Cerita Bupati Aceh Tamiang Pernah Laporkan Potensi Banjir Tapi Tak Direspons

- Laporan yang disampaikan sebelum bencana, Aceh Tamiang disebut daerah rawan banjir
- Laporan tak kunjung dijawab sampai bencana benar terjadi
- Upaya Aceh Tamiang dalam mengatasi situasi krisis saat bencana
Jakarta, IDN Times - Sebulan setelah bencana banjir dan longsor menimpa 3 provinsi di Pulau Sumatra, kondisi di Aceh belum sepenuhnya pulih. Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi mengungkapkan, sebelum bencana terjadi pada 25 November 2025, dia sudah melaporkan mengenai perlunya pengelolaan sungai di wilayahnya untuk mencegah terjadinya banjir besar.
"Saya sampaikan pada saat saya menjadi bupati saya sudah melaporkan, bagaimana supaya sungai ini bisa dikendalikan, bisa dimanajemeni, bagaimana supaya tidak menjadi suatu banjir yang besar," kata Armia dalam wawancara khusus bersama Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis di Aceh Tamiang, yang ditayangkan di Youtube IDN Times, Minggu (28/12/2025).
Namun, kata Armia, peringatan dan permintaan untuk mengelola Sungai Tamiang yang menjadi salah satu sumber kehidupan masyarakat, agar tidak menyebabkan banjir besar, belum mendapatkan jawaban sampai akhirnya bencana melanda.
1. Laporan disampaikan karena wilayah Aceh Tamiang sering dilanda banjir

Armia menyatakan, laporan tersebut disampaikan untuk antisipasi potensi bencana, mengingat wilayah Aceh Tamiang merupakan dataran rendah yang setiap tahunnya sering dilanda banjir. Bahkan dalam setahun bisa 4 kali banjir.
Adapun sumber utama air Sungai Tamiang berasal dari dua kabupaten tetangga yaitu kabupaten Aceh Timur dan Gayo Lues. Sehingga menurutnya, hal tersebut memerlukan intervensi dan pengelolaan yang lebih serius.
"Apakah nanti sana dibuat bendung atau bendungan atau sodetan-sodetan. Pokoknya ini kita minta supaya ada dari pemerintah pusat atau pemerintah provinsi," ujarnya.
2. Situasi parah Aceh Tamiang saat awal bencana sempat tak termonitor posko provinsi

Namun, ungkap Armia, laporan tersebut tak kunjung mendapat jawaban sampai akhirnya bencana terjadi. "Itu belum terjawab, sudah terjadi bencana alam," lanjutnya.
Armia mengungkapkan, saat bencana melanda, komunikasi dengan pihak luar terputus total, sehingga situasi parah di Aceh Tamiang awalnya tidak termonitor oleh posko bencana provinsi. Kondisi ini mengakibatkan penyaluran bantuan logistik dan dukungan terlambat.
"Kita tidak termonitor. Karena memang komunikasinya terputus. Kalau kita lihat dari atas pesawat, itu hanya air saja yang kelihatan. Kalau dari bawahnya sudah korban-korban," ujarnya.
3. Semua warga Aceh Tamiang terdampak banjir

Selama masa kritis tersebut, Armia menjelaskan, ia dan jajarannya mengambil inisiatif lapangan. Mereka melakukan upaya penyelamatan dengan perahu meskipun dihantam arus deras, mendistribusikan logistik seadanya, dan akhirnya berhasil melapor via radio amatir setelah menemukan sinyal.
Menurutnya, laporan langsung via radio itulah yang kemudian membuka akses bantuan lebih besar dari BNPB dan pihak lainnya.
"Saya punya penduduk 310 ribu jiwa, semua terdampak banjir. Mohon bantuan," ucapnya saat melaporkan bencana tersebut ke BNPB.















