Bagaimana Kepunahan Permian Bisa Terjadi? Begini Kata Ilmuwan!

- Kepunahan Permian terjadi sekitar 252 juta tahun lalu. Kejadian ini merenggut hampir 96 persen kehidupan di laut dan 70 persen kehidupan di darat
- Asteroid besar jatuh ke Bumi menjadi penyebab utama Kepunahan Permian disertai dengan letusan gunung berapi yang melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar.
- Suhu panas yang ekstrem, hujan asam, dan penurunan kadar oksigen menyebabkan kepunahan massal.
Jika belum pernah mendengar tentang Great Dying (Kematian Besar), kamu mungkin bisa menebak sesuai dengan namanya. Ya, banyak kematian yang terjadi. Kepunahan Massal Permian adalah kepunahan terbesar dalam sejarah Bumi, yang terjadi sekitar 252 juta tahun yang lalu, sebagaimana yang dijelaskan Britannica. Kepunahan massal ini merenggut hampir 96 persen kehidupan di laut dan 70 persen kehidupan di darat, terutama spesies hewan bertulang belakang dan hampir semua pohon mati.
Meski begitu, Bumi masih menjadi satu daratan besar yang disebut Pangaea. Selain itu, dinosaurus bahkan belum ada. Namun, makhluk hidup sangat banyak dan beragam pada periode ini. Perhitungan ini menandai berakhirnya periode Paleozoikum, sebuah era yang dimulai 541 juta tahun yang lalu.
Kepunahan Permian bukanlah kepunahan pertama yang dialami planet ini. Namun, jelas kepunahan ini merupakan kepunahan yang paling signifikan. Itu karena Kepunahan Permian membuat hampir semua organisme punah. Nah, meski merupakan bencana besar yang mahadahsyat, kehidupan kembali bangkit seperti seorang pejuang. Apa saja fakta-fakta di balik Kepunahan Permian?
1. Kepunahan Permian kemungkinan terjadi karena hantaman asteroid

Sama seperti peristiwa yang memusnahkan dinosaurus pada 65 juta tahun yang lalu, banyak ahli geologi percaya bahwa Kepunahan Permian terjadi akibat jatuhnya asteroid besar ke Bumi. Pasalnya, para ilmuwan menemukan puing-puing dan kawah dari periode Permian Akhir di Australia, tulis laman Earth Archives. Kawah tersebut mengandung bongkahan batu kuarsa yang bentuknya sangat langka, yang hanya terbentuk selama peristiwa asteroid.
Fragmen-fragmen ini juga ditemukan di Antarktika, yang merupakan wilayah yang sama dengan Australia selama periode Permian, karena Pangea belum terpecah selama 100 juta tahun lagi. Namun, diyakini juga bahwa jika sebuah asteroid benar-benar jatuh ke Bumi, kemungkinan besar asteroid tersebut akan meluncur ke laut dan melontarkan batu kuarsa yang terguncang setelah pendaratan. Akibatnya, dasar laut mengalami pergerakan lempeng tektonik setiap 200 juta tahun.
2. Kepunahan Permian terjadi karena lautan menghasilkan karbon dioksida yang berlebihan

Andrew Knoll, ahli paleobiologi di Universitas Harvard, berpendapat bahwa lautan juga berperan dalam kepunahan massal ini, sebagai akibat dari perubahan arus ketika Benua Pangea mulai terbelah. Saat air tenang, bakteri di laut memakan bahan organik dan kotorannya menghasilkan bikarbonat. Nah, tanpa adanya arus, bikarbonat bisa menumpuk di laut dalam.
Akibatnya, bikarbonat yang menumpuk ini melepaskan karbon dioksida (CO2)—gas rumah kaca yang berbahaya. Dilansir National Geographic, 96 persen kehidupan laut pun tidak mendapatkan oksigen. Jadi, perlahan, tapi pasti, ikan-ikan dan makhluk laut lainnya akan mati lemas.
Jadi, apa pengaruhnya terhadap kehidupan di darat? Karena lautan besar itu menghasilkan karbon dioksida, karbon dioksida itu akan melayang ke atmosfer. Tahu, kan, apa yang terjadi? Ya, Bumi mengalami pemanasan global. Pada akhirnya, itu memusnahkan makhluk hidup di darat.
3. Kepunahan Permian kemungkinan juga terjadi akibat letusan gunung berapi terbesar

Mengenai gas rumah kaca, para ilmuwan juga telah menemukan kemungkinan besar penyebab kepunahan massal yang terjadi di Siberia selama periode Permian ini, yakni dari batuan vulkanik yang sangat besar. Pada akhir periode Permian, beberapa gunung berapi mulai mengalami erupsi di Siberia dan menjadi salah satu peristiwa letusan vulkanik terbesar dalam sejarah Bumi. Namun, alih-alih membanjiri Bumi dengan lava, gunung berapi ini melepaskan abu dan gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer. Hal ini menciptakan suhu panas yang teramat ekstrem.
Dilansir Stanford University, letusan tersebut meningkatkan suhu lautan menjadi 10 derajat celsius, yang membuat kadar oksigen anjlok hingga 80 persen. Selain itu, abu gunung berapi menghalangi sinar Matahari dalam jangka waktu yang lama. Dengan tidak adanya Matahari, tanaman tidak dapat berfotosintesis. Akibatnya, terjadilah bencana bagi seluruh rantai makanan makhluk hidup yang ada di Bumi ketika itu.
4. Kepunahan Permian gabungan dari semua peristiwa yang terjadi, ditambah lagi dengan hujan asam

