hadirin.
Datuk Zulkefli Salleh memang telah menghadiri acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang digelar di Grand City Surabaya, Jawa Timur, pada 9 Februari 2019. Mungkin dia kelelahan sehingga membuatnya demam.
Zulkifli melanjutkan sambutannya dengan mengulas balik asal usul terbentuknya Iswami sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, hubungan Indonesia-Malaysia tengah memanas akibat beberapa masalah. Kasus Ambalat, Reog, batik, hingga hal sepele kerap membuat hubungan kedua negara menegang.
"Saya masih ingat sekitar tahun 2000 saat saya bertugas di Jakarta. Kedutaan Malaysia jaraknya lebih kurang 600 meter dari kediaman saya di Kuningan. Hampir setiap hari ada demonstrasi, hampir setiap hari bendera Malaysia dibakar, walau pun isunya sangat kecil. Nelayan di dekat Aceh atau Medan ditangkap," kata dia.
Bahkan, tak jarang politisi ikut memanfaatkan situasi tersebut untuk kampanye mereka. "Malahan hal sepela yang berkaitan dengan budaya yang ada kerja sama pun dijadikan isu. Kita paham tentang itu. Politisi pun senang menggunakan hubungan Indonesia-Malaysia sebagai isu mereka untuk kampanye, baik di Indonesia maupun di Malayasia."
Namun, kata Zulkifli, hubungan bilateral kedua negara kini berjalan baik setelah lebih dari satu dekade. Tak ada lagi masalah sepele yang menyulut kemarahan kedua negara. Ada peran Iswami dalam memelihara hubungan kedua negara. "Bahkan, nelayan Indonesia yang ditangkap Malaysia dibabeskan Pak Jokowi semasa itu tidak lagi. Masalah ada, tapi tidak sampai begitu menyulut."
"Saya percaya ini semua berlaku karena peranan kita semua. Terutama peranan media. Tidak kecuali Ismawi, yang digagaskan semasa itu oleh Johan Jaffaar (Tokoh Pers Malaysia Sri Johan Jaaffar) bersama rekan-rekannya dan dari Indonesia almarhum Saiful (Saiful Hadi Chalid), Pak Asro (Presiden Iswami Indonesia Asro Kamal Rokan) dan teman-teman di sama," lanjut dia.
2. Indonesia-Malaysia harus sama-sama belajar dari masalah masa lalu

Karena itu, Zulkifli mengajak Iswami, kalangan media, dan masyarakat kedua negara saling menjaga hubungan baik ini. Kedua pihak harus sama-sama belajar dari masalah-masalah yang membuat murka kedua bangsa serumpun ini. Jangan lagi menyepelekan masalah-masalah kecil yang menyebabkan keretakan hubungan bilateral ini.
"Saya percaya apa yang terjadi 10 tahun lalu dapat dihindari dan masyarakat Indonesia dapat berpikir lebih matang, yang membantu negara masing-masing untuk membentuk sebuah kerja sama yang lebih erat. Hubungan yang lebih nyata kedua negara," tutur dia.
Menutup pidato sambutannya, Zulkifli tak lupa berucap terima kasih kepada pengurusa Iswami dan pihak-pihak yang hadir pada malam itu. Dia juga mengingatkan agar memanfaatkan kunjungan ini dengan sebaik mungkin, terutama kepada jurnalis-jurnalis muda penerus Iswami.
"Pak Asro nanti kalau mau melanjutkan menyanyi silakan, Pak Syam (pendiri Iswami Indonesia Syamsuddin Ch Haesy) juga, orang yang hebat. Saya pun baru tahu sejarah lagu Jumpa Mesra, itu ada sejarahnya. Itulah hebatnya, sebuah lagu tahu sejarahnya. Itulah generasi baru sekarang harus bisa meneruskan," tutup Zulkifli sedikit bergurau.
3. Hubungan Indonesia-Malaysia harus seperti air

Setelah Zulkifli menyampaikan pidato pembukanya, giliran Presiden Iswami Malaysia Asro Kamal Rokan. Dia mengawali sambutannya dengan guyonan.
