Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bukan Aphelion, Ini yang Bikin Suhu Akhir-akhir Ini Terasa Dingin

Ilustrasi gelombang angin (freepik.com/wirestock)
Ilustrasi gelombang angin (freepik.com/wirestock)
Intinya sih...
  • Penyebab suhu dingin bukan karena aphelion, melainkan angin muson timur dari Australia membawa udara kering dan dingin
  • Aphelion adalah saat Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari, menjauh sekitar 4,5 juta kilometer dibanding saat perihelion
  • Fenomena astronomis seperti aphelion dan perihelion tidak mengubah cuaca di Indonesia yang lebih ditentukan oleh tarian angin dan uap air dari samudra yang luas

Beberapa hari terakhir, udara pagi terasa lebih menusuk. Di sejumlah daerah dataran tinggi, embun tebal menempel di kaca jendela, sementara orang-orang melipat lengan baju dan memilih menyeruput minuman hangat sebelum memulai hari.

Banyak yang mengira ini karena aphelion. Aphelion sendiri merupakan kondisi saat Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari. Padahal, penyebab utamanya justru jauh lebih dekat dan terjadi setiap tahun yakni angin muson timur yang membawa udara kering dan dingin dari Benua Australia, perlahan menyelimuti sebagian besar wilayah Indonesia dengan hawa sejuk yang khas musim kemarau.

Pengertian dari aphelion

Setiap bulan Juli, ada satu momen tahunan yang diam-diam terjadi di jagat raya—fenomena yang nyaris tak terasa namun selalu terulang yaitu aphelion. Ini adalah ketika Bumi perlahan mencapai titik terjauhnya dari Matahari, melaju di lintasan elips. Ya, orbit Bumi bukan lingkaran, melainkan elips—sedikit lonjong, dengan satu sisi lebih dekat dan satu sisi lebih jauh dari Matahari.

Di titik aphelion ini, Bumi berada sekitar 152 juta kilometer dari Matahari, menjauh sekitar 4,5 juta kilometer dibanding saat ia berada paling dekat—yang dikenal sebagai perihelion—setiap awal Januari. Perbedaan jarak itu memang tidak terlalu besar dalam skala tata surya, namun cukup untuk membuat sinar matahari yang diterima Bumi berkurang sekitar 7 persen jika dibandingkan dengan saat perihelion.

Meski Matahari sedikit lebih jauh di langit Juli ini, dampaknya terhadap suhu harian tak terasa signifikan. Justru kita lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti arah angin dan kelembapan udara. Tapi tetap saja, membayangkan bahwa kita kini berada di titik paling jauh dari bintang pusat tata surya, selalu memberi rasa takjub tersendiri—bahwa planet ini, dalam diamnya, tengah menjauh sebelum perlahan kembali mendekat.

Jarak Matahari mempengaruhi suhu?

ilustrasi matahari menyinari bumi (pixabay.com/abhaylal122)
ilustrasi matahari menyinari bumi (pixabay.com/abhaylal122)

Banyak orang membayangkan, saat Bumi lebih dekat ke Matahari, panasnya akan menyengat lebih hebat. Sebaliknya, ketika Bumi menjauh, udara pun terasa lebih dingin. Logis, memang. Tapi kenyataan tak sesederhana itu. 

Justru saat Bumi berada paling dekat dengan Matahari, negeri-negeri di belahan Bumi utara seperti Eropa dan sebagian besar Asia justru tengah berselimut salju. Sementara ketika aphelion datang di bulan Juli dan Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari, wilayah selatan seperti Australia justru mengalami musim dingin.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita hidup di wilayah tropis yang tak mengenal empat musim, hanya dua yakni musim hujan dan kemarau. Bukan jarak Bumi ke Matahari yang menentukan ritme itu, melainkan arah tiupan angin muson dan kadar kelembapan udara. 

Inilah alasan mengapa fenomena astronomis seperti aphelion dan perihelion nyaris tak mengubah cuaca di negeri ini—cuaca kita lebih ditentukan oleh tarian angin dan uap air dari samudra yang luas.

Angin muson timur dari Australia

Awal Juli, langit malam di banyak wilayah Indonesia tampak lebih jernih dari biasanya. Bintang-bintang bertaburan tanpa halangan awan, dan udara terasa kering menyusup hingga ke sela-sela jendela. Di pagi harinya, banyak orang menggigil pelan saat membuka pintu rumah—terutama mereka yang tinggal di dataran tinggi atau pedalaman. Suhu terasa lebih menusuk dari biasanya. Di beberapa daerah, orang menyebutnya sebagai bledding—rasa dingin yang menggigit saat fajar menyingsing.

Kebetulan, momen ini bertepatan dengan aphelion. Tapi jangan buru-buru menyalahkan jarak itu. Nyatanya, bukan aphelion yang membuat udara pagi begitu dingin. Penyebab utamanya adalah angin muson timur dari Australia yang datang membawa massa udara kering dan sejuk. Langit yang cerah membuat panas dari permukaan Bumi mudah terlepas ke atmosfer saat malam, mempercepat pendinginan. Jadi, meski aphelion dan hawa dingin datang bersamaan, keduanya seperti dua orang asing yang kebetulan bertemu—bukan karena saling memengaruhi, melainkan karena waktunya saja yang sama.

Jangan percaya hoax

ilustrasi melihat berita hoax (pexels.com/Tessy Agbonome)
ilustrasi melihat berita hoax (pexels.com/Tessy Agbonome)

Setiap kali fenomena astronomi seperti aphelion muncul ke permukaan pemberitaan, kabar-kabar menyesatkan sering ikut beredar. Di grup pesan instan, ada yang mengaitkan aphelion dengan suhu ekstrem, penyakit kulit, bahkan gangguan tubuh aneh yang katanya "efek Matahari menjauh".

Tak sedikit yang cemas, terutama karena pesan-pesan itu disebar dengan nada dramatis dan tanpa sumber yang jelas.

Padahal, para ahli sudah berkali-kali meluruskan. Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMKG), bersama peneliti telah menjelaskan bahwa tidak ada kaitan langsung antara aphelion atau perihelion dengan gangguan cuaca apalagi kesehatan. 

Secara ilmiah, keduanya hanyalah bagian dari perjalanan rutin Bumi mengelilingi Matahari—fenomena alamiah yang terjadi setiap tahun pada waktu yang hampir sama.

Aphelion memang menarik secara astronomis, tapi bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Ia tak membawa badai besar, tak memicu penyakit mendadak. Maka, saat pesan-pesan menyesatkan itu kembali muncul, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah tetap tenang dan memilih percaya pada penjelasan ilmiah dari sumber resmi—bukan dari unggahan viral tanpa dasar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us