5 Contoh Bencana Ekologis yang Disebabkan Kesalahan Praktik Pertanian

- Lebah afrikanisasi muncul dari persilangan lebah eropa dan lebah afrika, menyebabkan ancaman bagi ekosistem dan manusia.
- Pertanian di Uni Soviet mengubah aliran sungai untuk irigasi, menyebabkan penyusutan Laut Aral dan penurunan populasi biota.
- Kebijakan pembasmian burung gereja eurasia di Tiongkok berujung pada kegagalan panen dan bencana kelaparan.
Bencana ekologis kerap didefinisikan sebagai kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Berbeda dengan bencana alam yang terjadi akibat perubahan fenomena alam, bencana ekologis menekankan pada kesalahan pengelolaaan lingkungan atau aktivitas-aktivitas manusia yang berdampak besar terhadap kualitas lingkungan.
Aktivitas pertambangan, pencemaran udara dari bahan bakar fosil, kebocoran limbah kimia adalah beberapa sebab dari bencana ekologis yang paling sering terjadi. Selain ketiga sebab tersebut, aktivitas pertanian yang kurang mempertimbangkan dampak lingkungan secara menyeluruh juga bisa berpotensi menjadi bencana ekologis.
Meskipun kesalahan praktik pertanian lebih jarang terjadi dibandingkan kasus tumpahan minyak di laut atau pencemaran limbah pabrik, beberapa di antaranya memiliki dampak besar terhadap penurunan kualitas lingkungan bahkan menyebabkan bencana kelaparan. Mari kita lihat beberapa contoh bencana ekologis yang disebabkan oleh kesalahan dalam aktivitas pertanian.
1. Serangan lebah afrikanisasi

Lebah afrikanisasi (Apis mellifera scutellata Lepetier) adalah salah satu subspesies dari lebah barat atau western honeybees. Dalam bahasa awam, lebah afrikanisasi kerap disebut sebagai lebah pembunuh karena perilakunya yang agresif. Lantas, darimana asal lebah afrikanisasi?
Munculnya lebah afrikanisasi berasal dari penelitian seorang ahli genetika asal Brazil, Dr. Warwick E. Kerr, pada tahun 1956. Dr. Keer ingin menghasilkan jenis lebah baru yang dapat membuat angka produksi madu di Brazil menjadi lebih tinggi. Karena itu, ia melakukan persilangan antara lebah eropa yang terkenal akan produktivitas madunya dengan lebah afrika yang dapat beradaptasi terhadap iklim hangat seperti Brazil.
Sayangnya, lebah afrikanisasi masih membawa sifat agresif yang dimiliki lebah afrika. Meskipun berukuran lebih kecil, sengatan dari 1000 lebah afrikanisasi diperkirakan dapat berakibat fatal bagi manusia dewasa. Pada tahun 1957, lebah afrikanisasi benar-benar mulai menjadi ancaman ekosistem setelah 20 koloninya berhasil kabur dari tempat isolasi.
Lebah afrikanisasi dapat mengambil alih sarang-sarang spesies lebah madu lainnya dan menyerang manusia ataupun hewan-hewan ternak. Di tengah penurunan jumlah populasi lebah barat akibat penggunaan pestisida, lebah afrikanisasi sebenarnya dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan produksi madu karena daya adaptasinya yang tinggi. Para ilmuwan terus mencari solusi untuk menurunkan agresivitas lebah afrikanisasi agar tidak membahayakan bagi industri budidaya lebah.
2. Penyusutan Laut Aral

Laut Aral dahulu pernah berpredikat sebagai danau air tawar terbesar keempat di dunia. Dengan luas sekitar 68 ribu kilometer persegi, Laut Aral menjadi sumber air penting di kawasan Asia Tengah. Sayangnya, fenomena penyusutan yang terjadi selama puluhan tahun telah menyebabkan danau ini kini tampak seperti hamparan gurun pasir.
Penyusutan Laut Aral tak terlepas dari kebijakan pertanian pemerintahan Uni Soviet di tahun 1960an. Untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, pemerintah Uni Soviet mengubah aliran Sungai Amu Darya dan Syr Darya yang keduanya masing-masing berasal dari Pegunungan Pamir dan Pegunungan Tian Shan. Sungai Amu Darya dan Syr Darya, yang semula bermuara di Laut Aral, diubah arah alirannya menuju kawasan pertanian.
Perubahan aliran kedua sungai tersebut berdampak terhadap berkurangnya input air yang masuk ke Laut Aral dan berujung pada penurunan ketinggian air. Karena volume air yang terus berkurang, beberapa biota khas Laut Aral seperti ikan trout dan sturgeon, mengalami penurunan populasi yang signifikan. Penyusutan Laut Aral juga membuat luasan lahan basah, yang menjadi tempat persinggahan burung migrasi, perlahan menghilang.
Fenomena perubahan iklim turut membuat penyusutan Laut Aral semakin parah melalui peningkatan laju evaporasi dan salinitas air. Berbagai upaya seperti pembangunan bendungan untuk mengalirkan air dan penanaman tumbuhan penahan erosi terus dilakukan oleh gabungan kerjasama pemerintah Uzbekistan-Kazakhstan dalam rangka mengembalikan kualitas ekosistem Laut Aral.
3. Pembasmian burung gereja eurasia

