[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah Gagal

Ke mana langkah politik Tsamara Amany jelang Pemilu 2024?

Jakarta, IDN Times - Ketika Tsamara Amany memilih hengkang dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) jelang Pemilu 2024, publik pun ramai berspekulasi bahwa partai yang membawa ciri anak muda itu bakal goyang. Apalagi langkah Tsamara itu diikuti oleh dua pentolan PSI lainnya, Rian Ernest dan Michael Sianipar.

Tsamara mengakui proses negosiasi untuk bisa keluar dari PSI sudah dimulai sejak Oktober 2021 lalu. Namun, publik baru melihatnya keluar pada April 2022. Sehingga, ia menepis ada masalah di tubuh PSI sehingga memicunya keluar dari parpol yang kini dipimpin oleh Giring Ganesha itu. 

"Aku sudah berada dalam satu keyakinan dan keputusan bahwa chapter bersama ini sudah harus berakhir aja. Jadi, sudah waktunya move on," ungkap Tsamara dalam wawancara khusus di program Ngobrol Seru by IDN Times yang tayang di Instagram beberapa waktu lalu. 

Rian dan Michael, kata Tsamara, memilih keluar dari PSI dengan alasan yang berbeda-beda. Sehingga, ia menepis ada polemik tertentu di dalam tubuh partai itu. 

Kehadiran Tsamara di dunia politik Tanah Air menjadi oase dan harapan di Pemilu 2019 lalu. Sebab, ia memutuskan maju jadi calon anggota legislatif di usia yang baru 20 tahun. Perempuan lulusan master dari Universitas New York itu, juga bertarung di dapil DKI Jakarta II, daerah pemilihan yang sangat sengit.

Hasilnya, ia berhasil meraih hampir 141 ribu suara dan sebenarnya bisa melenggang ke Senayan. Namun, PSI tak mampu mendapatkan suara tinggi di tingkat nasional. Maka, Tsamara pun gagal lantaran terbentur aturan parliamentary treshold. Artinya, PSI minimal harus mampu meraup 4 persen suara di tingkat nasional baru dapat mengirimkan kadernya ke Senayan.

Kini jelang Pemilu 2024, Tsamara terlihat kerap mendampingi Menteri BUMN Erick Thohir di sejumlah acara. Nama Erick kerap masuk ke dalam sejumlah lembaga survei sebagai kandidat bakal capres atau cawapres. 

Apakah Tsamara kini ditarik untuk menjadi salah satu anggota tim sukses Erick untuk maju di Pemilu 2024? Apa pengalaman berharga yang ia dapatkan ketika terjun ke politik praktis di usia yang masih sangat muda? Simak wawancara khusus IDN Times bersama Tsamara berikut ini.

Pada Pemilu 2019 Tsamara maju sebagai caleg di usia yang sangat muda, 20 tahun. Tetapi gagal ke Senayan karena terbentur aturan parliamentary treshold meski meraih 140.557 suara. Apa masih merasa kecewa hingga kini?

Kecewa pasti ada lah. Pasti ada kekecewaan. Kecewanya bukan karena tidak bisa duduk di DPR-nya, tetapi lebih karena saat masa kampanye kita bertemu dengan berbagai macam orang. Mulai dari diaspora di luar negeri, masyarakat-masyarakat di bawah di Jakarta, komunitas-komunitas di Jakarta. 

Setiap kali ketemu mereka itu, selalu ada amanah, pesan, harapan yang dititipkan nanti kalau duduk di DPR, tolong berbuat ini ya. Setelah mereka memberikan suaranya dan memilih kita, tetapi kita gak bisa duduk di DPR dan merealisasikan harapan itu, lebih di situ sih kekecewaannya. 

