Perempuan Jaga Indonesia Sampaikan 45 Tuntutan Perubahan Struktural

- Perempuan Jaga Indonesia menuntut lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam manifesto 45 Tuntutan Perempuan Indonesia.
- Mereka menuntut kuota anggota legislatif 50 persen di parlemen, reformasi partai politik, legislasi pro gender, revisi UU diskriminatif, serta anggaran negara yang adil bagi gender, sosial, dan lingkungan.
- Alokasikan 30 persen APBN untuk kesetaraan gender, kembangkan ekonomi non-ekstraktif dan hijau, reformasi agraria berperspektif perempuan, lindungi pekerja, hentikan kriminalisasi aktivis, serta prioritaskan keamanan sipil berbasis HAM.
Jakarta, IDN Times - Jaringan relawan perempuan bernama Jaga Indonesia mendorong adanya perubahan dari tiga lembaga Indonesia yakni legislatif, eksekutif, hingga yudikatif. Mereka menyoroti berbagai hal, mulai dari kesetaraan gender di berbagai bidang, mulai dari politik hingga kesehatan, reformasi Polri dan gaji DPR, hingga alokasi ekonomi yang berprespektif gender.
Dari keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Kamis (18/9/2025), total ada 45 tuntutan untuk Indonesia yang adil dan setara, semua tercatat dalam manifesto politik untuk Indonesia yang adil dan setara.
"Kami, Perempuan Indonesia, berdiri atas kesadaran sejarah, bangkit dari luka diskriminasi dan subordinasi, dan bergerak dengan daya jiwa dan cinta bangsa. Kami menuntut perubahan struktural di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, agar Indonesia tidak lagi dikuasai ketidakadilan, melainkan menjadi rumah yang setara bagi semua, tempat Pancasila hidup, bernafas, bekerja dan mewujud," tulis Perempuan Jaga Indonesia (PJI), dalam dokumen manifestonya.
1. Ada 15 tuntutan perempuan pada DPR

Kepada lembaga legislatif, Perempuan Jaga Indonesia menuntut adanya afirmasi kuota 50 persen di parlemen, pimpinan, dan alat kelengkapan dewan. Perspektif Pancasila dan SDGs, khususnya keadilan gender, sosial, dan lingkungan, harus diintegrasikan dalam fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan diplomasi. Kaukus Perempuan Parlemen (KPPRI) di DPR, DPD, MPR, dan DPRD diberi otoritas sebagai penggerak arus utama gender.
Kemudian anggaran negara perlu berpihak pada keadilan gender, sosial, dan lingkungan. Partai politik juga harus direformasi dengan tata kelola yang responsif gender. Akses masyarakat, terutama perempuan, ke anggota DPR dan gedung parlemen harus dipermudah demi partisipasi bermakna dalam penyusunan undang-undang. UU Minerba harus direvisi untuk menghentikan ekstraktivisme, sementara UU Ciptaker dicabut.
Selain itu, mereka juga meminta UU Pendidikan dan Kesehatan direvisi agar pendidikan gratis guna menghapus ketimpangan gender. RUU Kesetaraan Gender, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, RUU Sistem Penggajian Nasional, RUU PPMI, dan RUU Penghilangan Orang harus segera disahkan dengan meratifikasi ICPED.
UU perpajakan juga perlu direformasi dengan sistem pajak progresif. Begitu juga UU keamanan juga agar direvisi supaya TNI-Polri tunduk pada sipil dan kuota 30 persen perempuan diterapkan. DPR harus mendukung pemberantasan korupsi, mereformasi pendapatan agar lebih adil, menghapus tunjangan reses, dan merevisi UU Pemilu menjadi sistem campuran yang menjamin keterwakilan perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan.
2. Dorongan tuntutan pada lembaga eksekutif

Sementara dari sisi lembaga eksekutif, mereka meminta tuntutan di beberapa bidang, mulai dari ekonomi, fiskal, dan moneter. Hal itu mencakup tuntutan alokasi minimal 30 persen APBN/APBD untuk pembangunan berperspektif kesetaraan gender, keadilan sosial, dan lingkungan, dengan keterlibatan perempuan sebagai perencana, pelaksana, dan penerima manfaat. Pendidikan HAM dan kesetaraan gender wajib masuk kurikulum, termasuk kedinasan dan TNI/Polri, serta pembentukan unit penanganan TPKS di seluruh lembaga.
Pajak kekayaan dan pajak karbon dikembangkan untuk fiskal berkeadilan, sementara tata kelola sumber daya alam (SDA) dibenahi agar menjadi penopang pendapatan negara. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mewajibkan perbankan memberi prioritas kredit bagi UMKM perempuan, khususnya PEKKA, dengan strategi pembangunan berbasis bottom-up. Ekonomi negara diperkuat dari sektor non-ekstraktif seperti pariwisata berkelanjutan, teknologi, ekonomi kreatif, restoratif, dan regeneratif, disertai pengurangan utang luar negeri.
Reforma agraria dan perhutanan sosial juga harus peka gender, memberi hak atas tanah dan kebijakan pertanian untuk perempuan. Revitalisasi pangan lokal berbasis pertanian kecil, pembangunan industri hijau, serta pengalihan subsidi fosil ke energi bersih perlu dilakukan. Kebijakan upah layak nasional, pengakuan kerja perawatan, penghapusan diskriminasi gender dan usia, penghentian outsourcing, serta penyediaan ruang laktasi dan penitipan anak harus dipenuhi.
Sedangkan di sisi hukum dan keamanan, negara dituntut melakukan reformasi Polri yang diperlukan dengan karakter sipil, unit gender di semua daerah, perekrutan Polwan 30 persen, serta menghapus hukuman mati. Kriminalisasi aktivis dan pasal karet harus dihentikan, sementara sistem hukum ramah korban, bantuan hukum, dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM dan bencana wajib dijalankan. Keamanan sipil dan kelompok rentan diprioritaskan, bukan militerisme, termasuk di Papua. Perempuan wajib dilibatkan dalam musrenbang dan perundingan damai.
Dari sisi sosial, lingkungan dan lainnya, Perempuan Jaga Indonesia minta adanya care economy ditetapkan sebagai prioritas nasional, perlindungan digital bagi perempuan dan kelompok rentan dijamin, SDA harus dikelola komunitas, dan transisi energi berkeadilan dengan keterlibatan perempuan di garis depan.
3. Tuntutan pada lembaga yudikatif

Sementara, untuk tuntutan yudikatif, mereka mendorong keterwakilan 50 persen bagi hakim agung dan hakim konstitusi, serta pembentukan peradilan khusus gender dan anak di seluruh provinsi. Mekanisme peradilan harus ramah korban kekerasan seksual, KDRT, dan kekerasan berbasis gender lainnya. Rekrutmen hakim dan jaksa wajib transparan dan bebas nepotisme, dengan pertimbangan keadilan gender dalam setiap putusan.
KPK dan Komisi Yudisial (KY) harus diperkuat untuk memberantas mafia hukum, termasuk revisi UU KPK, demi independensi. Lembaga pemasyarakatan perlu ditransformasi berbasis rehabilitasi. Perlindungan hukum bagi aktivis HAM, perempuan, pejuang lingkungan, dan kelompok rentan ditegakkan. Selain itu, hak konstitusional perempuan diakui MK, dan digitalisasi peradilan diwajibkan untuk transparansi publik.