Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi: Sejarah Pemberontakan Awak Bumiputra

Potret De Zeven Provinciën 1933 (laststandonzombieisland.com)
Potret De Zeven Provinciën 1933 (laststandonzombieisland.com)

Jakarta, IDN Times - Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi atau dalam bahasa Belanda, Zeven Provinciën merupakan salah satu sejarah Indonesia yang terjadi pada 5 Februari 1933. Kala itu, terjadi peperangan di atas kapal angkatan laut Hindia Belanda di lepas pantai Sumatra, saat Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Peperangan muncul karena penurunan upah semua awak kapal. Alasannya karena Hindia Belanda ingin mengurangi defisit anggaran akibat depresi ekonomi yang melanda dunia.

Pemberontakan hebat dari awak kapal akhirnya memicu peperangan dengan pengeboman kapal dari pesawat angkatan laut Belanda. Peristiwa ini tidak hanya berpengaruh bagi Indonesia, melainkan Eropa dan Eurasia yang ada di bawah Hindia Belanda.

1. Peperangan terjadi karena terjadi pemotongan upah terus-menerus pada awak kapal

Potret Kapal Tujuh Provinsi (laststandonzombieisland.com)
Potret Kapal Tujuh Provinsi (laststandonzombieisland.com)

Pada 1 Januari 1933, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bonifacius Cornelis De Jonge mengumumkan kebijakan untuk mengurangi gaji awak Kapal Tujuh Provinsi sebesar 17 persen. Rupanya, pengurangan upah tersebut tidak hanya terjadi satu kali.

Pada 1 Juli 1931, pemotongan sebesar 5 persen sudah diterapkan lebih dahulu hingga 1932, bahkan pemotongan mencapai 10 persen. Terang saja, awak kapal geram karena pemotongan terus dilakukan hingga mencapai 17 persen.

Merasa tidak terima, awak kapal mulai melakukan peperangan. Pemberontakan terjadi di atas kapal De Zeven Provinciën atau Kapal Tujuh Provinsi, yaitu kapal perang milik pemerintah Hindia Belanda.

Mulanya, kapal tersebut dijadikan sebagai tempat karantina bagi marinir yang kurang cakap, termasuk awak dari Indonesia sempat mengisi kapal itu guna merefleksikan diri. Seorang ahli sejarah J.C.H. Bloom beranggapan, aksi tersebut terjadi secara spontan karena sikap buruk dari Angkatan Laut Belanda pada masa itu.

2. Awak kapal bumiputra terus melakukan perlawanan hingga pesawat Belanda menjatuhkan bom

Potret awak kapal di Kapal Tujuh Provinsi (laststandonzombieisland.com)
Potret awak kapal di Kapal Tujuh Provinsi (laststandonzombieisland.com)

Pada 2 Januari 1933, Kapal Tujuh Provinsi berlayar dari Surabaya menuju Sumatra yang terdiri dari 141 marinir Eropa dan 256 marinir bumiputra atau warga pribumi. Dalam perjalanan menuju Banda Aceh, gagasan untuk melakukan pemogokan kerja sebagai bentuk protes kerap muncul dari awak kapal bumiputra. Sayangnya, aksi tersebut gagal dilakukan dan malah menimbulkan ketegangan di kapal.

Beberapa media saat itu bersikeras untuk memberitakan bahwa kondisi Kapal Tujuh Provinsi masih dalam keadaan kondusif. Kenyataannya, situasi kapal tidak seperti penggambaran media saat itu. Jelang kedatangan awak kapal di Aceh, berita pemogokan kerja di Surabaya sudah tersebar di kalangan sebagian kecil marinir bumiputra. Aksi tersebut dilakukan demi solidaritas kepada awak kapal.

Pemberontakan yang dipimpin Paridja dan Kawilarang semakin memanas. Kalangan bumiputra mulai menguasai tempat penyimpanan senjata dan amunisi serta menahan beberapa perwira kapal. Atas kejadian itu, Menteri Urusan Jajahan Belanda, Hendrikus Colijn, mengambil tindakan tegas bagi mereka yang memberontak sekaligus melarang untuk memberitakan peperangan yang terjadi. Namun, berita tersebut bocor oleh pembajak berita di kapal.

Seperti dilansir dari artikel jurnal berjudul "Protes Sosial di Kapal Perang: Pemberontakan Marinir Bumiputra di Kapal De Zeven Provincien 1933", Tjatja Soematra, salah satu koran yang terbit di Padang menerbitkan artikel tentang perlawanan awak kapal.

Waktoe pemberontakan terdjadi, 2 orang officier melompat ke dalam sekotji motor jang telah diboeat roesak sehingga terpaksa officier-officier itoe mendajoeng dan dalam tempo 2 setengah djam baharoe mereka itoe sampai kedaratan.”

Ketegangan yang masih berlanjut itu, membuat Kapal Tujuh Provinsi dikepung pesawat tempur dan kapal selam Belanda, yang masing-masing dilengkapi senjata untuk melawan para pemberontak.

Hindia Belanda berkali-kali memberikan peringatan, namun seolah tidak didengar para awak kapal. Hingga momen mengejutkan datang dari salah satu pesawat dengan mengeluarkan bom, tepat di atas kapal yang dikomandoi Kawilarang.

3. Pasca pemberontakan

Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (malahayati.ac.id)
Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (malahayati.ac.id)

Akibat pengeboman Kapal Tujuh Provinsi, nyawa para awak kapal berguguran. Saat itu hanya tersisa beberapa awak dan Kawilarang. Kawilarang diminta menyerahkan diri beserta kawanannya, kemudian dimasukkan ke dalam tahanan sebelum diajukan ke mahkamah.

Kawilarang selaku pimpinan mendapatkan hukuman paling berat dibanding yang lain, yaitu 18 tahun penjara dan awak lain 1,5 tahun hukuman penjara. Sedangkan, pemberontak yang tewas dimakamkan di Pulau Mati, Kepulauan Seribu, yang kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta.

Para marinir yang terlibat dalam sejarah Kapal Tujuh Provinsi mengaku tidak ada campur tangan partai politik apapun, dan mengagumi pemimpin saat itu yaitu Sukarno dan Soetomo.

Meskipun gerakan ini tidak didasari kepentingan politik dan murni karena demi memperjuangkan ekonomi saat itu, peristiwa ini membangkitkan kesadaran kaum bumiputra saat itu.

Demikian sekelumit sejarah tentang Kapal Tujuh Provinsi. Peristiwa sejarah yang memperjuangkan hak-hak bumiputra yang berasal dari berbagai suku, ras, dan agama, hingga bersatu dan membangkitkan rasa nasionalisme!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Stella Azasya
3+
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us