"Ada dua versi, Isabellanya Iswami dan kita. Isabellanya kita nadanya beda, Isabella tanah airku... (lagu Indonesia Tanah Airku)," kelakar Asro, disambut tawa hadirin.
Tan Sri Johan Jaaffar yang merupakan tokoh pers Malaysia dan malam itu menjadi pembicara, mendapat apresiasi sekaligus bahan guyonan Asro. Apalagi Asro menyingung-nyinggung soal Pilpres 2019, membuat suasana malam itu cair.
"Johan Jaaffar ini gurunya saya. Luar biasa. Saya beruntung dapat berkenalan dengan Johan Jaaffar. Kalau saya dan kawan-kawan datang ke sini (Malaysia) satu hal yang membuat dia marah: 'kenapa kau tidak mampir ke rumah?' Kalau kita ke rumah, kita makan, kita ngobrol bagaimana Prabowo dan Jokowi," kata dia disambut gelak tawa hadirin.
"Pak Zulkifli luar biasa tadi. Pak Jalil terima kasih sudah hadir di sini, pak Ibrahim, Pak Jamil, Pak Amin, Pak Nasir," sambung Asro.
Selain mengapresiasi para narasumber yang hadir, Asro juga menyampaikan sejumlah delegasi Indonesia, yang lagi-lagi disampaikan dengan nada humor.
"Dari Indonesia, alhamdulillah kita komplit. Jadi kalau misalnya kita menyerang, pasti kita menang," ujar Asro, diambut tawa hadirin.
"Di sini ada Kompas, ada Antara, Rakyat Merdeka. Semuanya ada 22 orang. Saya sendiri agak susah menyebutnya satu per satu. Tapi ini memang membuktikan Malaysia magnet dan sangat menggoda. Alhamdulillah," kata dia.
Asro membenarkan pidato Datok Zulkifli Hamzah bahwa Iswami berdiri sejak 10 tahun yang lalu, saat hubungan Indonesia-Malaysia sedang bermasalah. Menurut dia di tingkat pemerintah bisa dibilang hubungan kedua negara baik sekali. Mesra. Tapi tingakat masyarakat memanas.
Asro mencontohkan kasus Ambalat saat itu mendorong dirinya harus bertemu Noor Syamsudin Chotib Haesy (Pimpinan Akarpadi), Pimred Cek & Ricek Ilham Bintang, Tarman Azzam dan Syaiful Hadi, serta tokoh pers dari Malaysia Sri Johan Jaaffar dan Datuk Abdul Jalil Ali Tan.
"Kita bertemua di Hotel Mulia dengan Pak Johan Jaaffar, Pak Jalil juga. Kita membahas apa yang bisa kita lakukan untuk ini (ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia). Maka kemudian dibentuk lah namanya Iswami," kata dia.
4. Menjaga hubungan Indonesia-Malaysia dengan pendekatan budaya

Karena itu, Asro mengajak Iswami terus berupaya menjaga hubungan kerja sama ini dengan baik. Indonesia dan Malaysia boleh bersaing dalam kemajuan, tapi tidak untuk pertentangan dan permusuhan.
"Ibarat air kita percaya, sekuat apapun pedang memutusnya, maka air itu tidak akan putus. Itu ibarat hubungan yang kita lakukan," kata dia.
Memang, kata Asro, menjaga hubungan baik kedua negara itu tidak lah mudah. Apalagi sekarang ini suasana di permukaan baik-baik saja, tapi kita tidak tahu bagaimana media sosial dan media melihat persoalan hubungan ini.
"Tadi saya mengambil kisah Isabella untuk mengatakan ini. Jadi budaya sangat memudahkan kita untuk menelurkan hubungan kita ini. Saya sejak kecil mendengarkan lagu-lagu Ahmad Jais (penyanyi Malaysia), bahkan penyanyi Indonesia sangat dikenal di Malaysia. Ini menurut saya suatu yang indah," tutur mantan Pemred Jurnas itu.
Contoh pendekatan budaya lain, adalah saat Asro masih kecil yang lebih sering menghapal menteri-menteri Malaysia ketimbang Indonesia. Hal itu karena faktor kedekatan tempat tinggalnya dengan negeri Jiran itu.