Kemungkinan besar, Kepunahan Permian terjadi bukan hanya karena satu peristiwa, melainkan gabungan dari bencana yang telah kita bahas sebelumnya. Para ilmuwan telah mengonfirmasi bahwa hujan asam dalam jumlah besar mengguyur Pangea selama periode Permian. Pasalnya, para ilmuwan menemukan senyawa vanillin yang terbentuk dari hujan asam di Pegunungan Dolomite di Italia, seperti yang dilaporkan Imperial College London.
Jika diusut benang merahnya, penyebab paling jelas dari hujan asam ini ialah letusan gunung berapi di Siberia. Ini terjadi karena semburan gas yang meluncur ke atmosfer selama peristiwa tersebut terbilang cukup tebal. Hal ini menghalangi sinar Matahari dalam waktu yang cukup lama. Alhasil, suhu Bumi pun mengalami penurunan. Kondisi ini sangat sempurna untuk terjadinya hujan asam yang turun ke Bumi.
Namun, sebelum memusnahkan hewan dan ikan, peristiwa ini justru sangat berdampak terhadap tumbuhan. Hujan asam yang jatuh dari langit akan membuat tanah tidak subur. Tumbuhan pun kehilangan mineral dan unsur haranya. Tentu saja hal ini membuat tumbuhan mustahil untuk tumbuh. Lalu, ini diikuti oleh hewan herbivor, kemudian hewan karnivor. Pelajaran yang kita dapat dari sini ialah Matahari dan tanaman menjalankan peran penting untuk kehidupan.
5. Kemungkinan Kepunahan Permian terjadi karena masuknya zaman es setelah terjadinya pemanasan global

Paul Renne, ahli geologi dari Berkeley Geochronology Center, mencatat bahwa pada 1783, sebuah gunung berapi bernama Laki meletus di Islandia. Dalam setahun, suhu global turun hampir 2 derajat celsius. Sekarang, bayangkan saja, letusan di Siberia diperkirakan berlangsung selama ratusan ribu tahun. Letusan ini menghalangi Matahari dengan molekul sulfat sehingga menyebabkan Bumi memasuki zaman es selama 80 ribu tahun, menurut United States Press International.
Bukti zaman es telah ditemukan dalam sampel yang diambil dari lembah Sungai Nanpanjiang di Tiongkok yang menunjukkan lapisan abu dari akhir periode Permian. Terlihat juga turunnya permukaan laut. Nah, ketika gletser terbentuk di lautan, permukaan laut turun. Hal ini membuat makhluk yang hidup di perairan dangkal tidak mungkin bertahan hidup. Jadi, kemungkinan kepunahan terjadi bukan karena pemanasan global, melainkan Bumi membeku.
6. Kepunahan Permian memusnahkan 96 persen kehidupan laut

Penghuni bawah laut adalah pihak yang paling terkena dampak dari kepunahan massal Permian. Pasalnya, lebih dari 96 persen kehidupan laut punah karena kadar oksigen yang rendah—akibat air yang sangat hangat. Kondisi yang paling parah terjadi di daerah tropis, tapi makhluk hidup di laut ini memiliki kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan makhluk hidup yang tinggal di kutub. Pasalnya, makhluk hidup di daerah tropis ini akan menuju ekosistem bagian bawah rantai makanan.
Sebenarnya, tidak semua kehidupan di lautan punah karena makhluk hidup yang berada di bagian bawah rantai makanan cenderung bertahan hidup. Hanya ikan kadal dan cumi-cumi yang mirip moluskalah yang mampu bertahan hidup, seperti yang dilaporkan Science News. Selain itu, fosil makhluk nekton pernah ditemukan di lapisan batuan periode Trias tepat setelah periode Permian. Namun, apa yang mereka makan untuk bertahan hidup masih menjadi misteri.
7. Lebih dari setengah hewan dan tumbuhan mati selama periode Kepunahan Permian

Sekitar 70 persen kehidupan di darat mati selama Great Dying kemungkinan karena kurangnya flora untuk dimakan. Sebenarnya, ini mirip dengan bagaimana para ahli geologi menjelaskan lapisan batuan dari periode Permian yang diikuti oleh periode Trias. Fosil-fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa hutan dan makhluk darat memiliki kehidupan yang baik sebelum peristiwa ini terjadi.
Sayangnya, fosil hewan dari 250 juta tahun yang lalu sangat sulit ditemukan, tapi ada beberapa yang dapat ditemukan di hutan belantara terpencil di Afrika Selatan. Mayoritas fosil ini berasal dari kelompok yang sudah lama hilang yang disebut synapsids, yang merupakan reptil hibrida dan mamalia. Mereka adalah vertebrata pertama yang berjalan di darat dalam sejarah Bumi.
8. Dalam ilmu geologi, Kepunahan Permian terjadi dalam sekejap