Baca Juga: 7 Fakta tentang Tsamara Amany yang Dikabarkan Keluar dari PSI

Masih ingat, waktu itu aspirasi soal apa yang paling banyak dititipkan oleh konstituen?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah Gagal(Politisi muda Tsamara Amany) www.instagram.com/@tsamaradki

Jadi, kalau masyarakat di luar negeri, diaspora banyak yang merasa aspirasinya tidak terwakili termasuk pekerja migran. Salah satu yang aku tawarkan dulu adalah pemisahan dapil (daerah pemilihan) antara Jakarta dengan luar negeri. Kenapa? Karena orang di Jakarta memiliki kepentingan berbeda dengan di luar negeri. 

Kalau pemilih di luar negeri, isunya jaminan keselamatan (security) untuk para pekerja migran, isu dwi kewarganegaraan. Sementara, kalau di Jakarta lebih kepada isu keseharian di Jakarta. 

Mungkin kalau untuk masyarakat yang di bawah banget lebih kepada Kartu Jakarta Pintar, mendorong lebih banyak rumah aspirasi agar mereka bisa lebih banyak mengadu. Gak ada aspirasi spesifik sih yang diharapkan dari anggota dewan. Mereka hanya berharap didengarkan, gak ditinggalin oleh anggota dewan. Itu yang aku janjikan waktu itu.

Meski secara konstitusional dan jabatan, itu lebih kepada tugasnya anggota DPRD, tetapi kan sebagai anggota DPR kalau bisa bantu, pasti kita akan bantu. Setiap aspirasi beda-beda, karena dapil aku tuh luas banget.

Pelajaran apa yang diperoleh terjun ke politik praktis dan nyaleg di usia 20 tahun?

Yang paling jelas sih, kalau dari proses politiknya sendiri, intinya sih gak ada 100 persen seperti apa yang tampak. Jadi, apa yang tampak di politik belum tentu aslinya seperti itu. 

Orang kan banyak berharap ketika seseorang masuk ke dunia politik menjadi 100 persen idealis. Tapi, setelah aku terjun ke dunia politik menjadi idealis dan gak mau berkompromi, justru berpotensi tidak bisa merealisasikan janji-janji mereka ketika terpilih. 

Saya gak bilang orang harus jadi korup dan pragmatis ya ketika masuk di dunia politik. Gak dong, harus tetap ada prinsip yang dipegang. Harus ada batasan-batasannya, apakah antikorupsi, gak boleh seksis, gak main duit, tetapi menjaga kebinekaan. Itu prinsip. Tetapi, ada pragmatisme, ada negosiasi, lobi, kompromi yang harus diberikan dan diterima untuk kita merealisasikan setiap janji. 

Misalnya, kita memperjuangkan pada 2019 RUU Penghapusan Tindak Kekerasan Seksual (UU TPKS), sekarang kan undang-undang itu sudah sah. Tapi, untuk itu terjadi, pasti ada negosiasi, pragmatisme, kompromi. Kalau kita cuma idealis dan berharap orang melakukan apa yang kita minta hanya karena kita percaya, itu malah gak kejadian. 

Jadi, apa pelajaran yang aku pelajari di dunia politik, mungkin di politik kita butuh kemampuan sedikit fleksibel.

Berarti, ketika menjadi politisi, kita gak bisa 100 persen be ourself ya? Justru, menjadi politisi idealis malah sulit beradaptasi?

Iya sih, aku pikir pada akhirnya, ya sebenarnya kita pengen setiap perkataan dan perbuatan itu sama. Tapi, kita sering berjanji apa, namun proses politiknya bisa jadi mengkhianati kita. 

Ketika seseorang gak bisa merealisasikan sebuah janji, aku gak langsung bilang bahwa orang ini gak bagus. Bukan karena dia gak mau merealisasikan janji, tapi bisa jadi proses politiknya gak membantu dia melakukan itu. 

Pernah punya pengalaman pahit gagal jadi anggota DPR, apakah kini antipati terhadap dunia politik?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah GagalTsamara Amany (kiri) bersama politikus Partai Gerindra Rahayu Saraswati dalam sebuah diskusi. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Aku gak antipati atau alergi ke politik. Kalau mau marah-marah dan menyalahkan sistemnya bisa aja. Aduh, gimana sih kok sistem konstitusi kita malah membuang suara rakyat. 