"Kenapa? Saya tinggal di Sumatera Utara lebih mudah mendengarkan radio dari pada TVRI. Jadi sangat paham lagu-lagu Malaysia. Ini yang membuat kedekatan," kata dia, kembali disambut tawa hadirin.
Namun, bicara soal hubungan Indonesia di tingkat generasi sekarang, Asro ragu. Dia khawatir generasi milenial tidak dapat merawat hubungan Indonesia-Malaysia yang 10 tahun belakangan sudah terjalin dengan baik.
"Apakah mereka memiliki hubungan emosional antara Malaysia dan Indonesia? Kok saya jadi ragu soal itu. Bagi mereka mungkin Malaysia sebuah negara, Indonesia sebuah negara. Selesai. Mereka tidak memiliki akar yang kuat. Inilah menurut saya tugas kita. Kita bisa pergi (meninggal) kapan saja. Usia kita bisa berakhir, tapi hubungan ini harus tetap kita pertahankan," papar dia.
Lalu bagaimana caranya? Asri menyebut salah satu cara adalah dengan mewariskan kepada generasi milenial. "Itulah dasar pertemuan kita malam ini, bagaimana media menjalin hubungan itu, kita wariskan pada anak-anak kita. Prinsipnya adalah, kita bisa pergi tapi hubungan ini harus tetap abadi," tutup Asro.
5. Cerita PM Malaysia Abdullah Badawi mengutus tokoh pers ke Indonesia

Malam semakin larut. Jarum jam menunjukkan pukul 21.49 waktu setempat, namun perbincangan semakin seru. Apalagi giliran tokoh pers Malaysia Tan Sri Johan Jaaffar yang memberikan pidato sambutan.
Jaaffar juga tak kalah menarik. Dia mengawali pidatonya dengan cerita asal-usul dirinya yang memilik darah Ponorogo, Jawa Timur. Karena itu, suatu ketika dia wawancara dengan salah satu menteri di Selangor, menjadi bahan gurauan maysarakat Malaysia.
"Orang menyebutnya dua orang Jawa sedang berbincang Malaysia," kata Jaaffar disambut tawa hadiri.
"Kata Pak Shem, saya ini ada darah Bugis. Jadi saya belajar dengan Pak Shem, si Patua. Jadi kalau orang Bugis menurut ceritanya, ada konsep kita boleh berpindah dapur, jadi kalau sudah sampai ke suatu tempat dibakar nya kapal ya, jadi tinggal terus jadi masyarakat setempat. Jadi sebenarnya tidak ada orang yang Melayu tulen," dia menyambung.
Mantan Pengerus Media Prima Berhad itu menceritakan saat ketegangan hubungan Indonesia-Malasya pada 2007-2008 akibat kasus Ambalat. Saat itu, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi mengutus Jaaffar untuk menemui tokoh pers di Indonesia, sampai terbentuklah Iswami.
"Jadi pada saat kondisi kritis pada saat itu, saya diminta PM Tun Abdullah Badawi. Saya tak sebut mantan karena kalau di Malaysia artinya mondar mandir tanpa jabatan. Jadi harus perkataan bekas," ujar Jaaffar disambut tawa.
Pada saat itu, Jaaffar pergi ke Indonesia bersama Menteri Pertahanan Malaysia saat itu, Ahmad Zahid Hamidi. Sampai di Indonesia dia bertemu Asro Kamal Rokan, Noor Syamsudin Chotib Haesy, Ilham Bintang, dan lainnya. Selain itu, dia juga menemui pimpinan-pimpinan wartawan di Indonesia.
"Kita membulatkan apa yang sekarang kita sebut Iswami. Jangan salah paham ya, ada satu lagi di sini berbahaya, jangan disebut istiqomah: ikatan suami-suami takut istri di rumah," ujar dia, disambut tawa.
Karena itu, selaku pendiri, Jaaffar melihat peran Iswami sangat penting dalam menjaga hubungan Indonesia-Malaysia tetap berjalan baik. "Kalau tidak, kita akan menghandapi konfrontasi yang kedua. Ti6. dak terjadi konflik-konflik saat itu berkat Iswami, jadi ini sumbangan penting."
