Menteri PPPA Sesalkan Vonis 10 Bulan TNI yang Tewaskan Siswa SMP di Medan

- Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, saat MHS dan temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang. Dalam upaya pembubaran tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya Bintara Pembina Desa (Babinsa) hingga mengalami luka berat dan meninggal dunia.
- Menteri Arifah mengatakan pihaknya menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan peradilan militer.
- Namun tetap mendorong agar seluruh aparat penegak hukum menempatkan kepentingan
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyesalkan putusan majelis Hakim Pengadilan Militer I-02 Medan, yang hanya menjatuhkan vonis 10 bulan penjara pada Sertu Riza Pahlivi dalam kasus tewasnya pelajar 15 tahun berinisial MHS.
Arifah mengatakan setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi, dan harus diproses secara transparan, adil, dan memberikan efek jera yang setimpal.
"Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia," kata dia, Sabtu (25/10/2025).
1. MHS diduga dianiaya dan ditangkap

Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, saat MHS bersama temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang. Dalam upaya pembubaran tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya Bintara Pembina Desa (Babinsa) hingga mengalami luka berat dan meninggal dunia, meskipun MHS tidak terlibat tawuran. Ibu MHS kemudian melapor ke Detasemen Polisi Militer I/5 dengan nomor laporan TBLP-58/V/2024.
Setelah lebih dari satu tahun proses hukum berjalan, Pengadilan Militer menjatuhkan vonis pada pelaku pada 20 Oktober 2025 dengan hukuman pidana penjara 10 bulan, dan pembayaran restitusi Rp12.777.100 (Rp12,7 juta). Hukuman pidana ini lebih ringan dari ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 76C jo Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, tentang Perlindungan Anak, yaitu 15 tahun penjara.
2. Tetap mendorong pertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak

Arifah mengatakan pihaknya menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan Peradilan Militer. Namun tetap mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak, sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan.
"Terlebih, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan Militer,” kata dia.
3. Desak oditur militer banding demi keadilan korban anak

Arifah mendorong Oditur Militer mengajukan upaya banding dan Mahkamah Agung, untuk melakukan pengawasan terhadap putusan tersebut melalui mekanisme hukum yang berlaku, agar putusan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
Selain itu, Arifah mengajak seluruh pihak, termasuk institusi TNI, lembaga peradilan militer, dan aparat penegak hukum lainnya, untuk memperkuat koordinasi, memastikan setiap bentuk kekerasan terhadap anak dapat ditangani transparan, profesional, dan berperspektif korban.
“Kami berkomitmen terus memantau proses hukum kasus ini dan memastikan hak-hak keluarga korban, termasuk pemenuhan restitusi, pendampingan psikologis, dan jaminan atas rasa aman,” kata dia.
