Saat ini, masih ada perdebatan mengenai berapa lama waktu untuk membuat segala sesuatu di Bumi punah selama periode Permian. Akan tetapi, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa tidak butuh waktu jutaan tahun untuk membuat kiamat terjadi sepenuhnya. Alasan mengapa para ilmuwan yakin bahwa Kepunahan Permian terjadi dengan cepat karena catatan fosil tidak menunjukkan penurunan kehidupan secara bertahap, melainkan batas yang jelas kapan sebagian besar makhluk hidup punah.
Namun, bukan berarti kondisi yang mengarah pada kepunahan ini tidak butuh waktu. Saat sebagian besar hewan laut, spesies darat, dan tumbuhan mati, para ilmuwan memperkirakan bahwa hal tersebut mungkin butuh waktu antara beberapa abad hingga 200 ribu tahun, tulis laman Phys.org. Di sisi lain, para ilmuwan sendiri belum menemukan bukti adanya peristiwa awal yang menyebabkan punahnya flora dan fauna secara bertahap selama periode Permian.
9. Hewan darat yang mampu selamat dari Kepunahan Permian

Sebelum sebagian besar kehidupan muncul di Bumi, hewan darat sedang melewati periode evolusi yang cukup baik. Sebagian besar hewan darat pada masa Permian memiliki sifat seperti mamalia dan reptil. Salah satu makhluk terpenting yang berhasil keluar dari kiamat terbesar di Bumi ini ialah hewan yang mirip kadal dan babi—yang disebut Lystrosaurus. Hewan sepanjang 1 meter ini kemungkinan besar berhasil bertahan dari Kepunahan Permian karena paru-parunya yang besar dan kemampuan mereka menggali tanah. Jadi Lystrosaurus bisa dibilang mampu bernapas dalam kondisi yang sangat sulit sambil mencari makanan di bawah tanah.
Sisa-sisa babi reptil yang ditemukan ini juga menunjukkan kemampuannya berjalan jauh hingga ke pelosok Pangaea. Dengan bermigrasi ke ekosistem yang mendukung kelangsungan hidupnya, Lystrosaurus adalah spesies yang sangat luar biasa karena mampu bertahan hingga periode Trias, khususnya mamalia. Lystrosaurus juga berkontribusi pada aspek besar penelitian geologi karena fosilnya yang ditemukan di Afrika, Tiongkok, dan Antarktika. Ini menjadi bukti teori tentang lempeng tektonik yang ketika itu masih membuat para ilmuwan kebingungan hingga era 1960-an.
10. Hewan sejenis reptil lebih kuat untuk bertahan hidup dan berevolusi

Pada saat pemanasan global terjadi, spesies mirip reptil tertentu mampu memasuki periode Trias berkat beberapa keuntungan yang dimilikinya. Seperti fosil Kongonaphon, nenek moyang dinosaurus yang tingginya hanya 10 sentimeter. Kongonaphon hanya bernapas dengan satu paru-paru, sementara satu paru-paru lagi menampung oksigen.
Hal ini merupakan keuntungan besar lantaran pasokan oksigen sangat terbatas pada masa itu. Mungkin itulah sebabnya spesies Sauropsida ini bertahan lebih baik daripada mamalia mamalia lainnya. Ukuran hewan ini juga sangat memengaruhi karena tubuhnya yang kecil berarti kadal ini bisa lebih cepat kenyang. Hal ini tentunya sangat membantunya di kondisi dunia yang terbatas. Namun, butuh waktu 15 juta tahun lagi bagi Sauropsida untuk berevolusi menjadi dinosaurus berdarah dingin yang kita kenal saat ini, setelah kepunahan massal Permian.
11. Pemanasan iklim hari ini mirip seperti apa yang terjadi pada periode Permian

Dari catatan fosil yang ditemukan para ilmuwan tentang kepunahan massal bersejarah ini, mereka menyimpulkan bahwa suhu Bumi ketika itu sangat mirip dengan Bumi saat ini, lho. Kepunahan massal pada zaman Permian diawali oleh gas rumah kaca. Hal tersebut sama dengan situasi yang kita alami saat ini. Namun pada era kita, aktivitas manusialah yang diibaratkan seperti gunung berapi yang mengeluarkan banyak asap beracun ke atmosfer setiap harinya.
Menurut Universitas Stanford, proyeksi suhu Bumi pada masa mendatang menunjukkan bahwa manusia akan membuat lautan panas hingga 20 persen dari suhu pada akhir periode Permian pada 2100 dan hingga 50 persen pada 2300. Perkiraan seperti ini mengisyaratkan bahwa situasi serupa mungkin kita alami pada masa mendatang. Pertanyaannya ialah siapa yang akan berhasil melewatinya? Akankah manusia berevolusi dan berhasil selamat? Saat ini, kita mungkin hanya bisa berharap demikian.