5 Amfibi Unik yang Nyaris Punah, Keajaiban yang Terancam Lenyap!

- Chinese giant salamander, amfibi terbesar di dunia yang sangat langka dan terancam punah.
- Starry night toad, kodok bercahaya dari Kolombia yang populasinya sangat terbatas karena penyakit jamur dan perubahan iklim ekstrem.
- Atelopus carbonerensis, kodok gunung yang bangkit dari kepunahan namun kini terancam punah akibat deforestasi dan pemanasan global.
Di balik suara alam yang sering luput kita dengar, dunia amfibi menyimpan kisah sunyi tentang ketahanan dan kepunahan. Mereka adalah penjaga ekosistem yang peka terhadap perubahan, menjadi alarm hidup dari kerusakan lingkungan yang kita ciptakan sendiri. Namun kini, banyak spesies amfibi menapaki ambang terakhir keberadaan mereka—dari sungai-sungai Tiongkok yang tercemar hingga hutan awan di Amerika Selatan yang terfragmentasi.
Di antara ribuan spesies amfibi di dunia, ada beberapa yang begitu unik, luar biasa, tapi juga nyaris punah. Keindahan mereka bukan sekadar warna atau bentuk tubuh yang ganjil, tapi juga kisah panjang tentang bertahan hidup di dunia yang semakin keras bagi makhluk lembut seperti mereka. Yuk, kenalan dengan lima di antaranya yang paling langka dan memesona!
1. Chinese giant salamander, raksasa yang kian sunyi

Bayangkan seekor salamander sebesar manusia dewasa yang hidup di sungai jernih pegunungan Tiongkok. Itulah Chinese giant salamander (Andrias davidianus), amfibi terbesar di dunia yang bisa mencapai panjang dua meter. Dulu, hewan ini dianggap simbol umur panjang dan sering dipelihara bangsawan Tiongkok kuno. Sayangnya, perburuan dan polusi sungai telah menjadikannya sangat langka di alam liar.
Menurut laporan IUCN Red List, spesies ini masuk kategori Critically Endangered, atau sangat terancam punah. Banyak populasi di alam liar yang hilang akibat perdagangan ilegal untuk konsumsi eksotik dan obat tradisional. Kini, sebagian besar hanya tersisa di pusat konservasi.
Para peneliti dari Zoological Society of London menyebut salamander ini sebagai ‘fosil hidup’, karena hampir tak berubah sejak zaman dinosaurus. Jika punah, dunia akan kehilangan salah satu saksi tertua dari evolusi amfibi.
2. Starry night toad, kodok bercahaya dari langit Kolombia

Kodok kecil ini tampak seperti serpihan malam berbintang yang jatuh ke bumi. Starry night toad (Atelopus arsyecue) punya tubuh hitam legam dengan bintik putih terang yang menyerupai galaksi mini di kulitnya. Spesies ini hidup di Sierra Nevada de Santa Marta, Kolombia, wilayah yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Arhuaco.
Spesies ini sempat dianggap punah selama lebih dari 30 tahun hingga ditemukan kembali pada 2019 oleh tim peneliti dan dipublikasi pada portal Re:wild. Namun populasinya sangat terbatas—kurang dari seratus individu—karena penyakit jamur mematikan chytridiomycosis dan perubahan iklim ekstrem yang mengancam habitatnya.
Menurut laman resmi pemerintah Department of Climate Change, Energy, the Environment and Water of Australia, jamur ini menghancurkan kulit amfibi, menghambat respirasi, hingga menyebabkan kematian massal. Tanpa konservasi yang ketat, ‘kodok bintang’ ini bisa benar-benar padam dari muka bumi.
3. Atelopus carbonerensis, kodok gunung yang bangkit dari kepunahan

Di pegunungan Venezuela, seekor kodok mungil berwarna kuning-oranye cerah menolak menyerah pada nasib. Atelopus carbonerensis, atau La Carbonera stubfoot toad, dulu dianggap punah karena tak terlihat sejak 1990-an. Namun pada tahun 2024, beberapa individu kembali ditemukan oleh tim peneliti Nature Project Explora, menandakan secercah harapan.
Kodok ini hanya bisa hidup di hutan awan dengan kelembapan stabil dan suhu sejuk. Sayangnya, deforestasi untuk perkebunan dan pemanasan global menyebabkan habitatnya makin menyempit. IUCN kini menempatkannya dalam kategori Critically Endangered.
Para peneliti menyebut kebangkitan spesies ini sebagai ‘kisah keajaiban evolusi’, karena menunjukkan betapa resiliennya kehidupan di tengah krisis ekologis. Namun tanpa tindakan nyata, keajaiban itu bisa berakhir tragis.
4. Chile darwin’s frog, ayah yang mengandung anak

Tak banyak hewan jantan di dunia yang rela mengandung anaknya sendiri. Tapi Chile darwin’s frog (Rhinoderma rufum) melakukannya. Katak ini memiliki kantong di tenggorokannya tempat ia menyimpan telur hingga menetas—mirip seperti kantong kanguru. Fenomena ini menjadikannya salah satu keajaiban biologi paling menakjubkan di dunia amfibi.
Namun, sejak 1980-an, spesies ini tak pernah lagi terlihat di alam liar. Banyak ilmuwan menduga ia sudah punah akibat hilangnya hutan asli Chili dan wabah jamur chytrid. Penelitian dari Smithsonian menyebut kemungkinan masih ada populasi kecil yang tersembunyi, tapi belum pernah dikonfirmasi.
Bila benar punah, maka lenyaplah salah satu contoh terindah tentang peran ayah dalam dunia satwa. Alam kehilangan narasi tentang kasih sayang paling aneh namun paling hangat di antara makhluk hidup.
5. Golden mantella, permata emas dari Madagaskar

Di pulau Madagaskar, seekor katak kecil berwarna jingga terang seperti emas cair menarik perhatian peneliti dan pecinta alam. Golden mantella (Mantella aurantiaca) dikenal karena warna tubuhnya yang mencolok—sebuah peringatan alami bahwa tubuhnya mengandung racun. Namun keindahan itu justru menjadi kutukan.
Menurut San Diego Zoo Wildlife Alliance Animals and Plants, perburuan untuk perdagangan hewan eksotik dan rusaknya rawa tropis telah menurunkan populasinya hingga lebih dari 80% dalam 10 tahun terakhir. Kini, spesies ini hanya bertahan di beberapa lokasi kecil di Madagaskar Timur.
Program penangkaran di kebun binatang Eropa dan Amerika berusaha menyelamatkannya, tapi para ahli memperingatkan bahwa tanpa habitat alami, upaya itu tak akan cukup. Mereka bukan sekadar objek koleksi, tapi simbol rapuhnya keseimbangan ekosistem pulau yang ajaib itu.
Di balik keunikan dan keindahan amfibi ini, tersimpan peringatan sunyi bahwa keajaiban alam bisa lenyap bukan karena bencana besar, tapi karena kelalaian kecil yang berulang. Setiap sungai yang tercemar, setiap hutan yang ditebangi, adalah satu langkah menuju kepunahan mereka.
Menjaga amfibi berarti menjaga denyut kehidupan yang lebih besar—air bersih, udara lembap, dan keseimbangan ekosistem. Karena ketika katak terakhir berhenti bernyanyi di malam hari, barangkali itu tanda bahwa bumi pun mulai kehilangan nadinya.