"Sebab Malaysia dan Indonesia ini ibarat saudara yang kadang-kadang berselisih paham dan sebagainya, walaupun kita punya tradisi yang panjang, seperti saya," dia meneruskan.

6. Mengarahkan generasi milenial bertanggung jawab menggunakan media sosial

Lebih lanjut, Jaaffar menyebutkan, untuk memperkuat hubungan Indonesia-Malaysia--setelah masalah-masalah sulit terlewati, kita dihadapkan dengan kondisi yang berbeda. Ada jurang antara generasi sebelumnya dengan milenial.
"Kalau generasi milenial sekarang generasi 'me me generation'. 'Its about me, tidak ada lagi Its about you'. Mereka menghabiskan waktu untuk bermedia sosial dan sebagainya. Tentu keadaan yang kita lalui berbeda dengan sekarang," ujar dia.
"Saya tidak mau mengaku saya milenial, tapi setidaknya saya punya dua anak milenial yang dominan di keluarga. Sebab itu, kalau ada orang bertanya lagu atau band yang saya sukai, saya akan teringat BTS dari Korea. Sebab saya suka menyanyikan lagu-lagu Korea itu dengan anak saya. Saya serpihan milenial. Jadi itu untuk membuktikan ke-milenial-an saya," lanjut Jaaffar disambut tawa.
Ia menyebut Iswami harus memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan Indonesia-Malaysia yang lebih baik pada saat kondisi yang berbeda ini. Generasi milenial harus memahami aspirasi generasi sebelumnya, karena hubungan dua negara ini bukan sekadar bilateral.
Jaaffar memaparkan kendala-kendala yang harud dihadapi sekarang ini, seperti media sosial tidak ada batas lagi. Negara satu dengan negara lain tak ada lagi batasan. "Kalau mereka menyukai lagu Korea, ya mereka sukai. Kalau mereka menyukai lagu-lagu dari Indonesia, ya mereka akan menyukai. Tetapi dengan kaidah atau cara yang sama sekali berbeda."
Jaaffar juga mengalami fenomena sekarang ini, yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sebut saja waktu untuk membaca buku yang sekarang sangat terbatas, karena disibukkan dengan memantau media sosial.
"Waktu kita habis untuk Twitter, WhatsApp, Instagram, Facebook dan sebagainya. Bahkan kita sudah lakukan apa yang orang forward kita, kita lakukan juga, jadi kita sudah sampai forward generation," kata dia, disambut tawa hadirin.
Sehingga, Jaaffar mengambil benang merah, bahwa dalam menghadapi generasi milenial ini, pernanan Iswami menjadi penting. "Sebab anak anak muda sekarang tidak lagi membaca surat kabar seperti dulu, dan dimana-mana surat kabar sekarang mengalami penurunan, di Malaysia dan lain-lain."
Dan yang paling penting, kata Jaaffar, bagaimana mengarahkan kaum milenial menggunakan platform dengan bertanggung jawab. Sebab kebebasan tanpa tanggung jawab akan menimbulkan banyak masalah.
"Kita harus menggunakan platform dengan kaidah yang benar. Malaysia perlu banyak belajar pada Indonesia, kita tidak perlu lagi memperuncing bambu seperti Indonesia, seperti revolusi 1998," kata dia.
Menurut Jaaffar Iswami atau kalangan media bisa berperan melalui pembuatan berita untuk melakukan pendekatan kepada milenial. Sebab suara dan pemikiran mereka sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Tidak dipungkiri, saat ini sudah sampai pada suatu titik generasi sebelumnya harus menerima perubahan ini.
"Dalam kehidupan rumah, kita dengan anak-anak kita sendiri, trush kita sudah berbeda dengan generasi terdahulu. Saya tidak akan berani pegang makanan kalau ayah saya belum makan, tapi anak kita sekarang sambil makan, sambil pegang HP, sambil main game, sambil WhatsApp, Facebook dan sebagaianya," dia mencontohkan.