Tapi, kita kan juga berada di dalam sistem itu, jadi harus gentle, tetap partisipatif di dalam sistem itu dan mengakui bahwa kita memang kalah di dalam sistem yang telah disepakati bersama. Ya, udah akui aja. 

Menurut aku kalau kita marah-marah dan nyalah-nyalahin, itu artinya kita gak gentle dan mengakui bahwa kita kalah. Orang bisa bilang ‘wah, Tsamara kamu hebat karena dapat raihan suara segala macam’, tapi pada kenyataannya kalah. Jadi, gak bisa diputer-puter lalu jadi menang. Udah kalah, ya kalah aja. 

Jadi, aku gak merasa karena kalah lalu marah, kesal dan sama sekali tidak mau lagi ada di politik. Itu gak aku rasain. Kalau misalnya ada di fase-fase hidup, aku tuh udah masuk ke fase acceptance

Jadi, ini sekaligus pesan juga bagi politisi muda yang baru kali pertama terjun di dunia politik, bahwa harus siap dengan konsekuensi ada peluangnya mereka kalah?

Bener, itu bener banget. Aku pikir, satu atau dua minggu sebelum pemilihan, aku sudah punya feeling bahwa suaraku akan tembus tapi kita gak akan lolos ke DPR. Tapi, aku kan gak berhenti blusukan. Ya, kita harus gentle dan menuntaskan proses kampanye. Melakukan yang kita bisa. 

Kalau ya kita kalah, gak apa-apa. Tapi, kita kalah dengan cara yang terbaik yang mampu kita berikan. 

Adakah pengalaman sebagai politisi muda diremehkan oleh politisi yang jauh lebih senior?

Aku pikir sering banget. Artinya, kalau diremehkan, dianggap tidak bagus dan segala macam itu sudah sering banget. Kan di politik itu ada orang-orang yang sudah lama dan lebih dulu di politik. 

Mereka menganggap bahwa mereka yang paling ngerti politik dan kita-kita yang muda-muda gak ngerti sama sekali dengan politik. Mereka berpikir kita harus diajari dan segala macam. Dalam menghadapi orang seperti ini, menurutku pilihannya hanya dua.

Pertama, ribut sama mereka atau marah, nyalah-nyalahin mereka untuk bisa keluar dari sistemnya. Atau kedua, kita coba mencari cara, menjadi orang yang cerdik, cerdas atau kita memahami permainan ini, agar bisa diterima di dunia politik. 

Jadi, ya lama-lama ketika mulai make sense, rasional dan mampu menempatkan diri, mereka mulai respect kok ke kita. Aku merasakan banget dulu ketika baru terjun ke politik praktis, mereka mempertanyakan aku ini siapa. 

Setelah, mereka tahu perolehan suaraku bagus, cara mereka memandangku itu berbeda. Karena buat mereka, orang ini sudah teruji karena bisa bertarung. Ketika kita berhasil bisa bertarung, maka cara mereka melihat kita sudah berbeda. 

Apakah previllege di dunia politik, bahwa terlahir dari keluarga politisi sangat membantu bagi politisi muda meraih kursi di parlemen?

Aku pikir pasti lah ada efeknya. Setiap anak dari dinasti politik atau anaknya siapa sangat berpengaruh, bukan hanya dari segi nama tapi juga dari segi resources. Karena banyak anak muda yang kali pertama mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, mereka tak memiliki dana untuk berkampanye.

Anak-anak muda yang gak bisa berkampanye ini dibandingkan anaknya siapa punya dana cukup besar otomatis bisa jadi jomplang. Karena mau kita elak gimana juga, politik kita membutuhkan banyak biaya. Mulai dari cetak spanduk, kaos, mendatangi orang. 

Kalau misalnya anak-anak unprevillege gak diberikan kesempatan, bantuan dana, udah pasti mereka gak akan pernah menang melawan anak-anak muda yang punya previllege ini. 

