Pemred Tempo: Gugatan Rp200 Miliar Mentan Amran Ancam Kebebasan Pers

- Sengketa pers baiknya diselesaikan di Dewan Pers bukan pengadilan
- Undang-Undang Pers mengatur ketidakpuasan dan kekeliruan media dimediasi melalui Dewan Pers.
- Aksi solidaritas hari ini tidak untuk menghalangi pejabat publik menggunakan haknya menggugat ke pengadilan.
- AJI mewanti-wanti gugatan serupa juga bisa terjadi ke media manapun
- Gugatan sebesar Rp200 miliar merupakan bentuk upaya pembungkaman dan pembangkrutan media.
- Gugatan ini tidak hanya mengancam Tempo, tetapi juga berbahaya bagi kebebasan pers secara umum.
Jakarta, IDN Times - Pemimpin redaksi Tempo, Setri Yasra, mengucapkan terima kasih kepada komunitas wartawan yang ikut melakukan aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (3/11/2025). Hari ini digelar sidang lanjutan gugatan perdata Menteri Pertanian Amran Sulaiman melawan Tempo.
Amran memprotes motion graphic berita harian Tempo edisi 16 Mei 2025 dengan judul 'Poles-Poles Beras Busuk'. Tidak tanggung-tanggung, Amran menuntut Tempo untuk membayar ganti rugi lebih dari Rp200 miliar karena dianggap merusak citra, reputasi dan nama baik Kementerian Pertanian.
Menurut Setri, gugatan Mentan Amran mencemaskan karena akan menjadi preseden ke depan bagaimana publik dan pejabat publik berhubungan dengan media. "Menteri Pertanian seharusnya memakai mekanisme sengketa pers di Dewan Pers jika tidak puas dengan sebuah pemberitaan. Begitu ia memakai mekanisme hukum lewat pengadilan, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tapi ketakutan bredel gaya baru," kata Setri di dalam keterangan tertulis pada hari ini.
Gaya tersebut dikhawatirkan akan terus meluas. Padahal, sudah ada Undang-Undang Pers yang dapat digunakan sebagai acuan.
1. Sengketa pers baiknya diselesaikan di Dewan Pers bukan pengadilan

Lebih lanjut, kata Setri, berdasarkan Undang-Undang Pers, sudah diatur ketidakpuasan dan kekeliruan media dimediasi melalui Dewan Pers. "Saya kira Indonesia termasuk maju dalam memperlakukan pers di era demokrasi dengan keberadaan Dewan Pers. Di sana lah semestinya sengketa pers diselesaikan," katanya.
Namun, ia menggarisbawahi bukan berarti aksi solidaritas hari ini digelar untuk menghalangi pejabat publik seperti Amran Sulaiman menggunakan haknya menggugat ke pengadilan. "Tetapi, preseden buruk penyelesaian sengketa pers secara otoritarian harus dihentikan," tutur dia.
Publik, kata Setri, berhak tahu bagaimana cara penyelesaian sengketa pers secara beradab di era demokrasi.
2. AJI mewanti-wanti gugatan serupa juga bisa terjadi ke media manapun

Lebih lanjut, protes serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida. Sengketa pers memiliki dua mekanisme penyelesaian, yakni melalui hak jawab atau hak koreksi, serta mediasi di Dewan Pers.
"Gugatan sebesar Rp200 miliar ini merupakan bentuk upaya pembungkaman dan pembangkrutan media," ujar Nany dalam orasi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari ini.
Ia menilai, gugatan ini tidak hanya mengancam Tempo sebagai institusi media, tetapi juga berbahaya bagi kebebasan pers secara umum.
"Hari ini Tempo yang digugat, tapi ke depan bisa saja gugatan serupa ditujukan kepada media lain yang mengkritik pemerintah," tutur dia.
3. Dewan Pers sudah menyatakan Tempo melanggar kode etik jurnalistik

Sementara, sengketa itu sudah dibawa ke Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menangani sengketa pers. Dewan Pers kemudian mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025. Dewan Pers menyatakan pemberitaan Tempo melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 (tidak akurat dan melebih-lebihkan) serta Pasal 3 (mencampur fakta dan opini yang menghakimi).
PPR tersebut merekomendasikan agar Tempo mengganti judul poster, meminta maaf, melakukan moderasi konten, dan melaporkan pelaksanaan rekomendasi kepada Dewan Pers. Tempo telah memenuhi rekomendasi tersebut dalam batas waktu 2X24 jam.
Namun, Amran tetap mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL. Amran menilai Tempo tetap melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian materiil dan imateriil bagi Kementerian Pertanian.


















