- Perpanjangan subsidi pajak untuk membuat asuransi kesehatan lebih terjangkau,
- Pembalikan pemotongan program Medicaid,
- Penolakan terhadap pemangkasan anggaran lembaga kesehatan pemerintah.
Kenapa Pemerintah AS Lakukan Shutdown dan Apa yang Akan Terjadi?

- Shutdown terjadi karena kegagalan kedua partai dalam menyepakati RUU pendanaan setelah anggaran tahun sebelumnya berakhir pada 1 Oktober 2025.
- Banyak layanan publik lumpuh, seperti pembatalan ribuan penerbangan dan hampir kehabisan dana program bantuan pangan untuk 41 juta penerima.
- Pemerintahan Trump tampak tidak keberatan memperpanjang shutdown dan mengancam tidak memberi gaji tertunggak setelah shutdown berakhir.
Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat sedang mengalami shutdown (penutupan sebagian layanan pemerintah) terpanjang sepanjang sejarah. Perselisihan anggaran antara Partai Republik dan Partai Demokrat belum menemukan titik temu, sehingga banyak layanan publik berhenti sementara dan sekitar 1,4 juta pegawai federal bekerja tanpa gaji atau dirumahkan tanpa bayaran.
1. Penyebab dan latar belakang

Shutdown terjadi karena kedua partai gagal menyepakati RUU pendanaan setelah anggaran tahun sebelumnya berakhir pada 1 Oktober 2025. Dalam sistem AS, Kongres harus menyetujui rencana pengeluaran untuk dikirimkan kepada presiden untuk ditandatangani menjadi undang-undang.
Meskipun Partai Republik menguasai Kongres, mereka kekurangan suara di Senat (butuh 60 suara), sehingga Demokrat punya kekuatan tawar.
Demokrat menginginkan:
Sementara itu, Partai Republik ingin mengesahkan “resolusi bersih” tanpa tambahan subsidi kesehatan. Presiden Donald Trump menolak kompromi besar dan yakin publik akan menyalahkan Demokrat.
Shutdown dimulai 1 Oktober 2025, dan pada 10 November telah berlangsung 40 hari, melampaui rekor sebelumnya (35 hari pada 2018–2019, juga di bawah Trump).
2. Dampak terhadap layanan publik

Beberapa layanan penting tetap berjalan, seperti:
- Penjaga perbatasan, polisi federal, dan tenaga medis rumah sakit.
Namun banyak layanan lain lumpuh:
- Ribuan penerbangan dibatalkan akibat kekurangan pengatur lalu lintas udara yang tetap bekerja tanpa gaji.
- Program SNAP (bantuan pangan) hampir kehabisan dana untuk 41 juta penerima. Seorang hakim memerintahkan pemerintah tetap mendanai program itu, tapi keputusan ditangguhkan oleh Mahkamah Agung.
- Taman nasional, museum Smithsonian, dan monumen bersejarah ditutup.
- Sekolah negeri relatif aman karena dana federal besarannya diberikan di musim panas.
- Anggota Kongres tetap menerima gaji, yang menimbulkan kritik.
3. Respons Gedung Putih

Tidak seperti krisis sebelumnya, pemerintahan Trump kali ini tampak tidak keberatan memperpanjang shutdown. Trump bahkan berencana menjadikannya sarana pemangkasan permanen pegawai federal yang dianggap “tidak penting”.
"We'll be laying off a lot of people (Kami akan memberhentikan banyak orang.)" Ungkap Trump pada 30 September, sehari sebelum shutdown dimulai.
Pemerintah juga mengancam tidak memberi gaji tertunggak setelah shutdown berakhir, sesuatu yang secara hukum biasanya wajib dibayarkan. Langkah ini mendapat kecaman keras dari pemimpin Demokrat, Hakeem Jeffries, sementara upaya PHK massal sempat diblokir pengadilan federal.
4. Dampak ekonomi

