Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

KemenPPPA: Perempuan Bisa Rekrut Sesama Masuk ke Kelompok Teroris

default-image.png
Default Image IDN

Jakarta, IDN Times - Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Valentina Gintings menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender adalah salah satu taktis ekstremisme di dunia terorisme.

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme belakangan ini menurutnya kerap terjadi karena perempuan dinilai mudah bersimpati, menjadi pendukung bahkan target untuk mencatut teroris perempuan lainnya dengan pendekatan ideologi yang mereka percayai.

"Ini kekerasan yang berbasis terorisme di mana perempuan kerap menjadi kelompok yang dipakai karena mereka bersimpati, menjadi pendukung dan mempersiapkan makanan, kesehatan dan sebagainya, bahkan perempuan tersebut dianggap sebagai target yang kemudian mereka adalah sebagai rekruter kepada kaumnya," kata dia dalam program "Ngobrol seru" by IDN Times, Selasa (13/4/2021).

1. Perempuan sebagai korban dan pasangan teroris

default-image.png
Default Image IDN

Jika dilihat dari data sejak peristiwa terorisme yang pernah terjadi sebelumnya, Valentina mengatakan ada tiga hal keterkaitan perempuan dalam aksi terorisme, yang pertama adalah perempuan menjadi korban bom dan kehilangan pasangannya karena menjadi aksi terorisme.

"Kenapa dia menjadi korban, karena dampak dari bom, berdampak pada kejadian, kemudian dia risiko kehilangan pasangannya, ini dari sisi korban ya bukan dari sisi eksekutornya," ujarnya.

Selain menjadi korban terorisme, perempuan juga dilihat sebagai pasangan pelaku terorisme. Mereka tidak terlibat, namun berada di garis belakang, artinya risiko kehilangan pasangannya dan hidup dalam keadaan tertekan lebih besar.

2. Jadi pelaku karena pasangannya teroris

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Valentina Gintings dalam program "Ngobrol seru" by IDN Times, Selasa (13/4/2021).dalam program "Ngobrol seru" by IDN Times, Selasa (13/4/2021).
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Valentina Gintings dalam program "Ngobrol seru" by IDN Times, Selasa (13/4/2021).dalam program "Ngobrol seru" by IDN Times, Selasa (13/4/2021).

Valentina juga menjelaskan bahwa perempuan turut berpotensi menjadi pelaku terorisme. Ketika jadi eksekutor perempuan sebelumnya memang dilibatkan untuk membantu baik dari sisi logistik, makanan, rekruter dan lainnya.

Namun, dia mengungkapkan bahwa tak jarang perempuan terpaksa jadi pelaku terorisme saat mereka harus menikah dengan teroris.

3. Perempuan rentan akan terorisme salah satunya karena budaya patriarki

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Jika dilihat dari isu gender, isu radikal dan paham terorisme kata Valentina ada kerentanan perempuan untuk masuk dalam jerat terorisme.

Pertama adalah budaya patriatki di mana perempuan adalah harus ikut di manapun suami berada dan ini kerap ditemukan oleh perempuan yang punya pasangan seorang teroris.

"Walaupun dia salah, dia tahu itu gak benar, karena dia (memegang) budaya (patriatki) yang kuat dan kemudian dia harus ikut," kata dia.

4. Faktor ekonomi dan sosial juga mempengaruhi perempuan

default-image.png
Default Image IDN

Kerentanan perempuan di isu terorisme juga muncul karena faktor ekonomi dan mendapat ajakan menikah dari seorang teroris karena awalnya ingin menaikkan status ekonomi.

Selain itu, kerentanan lainnya juga muncul karena faktor sosial yang memengaruhi perempuan terkait isu radikalisme.

"Misalnya dari media sosial, yang kemudian mereka menyalahartikan atau tidak paham asbabun nuzul-nya yang kemudian mereka ikut-ikutan ini juga sangat banyak terjadi atas kerentanan dari perempuan itu," kata dia.

5. Keterbatasan informasi buat perempuan mudah terpapar

Ilustrasi teroris (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi teroris (IDN Times/Mardya Shakti)

Perempuan juga kerap menganggap bahwa dia adalah kelompok yang lemah dan doktrin dari keluarga. 

Kerentanan juga ditemukan karena perempuan punya keterbatasan akses informasi, karena tak semua perempuan bisa dapat informasi soal radikalisme dengan mudah atau latar belakang pasangannya.

"Inilah yang saya rasa, kenapa kemudian perempuan rentan masuk ketiga kelompok tadi, yaitu perempuan jadi korban, kemudian pasangannya terlibat jadi teroris dan perempuan menjadi eksekutor," ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Dwifantya Aquina
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us