Pada tahun 1958, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok membuat kebijakan di bidang pertanian yang dikenal sebagai "Chú Sì Hài" atau "Four Pests Campaign". Tujuan dari program ini adalah pemusnahan besar-besaran populasi empat hewan yang dianggap hama lingkungan yaitu tikus, nyamuk, lalat dan burung gereja eurasia. Tikus, nyamuk dan lalat dinilai sebagai gangguan bagi kesehatan masyarakat adapun burung gereja eurasia kerap memakan tanaman pertanian.
Pembasmian tikus, nyamuk, dan lalat dapat dimengerti mengingat penyakit-penyakit yang ditimbulkannya. Sayangnya, pemerintah Tiongkok kala itu membuat keputusan salah terkait perburuan burung gereja. Walaupun burung gereja memang memakan biji-bijian, hewan ini ternyata juga berperan sebagai predator bagi serangga-serangga yang juga menjadi hama pertanian.
Dalam kurun waktu dua tahun, burung gereja berstatus punah di banyak tempat di Tiongkok. Hilangnya populasi burung gereja secara bersamaan menyebabkan peningkatan hama serangga yang berujung pada kegagalan panen bagi komoditas pertanian padi dan gandum. Akibatnya, di tahun 1960, Tiongkok mengalami bencana kelaparan yang menewaskan hampir 2 juta jiwa.
Menyadari kesalahan pada kebijakan penghilangan populasi burung gereja, pemerintah Tiongkok menghapus burung gereja dari daftar hama yang harus dibasmi. Untuk mengembalikan populasi burung gereja yang sudah punah di banyak tempat, sebanyak 250 ribu burung gereja diimpor dari Uni Soviet. Kembalinya populasi burung gereja perlahan turut memperbaiki produktivitas padi dan gandum seperti semula.
4. Kelangkaan populasi burung nasar india

Sebagai hewan pemakan bangkai, burung nasar memiliki peran sangat penting dalam keberlangsungan ekosistem. Dengan memakan hewan yang sudah mati, burung nasar juga sekaligus mencegah penyebaran penyakit yang dibawa oleh bangkai hewan. Dari sisi pertanian, keberadaan burung nasar dapat mencegah terjadinya penumpukan bangkai hewan ternak.
Sayangnya, kalangan peternak India di tahun 1994 mengambil langkah salah dengan penggunaan diclofenac sebagai obat nyeri untuk hewan ternak. Diclofenac, yang tetap tertinggal di badan bangkai hewan ternak, ternyata bersifat racun dan menyebabkan kerusakan ginjal bagi burung nasar india. Populasi burung nasar india, yang semula berjumlah sekitar 50 juta individu, berkurang menjadi ribuan saja dalam kurun waktu 10 tahun.
Berkurangnya populasi burung nasar india berdampak pada penumpukan bangkai hewan ternak dan memburuknya kualitas lingkungan. Pelarangan penggunaan diclofenac di tahun 2006 masih belum memberi dampak signifikan terhadap kembalinya populasi burung nasar india.
5. Kekeringan dan badai pasir

Pada tahun 1930an, bencana kekeringan parah pernah terjadi di sebagian wilayah Amerika Serikat. Negara-negara bagian di sisi selatan seperti Kansas, Colorado, Oklahoma, Texas, dan New Mexico, menjadi saksi berlangsungnya kekeringan dan badai pasir selama hampir dua dekade yang dikenal dengan bencana "Dust Bowl".
Kesalahan dalam pengelolaan tanah kerap disebut sebagai penyebab utama bencana kekeringan ini. Di awal tahun 1920an, kawasan selatan Amerika Serikat mulai ramai dengan pemukiman akan tetapi belum ada pihak yang melakukan studi terkait potensi pertaniannya. Para petani pun melakukan pekerjaannya tanpa pengetahuan tentang karakteristik tanah dan iklim kawasan tersebut.
Ketidaktahuan petani salah satunya terlihat dari pemilihan tanaman gandum yang tidak cocok untuk kawasan selatan Amerika Serikat yang beriklim panas dan kering. Tanaman seperti gandum tidak memiliki akar dengan kemampuan menahan air sekuat tumbuhan rerumputan yang tumbuh di daerah semi-gurun sehingga tidak dapat mencegah terjadinya erosi tanah.
Ketika kekeringan mulai melanda wilayah tersebut, tanah dari lapisan atas pun beterbangan karena tidak adanya tumbuhan penahan laju erosi. Dari sinilah awal mula badai pasir hebat yang membuat setidaknya 1 juta ton tanah hilang dan ribuan keluarga mengungsi. Untuk mengembalikan kualitas tanah, pemerintah Amerika Serikat memulai penanaman rumput dan barisan pepohonan kecil yang berfungsi sebagai windbreak atau tanaman penahan laju angin.
Deretan contoh peristiwa di atas menunjukkan bahwa aktivitas pertanian yang kurang memperhatikan keberlangsungan lingkungan, dapat berubah menjadi bencana ekologis. Dalam jangka panjang, bencana ekologis dapat berdampak besar bagi lingkungan dan makhluk-makhluk hidup yang ada di dalamnya.


