Boleh dibocorkan berapa kisaran modal kampanye yang dikeluarkan saat maju nyaleg di 2019 lalu?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah Gagalinstagram.com/tsamaradki

Aku gak besar kok waktu itu (dana kampanye). Untuk ukuran di Jakarta dan first timer, itu gak besar. Aku pikir di Jakarta waktu itu di angka Rp4 - Rp5 miliar. Tapi, itu fund raising ya, bukan duit aku sendiri. 

Meski Anda katakan itu besar ya, tapi saya tahu ada caleg-caleg lain yang mampu mengeluarkan dua hingga tiga kali lipat dari yang saya keluarkan. 

Apakah biaya kampanye yang besar sering jadi penyebab pejabat publik terjebak di lingkaran korupsi?

Aku pikir sih iya. Ada persoalan dalam cara kita memandang sumbangan politik. Pertama, gini, banyak orang-orang yang menyumbang kepada kita kadang-kadang ketakutan juga. Sering kali gak mau declare kalau sudah ikut menyumbang. 

Kalau (laporan) ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), kita semua sih rapi. Terlihat siapa yang menyumbang, itu jelas. Tapi, untuk declare ke publik bahwa ikut menyumbang ke salah satu kandidat mereka gak mau. Karena takut terafiliasi dengan kandidat politik di Indonesia. 

Beda dengan kultur-kultur di Amerika Serikat, orang justru secara terang-terangan mengaku menyumbang bagi kandidat tertentu. Bahkan, yang menjadi donatur itu perusahaan.

Hal lain juga di Indonesia, kalau kandidat caleg atau capres terkesan gak boleh minta sumbangan. Bila meminta sumbangan maka dilabeli jelek. 

Coba deh kalau kita lakukan open donation kepada semua orang di Indonesia, berapa banyak yang mau menyumbang. Bisa dibilang sedikit banget. Makanya, platform-platform donasi selalu menyebutkan 'tidak menerima donasi politik'. Karena apa? Terkesan sudah jelek kalau menerima sumbangan politik. 

Jadi, kultur kita untuk menyumbang terhadap kandidat yang maju nyaleg atau nyapres gak ada dan itu yang membuat jadi buruk. Kenapa? Karena utang budi orang-orang ini akhirnya kepada sedikit orang. 

Kalau misalnya fund raising lalu ketemu orang-orang bagus, iya. Tapi, ada juga kalau paslonnya sudah all out, tapi gak punya patron yang memiliki idealisme dan ingin menggunakan paslon ini untuk kepentingan dia saja, itu kan jadi dagang di situ. 

Kalau dana yang digunakan dari dana pribadi, maka yang terjadi bukan lagi logika untuk mengabdi tapi logika politik. Mengeluarkan dana berapa miliar, setelah terpilih jadi anggota DPR, maka harus mampu mengembalikan berapa miliar. Ini yang membuat hal ini jadi benang kusut persoalan. 

Mengapa orang-orang di Indonesia masih segan menyumbang secara terbuka ke caleg atau capres?

Menurutku, karena overall persepsi orang terkait politik sudah kadung buruk aja. Di setiap lini, politisi di Indonesia sudah dicap buruk. Jadi, orang menganggap buruk atau bahaya bila dikait-kaitkan kepada satu atau dua orang politisi atau menjadi partisan. Jadi, sebaiknya dipikir jangan. 

Itu buruk banget. Ini terjadi sama temenku, dia punya ide bisnis bikin platform untuk orang-orang politik. Aku bilang kalau niatnya mau membantu ya bagus tapi kalau niatnya mau mengambil keuntungan dari situ, jangan harap. Kenapa? Karena begitu ada platform itu, orang belum tentu mau menyumbang. Hal ini juga sudah pernah aku lakukan di PSI. 