Shutdown biasanya memberi efek sementara seperti bencana alam, tapi kali ini lebih berat.
- Sekitar 800 juta dolar AS (sekitar Rp12,8 triliun) kontrak federal tidak diberikan setiap hari.
- Setiap minggu shutdown menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,1–0,2 poin, atau sekitar 15 miliar dolar AS (Rp240 triliun) per minggu.
- Data ekonomi penting seperti laporan pekerjaan bulanan tertunda, membuat kebijakan ekonomi makin sulit diarahkan.
- Jika berlangsung hingga musim liburan November–Desember, efeknya bisa semakin merugikan sektor belanja dan pariwisata.
5. Perbandingan dengan shutdown sebelumnya

Sejak 1970-an, Amerika Serikat telah mengalami beberapa kali penutupan pemerintahan karena kebuntuan anggaran.
- Ronald Reagan (1980-an): Terjadi delapan kali, namun masing-masing berlangsung singkat, biasanya hanya satu hingga tiga hari, sehingga dampak ekonominya terbatas.
- Bill Clinton (1995): Berlangsung selama 21 hari, menimbulkan kerugian ekonomi sekitar 1,4 miliar dolar AS (setara sekitar Rp22 triliun saat ini) akibat gangguan layanan publik dan keterlambatan pembayaran.
- Barack Obama (2013): Shutdown selama 16 hari dengan perkiraan kerugian 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp40 triliun) dari hilangnya produktivitas pegawai federal dan gangguan pada pariwisata.
- Donald Trump (2018–2019): Shutdown terpanjang sebelumnya, berlangsung 35 hari dan menyebabkan kerugian sekitar 11 miliar dolar AS, di mana 3 miliar di antaranya tidak pernah pulih meskipun pemerintahan kembali beroperasi. Dalam rupiah, totalnya mencapai sekitar Rp176 triliun dengan Rp48 triliun di antaranya menjadi kerugian permanen.
Shutdown saat ini bahkan telah melampaui rekor tersebut. Seperti pada 2018–2019, kekacauan di bandara akibat pengendali lalu lintas udara yang kelelahan mulai kembali terjadi menjelang libur Thanksgiving, menandakan tekanan publik terhadap pemerintah kian besar.
6. Kritik publik terhadap shutdown

Penutupan pemerintahan kali ini menuai gelombang kritik luas dari publik dan kalangan politik, baik terhadap Presiden Donald Trump maupun Kongres.
Banyak warga menilai langkah Trump terlalu ekstrem karena memanfaatkan kebuntuan anggaran untuk memangkas ukuran pemerintahan federal secara permanen. Rencana memecat pegawai “non-esensial” dan kemungkinan tidak membayar gaji tertunggak setelah shutdown berakhir dipandang tidak manusiawi.
Serikat pekerja federal, seperti American Federation of Government Employees (AFGE), mengecam kebijakan tersebut karena menempatkan jutaan pekerja dalam ketidakpastian finansial, sementara anggota Kongres masih menerima gaji penuh. Protes dan unjuk rasa mulai bermunculan di Washington, D.C., serta di sejumlah bandara besar seperti Atlanta, Chicago, dan Los Angeles, di mana pekerja penerbangan menuntut agar pemerintah segera dibuka kembali.
Media dan pakar ekonomi juga menyoroti dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, dari keterlambatan pembayaran bantuan pangan hingga gangguan penerbangan menjelang musim liburan.
Editorial di The New York Times dan The Washington Post menulis bahwa kebijakan ini menunjukkan “prioritas politik mengalahkan kesejahteraan rakyat.”
Di kalangan politik, bahkan sebagian Republik moderat menyuarakan keprihatinan karena shutdown yang terlalu lama berisiko merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Survei terbaru dari Pew Research Center menunjukkan lebih dari 60 persen warga Amerika menilai pemerintah federal gagal menjalankan tanggung jawab dasarnya selama krisis ini.
Secara keseluruhan, kritik publik mencerminkan kekecewaan terhadap penggunaan shutdown sebagai senjata politik, yang kini tidak hanya melumpuhkan birokrasi, tetapi juga memperdalam perpecahan di masyarakat.



