Sebagai pelaku media, kata Jaaffar, Iswami harus bisa memastikan melibatkan kalangan milenial, sebagai bagian dari seluruh proses kemajuan negara. Dia mengaku tidak tahu formulasi yang sesuai untuk masalah komunikasi dengan generasi milenial, namun semua pihak harus belajar memahami aspirasi meraka.
"Kita tidak sama dengan mereka, sebab itulah istilah dari Amerika me me generation. Ini bukan saja masalah di kalangan media, tapi juga pemerintahan. Sama-sama. Sebab meraka bukan saja generasi me me tapi juga i don't care. Karena itu, kita menghadapi kondisi yang sangat sukar," ucap dia.
Jaaffar mengingatkan kecanggihan teknologi semakin memungkinkan kemudahan dalam berkomunikasi, namun pada saat bersamaan masyarakat semakin menjadi individualistik. Karena itu, ini sesuatu yang harus diluruskan.
"Jadi saya pikir peranan untuk memperkuat generasi milenial serumpun ini kita harus mencari jalan yang sama. Saya percaya Iswami dalam membantu, seperti pada masalah sebelumnya Indonesia dan Malaysia, dan yakin Iswami dapat memberikan suara baru pada generasi yang baru ini. Jadi kita sama-sama bertanggung jawab dalam soal ini," kata dia.
Mengakhiri sambutannya, Jaaffar tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Iswami dan undangan yang hadir pada malam itu. Dia juga mengaku berutang budi pada Indonesia atas bantuan-bantuan yang selama ini diberikan kepada Malaysia.
"Jadi saya berutang budi pada Indonesia. Kita harus membayar kembali, kita harus menyediakan platform baru, landasan baru, untuk generasi muda. Ini menjadi agenda Iswami baru ke depan, dan Iswami adalah salah satu momen terindah selama profesi yang saya alami. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih," ucap dia.
7. Hubungan Indonesia-Malaysia berjalan baik di banyak kalangan

Satu jam berlangsung dan malam pun semakin larut. Namun acara belum juga usai. Satu pembicara terakhir yakni Penasihat Eksekutif Editorial Harian Sinar Datuk Abdul Jalil Ali. Beruntung, rasa kantuk hadirin dibuat hilang dengan celetukan-celetukannya yang mengundang tawa.
"Saya harus mengakui sekarang waktu sudah semakin larut malam, dan saya termasuk kelompok Istiqamah (Ikatan suami takut istri di rumah). Oleh karena itu saya akan sampaikan yang dasar-dasar saja lah. Terutama tentang generasi baru dan generasi saya," ujar Jalil disambut tawa hadirin.
Jalil mengawali pidatonya dengan cerita hubungan emosional dirinya dengan Indonesia. Saat masih di bangku sekolah, Jalil mengaku sudah mengenal, bahkan penggemar bintang film asal Indonesia seperti Robby Sugara, Christine Hakim dan Suzanna. Setelah besar dan menjadi jurnalis, dia pun merasa beruntung dapat kesempatan mewancarai mereka.
"Karena saya seorang wartawan setelah itu saya wawancara artis-artis itu, dan ada juga artis cantik, Suzanna. Semua pernah saya interview. Waktu itu saya masih bekerja di koran Utusan, saya mengakrabkan dengan beberapa artis Indonesia," kenang pria yang kini berambut putih itu.
Tak hanya itu, saat masih kecil, Jalil juga mendapat cerita bahwa bangsa Indonesia menjajah Malaysia. Hingga dewasa, ia pun tahu kondisi fakta yang sebenarnya.
"Waktu saya masih kecil diberitahu, orang Indonesia datang serang Malaysia. Ada yang ditangkap namanya Sutikno. Itu memberikan gambaran kepada saya, bahwa Indonesia itu tak bagus karena serang negeri saya. Tapi begitu saya kenal Suzanna, Robby Sugara, Christine Hakim, dan sebagainya ternyata Indonesia ini bagus," tutur dia. Gelak tawa hadirin pun terdengar.
"Bukan saja bagus, tapi cantik-cantik," timpal Jalil, kembali mengocok perut hadirin.
Karena itu, kata Jalil, secara pribadi Indonesia dianggap sebagai saudara. Apalagi setelah dia berkeluarga dengan memiliki asisten rumah tangga asal Semarang, Indonesia. Semakin yakin kalau Indonesia tidak seperti anggapan sebelumnya.
