CGV Cinema dan Komitmen Jadi Rumah Bagi Film Korea-Indonesia

- Populasi Indonesia yang jumlahnya terbesar keempat di dunia turut menjadi alasan CGV Cinema investasi di Indonesia.
- CGV bisa lebih optimalkan layar untuk film Indonesia
- Kultur Indonesia memiliki kemiripan dengan Korea Selatan
Jakarta, IDN Times - Situasi di CGV Cinema di sebuah pusat perbelanjaan mewah di kawasan Jakarta Pusat, terlihat ramai, Jumat, 26 Desember 2025. Warga Jakarta memanfaatkan waktu libur akhir tahun untuk menikmati sejumlah film di jaringan bioskop asal Korea Selatan itu.
Salah satu film yang ramai ditonton adalah "Agak Laen 2". Berdasarkan data dari rumah produksi Imajinari, film ini sudah mencapai 9 juta penonton.
Besarnya jumlah penonton film di Tanah Air pula yang menjadi alasan CJ CGV mengakuisisi Blitz Megaplex. Selain itu, CGV juga bisa memiliki jaringan bioskop yang sudah berjalan dan tersebar di banyak kota.
Senior Manager CGV, Kim Sun-cheol, mengatakan populasi Indonesia yang jumlahnya terbesar keempat di dunia turut menjadi alasan. Jumlah penduduk Indonesia kini mencapai lebih dari 285 juta.
"Median usia penduduknya juga muda. Rata-rata berusia 30 tahun. Mereka rata-rata lahir dari 1980-an hingga awal 2000," ujar Kim ketika berbicara di lokakarya program Indonesian Next Journalist Network on Korea oleh Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation pada awal Desember 2025 di Jakarta Selatan.
Jumlah penduduk muda yang besar itu juga ditopang realita tingginya pengguna internet di Tanah Air. Angkanya mencapai 230 juta pengguna, di mana lebih dari 90 persen di antaranya merupakan pengguna aplikasi pesan pendek WhatsApp.
Selain itu, kelompok kelas menengah Indonesia, kata Kim, juga meningkat. Dengan begitu, lebih banyak konsumen yang mampu untuk menikmati hiburan lewat platform Over The Top (OTT).
1. Kemunculan gelombang Korea di Indonesia

Kim juga menjelaskan awal mula kemunculan gelombang Korea atau Hallyu di Indonesia. Gelombang Korea itu tidak langsung meledak di film, tetapi lewat drama televisi. Sejumlah judul seperti Endless Love, Winter Sonata hingga Full House ternyata digemari publik di Tanah Air pada 2002 hingga 2005.
Dari sana, penonton Indonesia mulai mengenal aktor-aktor Korea Selatan. Selain itu, publik di Tanah Air juga terbiasa dengan gaya tutur aktor Korsel yang cenderung emosional, lambat, dan humanis.
Dalam fase lanjut Hallyu, Korea tidak hanya mengekspor produk jadi, tetapi juga hak adaptasi (IP/Format). Hal ini membuat film Korea dapat diadaptasi sesuai konteks lokal, termasuk Indonesia.
Kim kemudian menyebut sejumlah film Indonesia yang merupakan adaptasi dari Korea. Mulai dari Sunny yang diadaptasi menjadi film Bebas, Miracle Cell No. 7 yang diadaptasi dengan judul yang sama, hingga Pawn yang diadopsi dengan judul Panggil Aku Ayah.
"Film Sunny ditonton oleh lebih dari 7,4 juta orang yang kemudian diadaptasi menjadi film Bebas dan tayang pada 2019," kata Kim.
Namun, film itu hanya meraih 513.521 penonton di Tanah Air. Meski tidak sebanyak penonton di Korea Selatan, tetapi angka tersebut jadi indikator antusiasme dari penonton Indonesia.
Film adaptasi lainnya yakni Miracle Cell No. 7 mendapat antusiasme luar biasa dari penonton di Tanah Air. Ketika tayang pada 2022, film yang disutradarai Hanung Brahmantyo itu ditonton 5,8 juta orang. Sedangkan, film aslinya ditonton 12,8 juta penonton.
"Film-film itu menjadi contoh bagaimana Korea Selatan dapat berkolaborasi dengan Indonesia. Film-film terbukti sukses menyentuh sisi emosi para penonton," tutur dia.
2. Film Exhuma sangat populer di Indonesia

Kim pun menunjukkan film Korea Selatan lainnya yang mendapat sambutan positif dari penonton di Tanah Air, yakni Exhuma. Film yang tayang pada Februari 2024 itu ditonton 2,3 juta orang di Indonesia.
"Film Exhuma ini merupakan film Korea terlaris sepanjang masa di Indonesia. Sampai reporter-reporter dari Korea untuk mencari tahu kenapa sih film ini bisa benar-benar besar," ujar Kim.
Ia mengatakan pembuat film Exhuma tidak berencana menayangkan film tersebut di Indonesia. Itu semua terjadi tiba-tiba. Produser film itu pun terkejut Exhuma bisa booming di Tanah Air.
"Kultur yang ditampilkan di film itu memiliki resonansi atas kultur yang ada di Indonesia. Apalagi publik Indonesia kan suka film horror," tutur dia.
Prosesi pemakaman jenazah di film Exhuma juga memiliki kemiripan dengan kultur di Indonesia. Sebab, jenazah di film itu dikebumikan dan bukan dikremasi.
"Di film itu, prosesi pemakaman jenazah juga dilakukan secara cepat. Hal itu mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Pemeluk agama Islam yang mayoritas di Indonesia kan akan langsung memakamkan jenazah orang yang meninggal," katanya.
3. CGV bisa lebih optimalkan layar untuk film Indonesia

Sementara, dalam pandangan peneliti budaya populer, Hikmat Darmawan, keberadaan jejaring bioskop jelas memberikan kontribusi bagi film-film Indonesia agar dinikmati lebih banyak penonton. Meskipun pangsa pasar CGV Cinema hanya 25 persen dari jaringan bioskop raksasa, XXI.
"Tapi, CGV could do much better. Salah satunya dengan menjadi kompetitor sehat," ujar Hikmat ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (29/12/2025).
Apalagi, kata dia, industri perfilman Indonesia tengah naik daun. Kinerja positif itu sudah terlihat sejak kuartal I 2025. Hal itu salah satunya terbantu momentum Lebaran. Tren perfilman Indonesia, kata Hikmat, tergolong baik. Sebab, diversifikasi genre makin bervariasi.
Film Indonesia tidak hanya horor tetapi juga film keluarga. Salah satu film Indonesia yang sukses adalah Jumbo yang diproduksi Visinema Pictures dan disutradarai Ryan Adriandhy. Hingga akhir penayangannya, Jumbo telah ditonton lebih dari 10 juta orang di bioskop Indonesia.
"Pada saat bersamaan, film Norma: Antara Mertua dan Menantu itu benar-benar flop (gagal). Padahal, menjual sensasi (yang selama ini disukai). Itu tidak sesuai perkiraan, padahal sudah dimainkan oleh bintang-bintang besar," katanya.


















