Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi media sosial dan ruang publik digital (freepik.com/Freepik)

Di era digital yang bergerak cepat ini, satu kesalahan kecil di media sosial bisa berubah menjadi bencana reputasi dalam hitungan jam. Ungkapan 'netizens are watching you' bukanlah sekadar peringatan kosong, melainkan kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap pengguna—baik individu biasa maupun pejabat publik. Media sosial yang dulu dianggap sebagai ruang pribadi untuk berbagi cerita kini telah berevolusi menjadi ruang publik yang diawasi oleh jutaan netizen.

Sebagai praktisi komunikasi dan pendidik di bidang humas, saya telah menyaksikan sendiri betapa satu kata atau tindakan yang tidak tepat bisa berakibat fatal. Fenomena 'no viral, no justice' semakin menunjukkan betapa viralitas di dunia maya dapat mengukir keadilan atau sebaliknya, menghancurkan reputasi seseorang. Di sinilah peran kelompok seperti Social Justice Warriors (SJW) menjadi nyata. Mereka tampil sebagai penjaga keadilan sosial dalam ranah digital dengan cepat mengecam dan mengkritisi setiap pernyataan yang dianggap melanggar norma sosial. Meskipun tidak selalu diterima dengan baik oleh semua pihak, kehadiran mereka menegaskan bahwa di dunia digital, setiap kata dan tindakan akan segera mendapatkan respons publik.

Dari perspektif teori Agenda Setting, media sosial memiliki kekuatan untuk mengorkestrasi narasi melalui viralitas. Media, baik tradisional maupun digital, tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga menentukan isu-isu apa yang menjadi perhatian utama publik. Dalam konteks ini, viralitas sebuah unggahan bisa mengatur agenda publik—menggeser isu-isu lain dan menempatkan narasi tertentu di pusat perhatian. Hal ini terlihat jelas ketika video atau pernyataan kontroversial, seperti kasus-kasus berikut, dengan cepat mendominasi wacana online:

  1. Gus Miftah Menghina Penjual Es Teh
    Seorang tokoh agama sekaligus Utusan Khusus Presiden ini tersandung masalah setelah ucapannya dalam sebuah pengajian dianggap merendahkan penjual es teh. Video tersebut dengan cepat menyebar dan menuai kecaman luas dari netizen, hingga akhirnya ia terpaksa meminta maaf kepada pihak yang dirugikan dan masyarakat umum.

  2. Karyawan PT Timah Menghina Tenaga Honorer dan Pengguna BPJS
    Seorang karyawan di Bangka Belitung viral setelah mengunggah video di TikTok yang meremehkan tenaga honorer dan pengguna BPJS. Respons keras datang terutama dari kalangan pekerja honorer, memaksa karyawan tersebut untuk memberikan klarifikasi dan permintaan maaf, dengan menegaskan bahwa pendapatnya tidak mewakili perusahaan.

  3. Juru Bicara Istana Menggunakan Diksi "Rakyat Jelata"
    Adita Irawati, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, mendapat kecaman karena penggunaan istilah “rakyat jelata” yang dianggap merendahkan masyarakat kecil. Ia kemudian menyampaikan permintaan maaf, sambil menjelaskan bahwa maksudnya hanya mengacu pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Editorial Team

Tonton lebih seru di