"Mbak Sumi asal Semarang. Dia telah menjadi bagian keluarga saya, dan penuh setia pada keluarga saya selama 28 tahun. Asimilasi antara dia dengan saya itu udah sama, dan saya sudah tahu Indonesia dari dia. Saya sudah pernah pergi ke keluarga dia, kita begitu akrabnya. Itu di kalangan bawahan," ujar dia.
Kemudian di kalangan atas, Jalil mengaku mengenal Wakil Presiden ketiga RI Adam Malik, dan menteri-menteri lainnya. Bahkan, dia juga mengenal baik dengan Presiden Joko Widodo.
"Apabila nanti Pak Jokowi mengulang lagi menjadi presiden, saya di antara wartawan pertama Malaysia yang diberi kesempatan wawancara eksklusif dia. Jadi bagi saya secara pribadi, hubungan kedua negara ini, dan Iswami sudah sangat akrab. Karena sekarang sudah tidak ada lagi isu-isu seperti dulu, ini harus diakrabkan dengan erat. Itu generasi saya, generasi 'putih'," tutur dia, kembali disambut tawa.
8. Iswami bisa berperan melalui pemberitaan positif di media massa

Jalil juga menyoroti generasi milenial yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Lagi-lagi dia mencontohkan kehidupan pribadinya. Dia menyebut, meski anaknya yang milenial setiap hari diasuh orang Indonesia, belum tentu memahami hubungan Indonesia-Malaysia. Karena itu, dia meminta anaknya belajar di Indonesia.
"Dia tidak dapat memahai Indonesia seperti yang saya pahami. Sehingga sekarang di magang di Jakarta Post selama enam bulan, di Palmerah (Jakarta Barat). Dengan demikian dia lebih tahu Indonesia dengan pekerjaan sehari-hari. Malah dia belajar bahasa Malaysia pun di Indonesia. Sebab dia di rumah lebih menggunakan bahasa Inggris," cerita Jalil.
Di Indonesia, Jalil melanjutkan, sang anak juga belajar bahasa Indonesia. Bahkan, hubungan sang anak dengan beberapa editor Jakarta Post berjalan baik. Kini keluarganya sering berkunjung ke Indonesia.
"Nah, sekarang ini bagaimana generasi muda mendekati kedua negara satu rumpun ini. Tapi di sisi lain dia juga tahu yang sedang mewabah tentang budaya Korea. Kita tak tahu lah. Generasi baru ini dia punya dunia berbeda-beda, karena itu banyak unsur negatif yang mungkin meresap ke dalam jiwanya," kata dia.
Karena itu, Jalil menggarisbawahi perananan Iswami dan kalangan wartawan untuk menghindari hal-hal negatif di media massa. "Supaya tidak meresap ke dalam jiwa anak-anak muda kita. Seperti saya yang sudah tua ini, tidak ada apa-apanya lah. Duit pun tak punya. Makanya kalau saya pergi ke Jakarta ini saya hanya keset, grassman," kelakar dia.
Iswami sebagai kalangan wartawan harus berusaha menyajikan berita-berita yang positif, yang sepatutnya sebagai asupan generasi milenial. "Jangan cerita duka kita seperti cerita Ambalat, dia tak tahu. Tapi cerita nelayan ditangkap mereka tahu."
"Mereka tidak seperti kita dulu, anak-anak muda sekarang tidak tertarik dengan hal-hal seperti ini. Mereka lebih tertarik dengan hal-hal yang lebih menarik. Sekiranya begitu saja dari saya, karena saya termasuk keluarga Istiqamah," tutup Jalil, kembali mengundang tawa hadirin.
9. Menggelar kegiatan yang melibatkan milenial dari kedua negara

Tak hanya narasumber, hadirin juga mendapat kesempatan yang sama pada diskusi malam itu. Ada tiga kesempatan yang diberikan kepada hadirin untuk menanggapi pemaparan kelima narasumber yang semuanya berasal dari Indonesia.