Yang menyumbang hanya sedikit. Artinya, banyak yang sudah diusahakan ketika itu. Tetapi, apakah itu cukup sampai kampanye dan membiayai proses kampanye, enggak. Emang orang takut aja kalau diafiliasikan dengan parpol, itu yang utama ya. 

Jadi, kalau mengajukan pinjaman ke bank, politisi itu termasuk golongan orang berisiko tinggi. 

Saat pilih hengkang dari PSI dan memperjuangkan isu perempuan dengan platform lain, memang isu itu tak bisa diperjuangkan di PSI?

Kalau aku ketika itu melihatnya harus cari perahu lain, dalam artian gak harus partai politik. Karena mungkin aku butuh tantangan di luar PSI. Jadi, aku menganggap sudah memberikan apa yang mampu aku berikan. PSI pun juga sudah banyak membantu. 

Aku sudah berada dalam satu keyakinan dan keputusan bahwa chapter bersama ini sudah harus berakhir aja. Jadi, sudah waktunya move on, aku gak mau meninggalkan isu-isu yang aku percaya dari awal. 

Isu-isu yang dekat di hati aku selain isu toleransi, antikorupsi, adalah isu-isu perempuan. Aku merasa real banget selama 5 tahun berada di politik. 

Jadi, aku mau keluar dan itu yang aku lakukan fokus di isu perempuan. Aku lagi bangun media yang memang lebih positif berbicara mengenai perempuan. Sekarang kita juga lagi fund raising untuk membantu korban-korban kekerasan seksual yang membutuhkan bantuan psikologis. Jadi, memang arahnya ke situ. 

Keputusan keluar dari PSI ternyata diikuti oleh dua politisi muda lainnya. Apa ada polemik di PSI?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah GagalIDN Times/GREGORIUS ARYODAMAR P

Kalau misalnya Michael dan Rian punya alasan masing-masing. Artinya, kita semua dekat, ngobrol, cerita-cerita lah, saling explore option, tapi alasan keluar dari PSI berbeda-beda satu dengan yang lain. 

Kalau aku, tadi kan seperti yang sudah dibilang, waktunya move on. Sementara, Rian Ernest kan merasa membutuhkan partai politik baru. Kalau Michael Sianipar, dia merasa suaranya lebih terwakilkan kalau pindah ke parpol lainnya.

Jadi, alasannya berbeda-beda. Kami tidak punya satu alasan tertentu yang membuat keluar (dari PSI) bersamaan. 

Ada isu keputusan keluar dikaitkan dengan rencana untuk deklarasi capres tertentu, apa itu benar?

Oh, kita harus bertanya siapa yang memainkan isu tersebut. Karena memang paling gampang melihat, membangun sebuah narasi, framing yang menguntungkan untuk kubu politik tertentu. Baik dari kubu yang merasa ditinggal, atau merasa diuntungkan kalau misalnya terus jadi percakapan. Mungkin itu lebih menguntungkan bagi kubu capres yang sudah dideklarasikan itu. 

Ya, kadang-kadang meski beda kubu tapi punya kesamaan kepentingan suka dimainkan isu itu. 

Jadi, sekarang akan ke mana? Apakah akan bergabung ke parpol lain atau membantu pejabat publik yang ikut berlaga di Pemilu 2024?

Kalau pindah ke partai politik baru belum kepikiran ya. Tapi, hubungan aku dengan semua partai politik baik ya. 

Seperti kemarin aku ketemu dengan Pak Zulkifli Hasan, hubungan kita bagus dan gak ada masalah, kemarin ketemu dengan Pak Erwin Aksa (Golkar), hubungan dengan semua parpol bagus. 

Tapi, bukan berarti aku gak berminat lagi ya di parpol. Kan kita gak ada yang tahu, makanya hubungan dengan semua parpol harus bagus. Yang penting memiliki relasi dengan parpol yang jelas dengan nilai-nilai kebangsaan kita. 

Nah, untuk 2024, aku pikir akan tetap terlibat secara politik, untuk pilpres pasti. Aku pasti akan all out untuk dukung capres dan cawapres di 2024 ini. 

