Komnas: Tindakan Intoleransi yang Berulang Berdampak pada Perempuan

- Komnas Perempuan mengingatkan pemerintah pusat dan daerah soal kewajiban mereka melakukan pembinaan kepada warga, terutama dalam menjaga kerukunan umat beragama.
- Persoalan intolernansi kerap disederhanakan sebagai salahpaham.
- Langkah pencegahan harus jadi prioritas serius.
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam terulangnya peristiwa intoleransi yang terjadi di sejumlah wilayah. Sepanjang 2025, Komnas Perempuan telah mendokumentasikan sekitar delapan kasus intoleransi. Setelah sebelumnya terjadi di Sukabumi dan Depok, peristiwa serupa kembali terjadi di Padang pada 27 Juli 2025.
Insiden tersebut berupa persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) yang sedang beribadah di rumah doa yang berlokasi di Kelurahan Padang Sarai, Koto Tangah, Kota Padang.
"Komnas Perempuan mendesak Negara, dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Aparat Penegak Hukum, dengan tugas dan fungsinya wajib melakukan langkah-langkah penanganan yang diperintahkan oleh sejumlah undang-undang di tingkat nasional antara lain rekonsiliasi dan pemulihan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan," kata Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).
1. Penanganannya perlu melibatkan perempuan

Komnas Perempuan, kata Daden, juga mengingatkan pemerintah pusat dan daerah soal kewajiban mereka melakukan pembinaan kepada warga. Terutama dalam menjaga kerukunan umat beragama sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan pencegahan konflik, sehingga dapat melakukan langkah-langkah antisipasi terjadinya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga.
Sementara itu, dalam langkah-langkah penanganan, pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum juga perlu melibatkan perempuan dan mendengarkan suara serta pengalaman mereka.
2. Persoalan intoleransi kerap disederhanakan sebagai salah paham

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menjelaskan Komnas Perempuan mencatat adanya pola berulang dalam kasus-kasus intoleransi.
"Seringkali persoalan tersebut disederhanakan hanya sebagai akibat dari kesalahpahaman atau ketiadaan komunikasi," kata dia.
Padahal pendekatqn seperti itu, kata dia, justru berisiko menjadikan persoalan ini sebagai masalah yang sepele dan remeh, serta mengabaikan akar masalah yang serius.
3. Langkah pencegahan harus jadi prioritas serius

Maka, perlu ada langkah-langlah pencegahan yang jadi prioritas serius di setiap daerah, utamanya dalam mengembangkan ruang perjumpaan untuk mengenal dan mempertemukan komitmen menghargai keberagaman, dan penyelesaian persoalan tanpa kekerasan, tindakan main hakim sendiri, atau pelanggaran hukum.
Dahlia juga mengingatkan bahwa dalam catatan Komnas Perempuan dalam konteks terjadinya pelanggaran hak kebebasan beragama yang dihadapi oleh komunitas, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan dan terdepan menghadapi dampak dan trauma-trauma berkelanjutan.
"Dengan demikian, keseriusan setiap pemerintah daerah dalam memetakan potensi konflik dan benturan yang potensial terjadi tidak dapat ditawar ataupun ditunda," ujarnya.