Sistem Penjamin Mutu Pesantren Nonformal Dibuat untuk Akui Hak Santri

- Sistem penjamin mutu harus menghormati identitas pesantren
- Santri berhak mendapatkan pengakuan atas pendidikan yang diterima
Jakarta, IDN Times - Majelis Masyayikh menggelar workshop reviu draf 1 dokumen sistem penjaminan mutu internal dan eksternal (SPMI dan SPME) khusus untuk pendidikan pesantren jalur nonformal. Acara ini berlangsung selama tiga hari pada 12-14 Juni 2025 di Kota Tangerang, dengan melibatkan beragam elemen dalam lingkungan pesantren.
Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menelaah dan menyempurnakan rancangan awal sistem penjaminan mutu yang sedang dikembangkan untuk lembaga pendidikan nonformal berbasis pesantren.
Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin, mengatakan, pengembangan sistem penjaminan mutu ini tidak bertujuan menyeragamkan seluruh pesantren, melainkan memberi pengakuan formal atas keunikan dan keberadaan pesantren nonformal. Menurutnya, negara wajib mengakui kontribusi pesantren dalam dunia pendidikan.
“Kita mempunyai kewajiban bahwa pesantren nonformal harus ada dan harus lestari. Kita harus memastikan bahwa lulusannya mendapatkan pengakuan dari negara, baik akan dipakai atau tidak, karena ini soal hak sipil para santri,” ujar Rozin dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).
Dalam workshop tersebut, hadir tim penyusun dokumen, para pengasuh pesantren dari berbagai daerah, akademisi pesantren, serta pejabat dari Kementerian Agama RI.
1. Sistem penjamin mutu tidak boleh merusak identitas pesantren

Ia juga mengingatkan, sistem penjaminan mutu yang tengah disusun tidak boleh merusak identitas asli pesantren. Pesantren, menurutnya, bukanlah tiruan lembaga pendidikan formal yang sudah mapan seperti madrasah atau sekolah umum.
“Kita tidak boleh mengubah pesantren menjadi model pendidikan lain seperti madrasah, tsanawiyah, maupun bentuk lainnya. Justru pesantren seperti ini yang dulu ada sebelum kita mengenal sistem pendidikan berjenjang, maka sistem penjaminan mutu yang disusun pun harus sederhana, mengutamakan aspek keterbacaan dan keterpakaian,” ucap dia.
2. Santri harus dapat pengakuan kesetaraan pendidikan

Gus Rozin mengatakan, pembuatan dokumen ini berkaitan erat dengan hak konstitusional para santri untuk mendapatkan pengakuan atas pendidikan yang mereka tempuh di pesantren. Ini bukan semata-mata persoalan administratif, tapi juga bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi pesantren.
Dalam kesempatan itu, Divisi Pendidikan Dasar dan Menengah Majelis Masyayikh KH. A’la Basyir mengatakan, sistem yang dirancang ini murni berangkat dari nilai-nilai yang tumbuh dalam pesantren, bukan sekadar mengadopsi sistem pendidikan dari luar.
“Kita tidak sedang menempelkan sistem luar ke dalam pesantren. Kita sedang merancang sistem kita sendiri yang berangkat dari tradisi, karakter, dan ruh pesantren,” kata A'la Basyir.
Menurut A’la, sistem penjaminan mutu harus mampu merekam kualitas pesantren secara holistik. Ia mengatakan, banyak aspek penting dalam pesantren yang selama ini tak tercakup dalam pendekatan pendidikan formal, seperti adab, spiritualitas, hingga keberlanjutan sanad keilmuan.
“Sistem ini harus bisa memotret kualitas secara menyeluruh, termasuk dimensi-dimensi yang selama ini luput dari perhatian sistem pendidikan umum. Misalnya, nilai-nilai spiritual, integritas moral, keberlangsungan sanad keilmuan, adab santri terhadap kiai, serta pengaruh sosial pesantren di tengah masyarakat,” ujar dia.
3. Pengukuran kualitas pesantren tidak selalu bisa direduksi pada kuantitatif

A’la juga menyoroti pengukuran kualitas dalam pesantren tidak selalu bisa direduksi ke dalam angka dan indikator kuantitatif. Sistem yang dirancang harus fleksibel untuk menampung narasi kualitatif khas pesantren.
“Pesantren punya cara sendiri dalam membentuk karakter dan mentransfer ilmu. Maka dari itu, sistem ini harus membuka ruang untuk narasi-narasi kualitatif, bukan hanya kuantitatif,” ucap dia.
Landasan hukum dari pengakuan terhadap pendidikan pesantren nonformal terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Berdasarkan hal ini, penyusunan SPMI dan SPME menjadi langkah konkret untuk memberikan pengakuan sosial dan akademik bagi lulusan pesantren.
“Ini bukan soal penyeragaman, tapi penguatan keunikan pesantren. Karena itu, pendekatan kita harus kontekstual, partisipatif, dan bersifat afirmatif,” ujar A’la yang juga mantan Rektor UIN Sunan Ampel.