Ini Pilpres aku sama sekali gak terlibat karena siapapun yang jadi presiden dan wakil presiden akan menjadi penentu. Kan Pak Jokowi sudah memulai sebuah era yang baik dan aku pikir kita perlu kontinuitas yang bagus. Makanya, aku mau all out mendukung keberlanjutan kita. 

Apakah keluar dari PSI karena ingin menjadi timses salah satu pejabat publik yang namanya masuk dalam bursa capres 2024?

Gak sih, aku keluar dari partai bukan karena itu. Aku keluar bukan karena ingin menjadi tim kampanye manapun. Artinya, aku keluar karena itu yang aku pikirkan sejak lama. Mungkin teman-teman media tahunya aku keluar dari PSI pada April 2022.

Tapi, aku negosiasi untuk keluar dari partai sudah sejak bulan Oktober 2021. Jadi, prosesnya sudah panjang dan lama. Jadi, sebelum bursa capres dan cawapres sepanas sekarang, aku udah kepikiran untuk keluar dari parpol. 

Bahwa, nanti aku mendukung seseorang, mungkin seseorang yang rambutnya putih berkerut di masa depan, itu bukan berarti aku keluar dengan alasan itu. Karena memang mau mendukung aja. Itu keniscayaan. 

Baca Juga: Dampingi Erick Thohir Kunker, Tsamara Amany Ikut Jadi Anggota Timses?

Atau mungkin sekarang bersama-sama di barisan pejabat yang tampilannya sering klimis, gunakan gel rambut dan ada di kabinet?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah GagalOOTD ala Tsamara Amany (instagram.com/tsamaradki)

Oh, itu belum tahu. Tapi, rambut putih dan rambut klimis bagus sih emang. 

Apakah cara politisi mengikuti tren saat ini seperti bermain lato-lato atau mengundang idol Korea Selatan, efektif menggaet pemilih muda?

Antara efektif dan enggak ya. Kalau cuma bermain lato-lato, appealing dengan K-Pop ya aku pikir akan menjadi perbincangan. Tapi, apakah terkonversi atau orang jadi tertarik untuk memilih jauh banget. 

Justru sebenarnya kalau dilihat di berbagai survei, apa sih yang menjadi concern mereka, kan berdasarkan survei di IDN Media juga, mereka kan lebih peduli terhadap isu lingkungan, toleransi. Jadi, kalau pengen menyasar anak-anak muda, generasi Z, ya harus menyasar ke isu-isu yang mereka peduli. 

Oh, orang ini kalau jadi, akan memperjuangkan isu-isu itu. Kalau main lato-lato ya iya sih lewat lalu dikasih like, tapi apakah bakal dipilih, kayaknya enggak deh. 

Yang kami khawatirkan kan justru konsultan politik yang dipakai dari kalangan boomer, jadi sama-sama gak ngerti. 

Apakah aspirasi pemilih muda benar-benar didengar oleh para politisi ini? Atau suara mereka hanya dijadikan komoditas agar menang pemilu?

Sebenarnya, itu tergantung, pemilih muda memilih mereka karena apa. Apakah kita memilih hanya karena kemakan dengan gimmick mereka, ya tentu (aspirasi) kita gak didengar. 

Tapi, kalau kita memilih mereka karena percaya dan fokus pada isu-isu sangat urgent, seperti isu lingkungan, pada akhirnya mau gak mau mereka memang harus melakukan itu. Kalau menurutku, politisi ini sangat peduli pada konstituennya, apalagi kalau mau pemilihan. 

Makanya, kita harus menggunakan logika yang sama dalam permainan ini. Kita harus mendorong mereka untuk membahas isu-isu yang jadi kepedulian anak muda, termasuk isu-isu perempuan, supaya mereka terpilih lagi. 

'Oh, kalau saya mau menang lagi, maka saya harus deliver nih dan bicara isu ini. Saya memang harus kerjakan program-program ini.' Meskipun mereka niatnya hanya pencitraan atau mau menang lagi tapi upaya menang laginya dengan cara-cara yang bermanfaat. 