Tanggapan pertama datang Pimpinan Redaksi BUMN Track Akhmad Kusaeni. Menurut dia, masalah hubungan Indonesia-Malaysia terbagi menjadi tiga bagian: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Menanggapi kekhawatiran Asro soal hubungan Indonesia-Malaysia setelah memasuki generasi milenial, Kusaeni justru merasa optimis. Sebab, padangan milenial sekarang lebih mendunia dan terbuka.
"Mereka melihat hubungan Indonesia Malaysia berjalan baik, dan pandangan mereka yang terbuka. Mereka juga ingin menjadi global citizen, warga dunia. Bukan hanya warga negara. Konsep dari nasionalisme juga berbeda, mereka cenderung kepada yang universal. Keterbuakaan, kesamaan," kata dia.
Sehingga, kata Kusaeni, hal-hal yang terjadi selama ini di kedua negara tidak akan membuat panas suasana di kemudian hari. "Apalagi generasi milenial suka narsis, jalan-jalan, kuliner. Mereka lebih senang having fun. Mereka tidak mau dipusingkan dengan masalah-masalah yang berat. Karena itu hubungan Indonesia-Malaysia ke depan tidak seperti masa lalu."
Kusaeni mengusulkan tindakan nyata yang efektif untuk menjaga hubungan baik Indonesia-Malaysia adalah perlunya dibentuk oraganisasi-organisasi kesetiakawanan seperti Iswami.
"Kalau Iswami ini kan bukan generasi milenial, mungkin generasi kolonial. Banyak yang sudah mantan," ujar dia disambut tawa hadirin.
Kusaeni menyebut, organisasi tersebut bisa dalam bentuk kesetiakawanan pelajar mahasiswa Indonesia-Malaysia, ikatan kesetiakawanan pengusaha muda Indonesia-Malaysia.
"Hal-hal semacam ini harus dibentuk. Semakin banyak hubungan kesetiakawanan akan merawat hubungan Indonesia-Malaysia," kata dia.
Hal penting lainnya untuk merawat hubungan Indonesia-Malaysia perlunya dibentuk landing page seperti website, agar milenial Indonesia dan Malaysia mengacu berita-berita yang akurat, mengenai hubungan kedua negara.
"Bukan informasi-informasi yang hoaks, fitnah. Mungkin bisa dibentuk setiakawan.com, dan juga perlu dibentuk Twitter, Facebook, dan lain-lain," kata Kusaeni.
Hal senada juga disampaikan Pemred Kedaulatan Rakyat Octo Lampito. Menurut dia, untuk menjalin hubungan baik Indonesia-Malaysia harus melibatkan generasi milenial, sebut saja di bidang kesenian.
"Saya salut menteri Malaysia yang mengadakan kegiatan yang melibatkan atlet-atlet di perbatasan kedua negara, membuat suasan itu menjadi dingin," kata dia.
Menurut Octo, berdasarkan penelitian generasi milenial memang tidak suka membaca. Sekali pun membaca hanya bagian intinya. "Mereka hanya membaca laed-nya saja. Setelah itu mereka tidak membaca secara lengkap. Jadi mereka tahu banyak, tetapi sedikit. Jadi di Indonesia, gak tahu kalau di Malaysia, sekarang digalakkan gerakan-gerakan literasi, untuk membaca."
Sementara, wartawan senior Republika Irwan Kelana mengusulkan adanya kegiatan yang melibatkan milenial seperti lomba menulis atau vlog, sebagai bentuk nyata memelihara hubungan baik antara Indonesia-Malaysia.
"Mereka bisa menulis di media. Dengan begitu jika misalnya yang mengikuti ada 1.000 wartawan, saya kira cukup banyak, ya. Yang menang bisa berkunjung ke negara Indonesia atau sebaliknya ke Malaysia. Saya kira itu ide dari saya," ujar novelis religi itu, sekaligus mengakhiri pertemuan malam itu.
Agenda hari pertama Iswami pun berakhir. Kami rombongan delegasi Iswami dari Indonesia yang berjumlah 22 orang segera ke kamar untuk beristirahat, setelah berbincang-bincang sejenak, baik dengan anggota Iswami Indonesia maupun Malaysia.