Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kaisar yang Pernah Meninggalkan Tahta karena Alasan Tidak Biasa

Napoleon Bonaparte (pixabay.com/Cybex1)
Napoleon Bonaparte (pixabay.com/Cybex1)

Menjadi kaisar atau raja sering kali dianggap sebagai posisi tertinggi dan paling prestisius dalam sejarah. Namun, tidak semua penguasa memilih bertahan sampai akhir hayat. Ada yang justru memilih mundur—bukan karena kalah perang atau dikudeta, tapi karena alasan yang benar-benar tak biasa.

Beberapa di antaranya turun takhta karena alasan pribadi, strategi politik, atau bahkan gangguan kesehatan mental. Kisah-kisah ini menunjukkan sisi manusiawi dari para pemimpin besar dunia. Yuk, simak lima kisah paling unik tentang para penguasa yang meninggalkan mahkotanya secara sukarela!

1. Kaisar Bizantium Justin II

Koin Bizantium dengan foto Justin II (commons.wikimedia.org/Portable Antiquities Scheme)
Koin Bizantium dengan foto Justin II (commons.wikimedia.org/Portable Antiquities Scheme)

Justin II meninggalkan takhta pada tahun 574 Masehi karena mengalami gangguan kesehatan mental. Di masa pemerintahannya, Justin mengalami tekanan akibat kegagalan militer. Bahkan menurut britannica, Persia menyerbu wilayah Bizantium dan merebut sejumlah kota penting, termasuk Dara. Tekanan ini berdampak besar pada kondisi psikologisnya.

Melansir ancient-origins, menjelang turun takhta, ia menyerang pelayan, mengeluarkan suara seperti binatang, dan melukai dirinya sendiri. Namun, di tengah kekacauan mental tersebut, Justin sesekali masih sadar akan keadaannya. Dalam momen kejernihan itu, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dan menunjuk Jenderal Tiberius sebagai penerusnya.

2. Sultan Murad II

Sultan Murad II (commons.wikimedia.org/OttomanArchive)
Sultan Murad II (commons.wikimedia.org/OttomanArchive)

Sultan Murad II secara sukarela menyerahkan tahtanya pada tahun 1444. Sultan Murad II menyerahkan kekuasaan kepada putranya yang baru berusia 12 tahun, Mehmed II. Melansir worldhistoryedu, Sultan Murad II turun takhta karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari beban kekuasaan dan ingin menjalani kehidupan yang lebih spiritual.

Melansir acient-origins, salah satu tindakan terakhirnya sebagai penguasa adalah menandatangani perjanjian damai dengan raja Polandia dan Hongaria, Ladislaw III. Sultan Murad II yakin, bahwa pemerintahan putranya akan jauh lebih damai. Namun, kurang dari setahun, Ladislaw mengingkari janjinya dan memimpin pasukannya ke wilayah yang dikuasai Ottoman.

Akibat hal tersebut, Sultan Murad II akhirnya kembali memegang kekuasaan, setelah dua tahun turun takhta. Bahkan, upaya penyerangan oleh Ladislaw III dalam Pertempuran Varna berhasil diredam oleh Sultan Murad II. Hingga akhirnya, Sultan Murad II memerintah hingga wafat pada tahun 1451, dan kembali digantikan oleh putranya, Mehmed II.

3. Tsar Ivan IV

Tsar Ivan IV (commons.wikimedia.org/ニコライ・ネヴレフ)
Tsar Ivan IV (commons.wikimedia.org/ニコライ・ネヴレフ)

Tsar Ivan IV dari Rusia, atau yang lebih dikenal sebagai Ivan yang Mengerikan, melakukan sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam sejarah monarki, dengan mengundurkan diri secara tiba-tiba pada tahun 1564. Keputusannya bukan karena tekanan dari luar, melainkan strategi politik untuk menyingkirkan para bangsawan yang dianggapnya korup.

Tsar Ivan IV meninggalkan Moskow, lalu mengirim dua surat yang mengguncang kekuasaan Rusia. Satu surat menuduh para bangsawan dan gereja sebagai pengkhianat, sementara surat lainnya menenangkan rakyat kecil bahwa ia tidak marah kepada mereka.

Langkah ini memicu kepanikan di kalangan elit, yang akhirnya memohon Ivan untuk kembali berkuasa. Ia setuju, dengan syarat diberi kekuasaan absolut untuk menghukum siapa pun yang dianggap musuh negara. Hasilnya adalah oprichnina, yaitu kebijakan kejam yang memperkuat kekuasaannya.

4. Edward VIII dari Britania Raya

Edward VIII (commons.wikimedia.org/Aberystwyth)
Edward VIII (commons.wikimedia.org/Aberystwyth)

Raja Edward VIII melakukan hal yang sangat mengejutkan dunia pada tahun 1936. Ia turun takhta demi menikahi wanita yang dicintainya, Wallis Simpson. Masalahnya, Wallis adalah seorang sosialita Amerika yang telah dua kali bercerai, dan pada masa itu, pernikahan semacam itu sangat ditentang oleh Gereja Inggris.

Edward tidak bisa menikah dengan Simpson tanpa melanggar aturan keagamaan dan konstitusi. Melansir laman bbc, dalam pidato radionya, ia berkata "Saya merasa mustahil untuk mengemban beban tanggung jawab yang berat dan melaksanakan tugas-tugas Raja, seperti yang saya inginkan, tanpa bantuan dan dukungan dari wanita yang saya cintai," 

5. Napoleon Bonaparte

Napoleon Bonaparte (pixabay.com/Cybex1)
Napoleon Bonaparte (pixabay.com/Cybex1)

Napoleon Bonaparte tercatat dalam sejarah sebagai penguasa yang dua kali meninggalkan takhtanya karena tekanan militer dan politik. Pengunduran dirinya yang pertama terjadi pada tahun 1814, setelah pasukan sekutu berhasil merebut Paris dan para jenderalnya mendesaknya untuk mundur demi stabilitas negara. 

Melansir laman futurelearn, persyaratan yang mencakup turun takhta Napoleon ditetapkan oleh Perjanjian Fontainebleau, yang ditandatangani oleh sekutu pada tanggal 11 April 1814. Sebagai imbalan atas turun takhtanya, Napoleon diberi kedaulatan atas pulau Elba, Italia.

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh bulan di Elba, Napoleon kembali ke Prancis pada awal 1815 selama periode yang dikenal sebagai Seratus Hari. Kembalinya Napoleon ditandai dengan kebangkitan kekuasaan yang singkat, tetapi berakhir dengan kekalahannya di Pertempuran Waterloo di tahun yang sama, yang mengarah pada pengunduran dirinya yang kedua.

Kelima tokoh ini membuktikan bahwa keputusan untuk mundur bisa sangat kompleks, bukan hanya soal kelemahan, tapi juga keberanian untuk memilih jalan yang tak biasa. Dan di balik pengunduran diri mereka, tersembunyi pelajaran penting tentang manusia, kekuasaan, dan keputusan besar yang bisa mengubah sejarah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us