Menurutmu, mengapa publik masih permisif dan tetap memilih caleg yang punya rekam jejak buruk?

[WANSUS] Tsamara Amany: Saya Tak Alergi Politik Meski Pernah GagalPolitikus muda Tsamara Amany usai menuntaskan pendidikan di New York University (NYU) pada Desember 2022. (www.instagram.com/@tsamaradki)

Itu sih emang butuh waktu ya. Aku selalu percaya bahwa negara, politisi merupakan representasi dari publiknya. Mereka bisa terpilih di situ karena kita yang memilih. 

Ini seperti chicken and egg, kayak ayam dan telur, mana yang duluan. Politisi mencari suara pemilih, tapi di saat yang bersamaan, politisinya juga harus yang bagus untuk kita. Masalahnya muter di situ aja. 

Sebenarnya, terlalu ambisius ya kalau ingin membabat satu generasi. Yang bisa kita lakukan itu cari potensi-potensi aja dulu, cari orang-orang bagus di daerah, satu dua orang aja. Cari orang bagus di tingkat nasional. 

Pelan-pelan kita pilih dia, support mereka, makin naik-naik terus jabatannya. Dengan cara-cara yang seperti itu, kita memberikan warna yang baik dalam politik kita sambil kita berharap akan muncul lagi orang seperti mereka secara terus menerus. 

Kalau mengharapkan perubahan mendasar, revolusi secara geneasi dalam satu kali pemilu, itu gak mungkin. Ini tuh benar-benar harus gradual (bertahap), gak bisa secepat itu. 

Yakin perubahan bertahap itu sudah mulai terlihat jelang Pemilu 2024?

Aku pikir sudah terlihat dari 2019 kemarin. Kita lihat kok mulai banyak orang yang bagus-bagus terpilih. Di berbagai partai politik, kalau kita melihat di DPR, itu ada orang-orang yang bagus. Buktinya kita dengan segala macam keburukan DPR yang kita anggap buruk segala macam, kita masih ada sesuatu yang sangat potensial yang bisa selebrasi bersama-sama yaitu pengesahan RUU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Jadi, sebenarnya selalu ada tuh nilai positif. Meskipun gak semuanya benar, tapi setiap kemenangan kecil ini kalau lama-lama ditumpuk, kan kemenangan besar itu juga akan kita raih. 

Mengapa persepsi pemilih muda tentang partai politik dan DPR cenderung buruk?

DPR itu sulit berada di level atas dan dipercayai, karena orang gak mengenal wakil rakyat mereka itu siapa. Kedua, representasi di media itu selalu buruk. DPR berantem, tidur ketika rapat, mengesahkan undang-undang tanpa transparansi, korupsi dan lain-lainnya. 

Berbagai macam berita buruk tentang DPR membangun persepsi bahwa DPR jelek banget. Karena persepsi yang dibangun mengenai DPR jelek banget, ya itu juga membentuk persepsi publik bahwa DPR itu buruk.

Kalau TNI sendiri kan berbeda dengan TNI di zaman Orde Baru. Mereka sudah tidak lagi masuk ke hal-hal yang ada sangkut pautnya sipil. Mungkin pembahasan media terkait TNI sangat terbatas, mungkin ketika isu seremonial, pergantian Panglima TNI dan lain-lain. 

Karena gak ada isu yang buruk (soal TNI), orang menganggap positif-positif saja mengenai TNI. 

Tapi, kegunaan media kan memberitakan apa yang faktual, benar, bukan kebohongan. Semua kan dikurasi kalau di media mainstream dan itu udah banyak. Media mainstream kan bisa membangun persepsi publik. Tetapi, persepsi publik yang dibangun berdasarkan fakta. 

Baca Juga: Tsamara Amany Umumkan Keluar dari PSI, Bukan Pindah ke Parpol Lain

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya