Referensi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2024). Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2023. Diakses pada Desember 2025.
Miettinen, J., Hooijer, A., Wang, J., Shi, C., & Liew, S. C. (2012). Peatland degradation and conversion sequences and interrelations in Sumatra. Regional Environmental Change, 12(4), 729-737. Diakses pada Desember 2025.
Tulbure, M. G., Broich, M., Stehman, S. V., & Kommareddy, A. (2016). Surface water extent dynamics from three decades of seasonally continuous Landsat time series at subcontinental scale in a semi-arid region. Remote Sensing of Environment, 178, 142-157. Diakses pada Desember 2025.
World Resources Institute (WRI). (2025). Global Forest Watch. Diakses pada Desember 2025.
Abdillah, M. R., & Andreas, H. (2025). Ahli ITB ungkap interaksi atmosfer–geospasial di balik banjir bandang dan longsor Sumatera. Institut Teknologi Bandung. Diakses pada Desember 2025.
Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan UNESA. (2025). Citra satelit ungkap skala kerusakan sebelum dan sesudah banjir bandang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat 2025. Jurnal Pendidikan Sains FMIPA UNESA. Diakses pada Desember 2025.
Sasmi, A. T., & Priyono, K. D. (2025, 4 Desember). Banjir Sumatera: Kombinasi faktor alam dan ulah manusia. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses pada Desember 2025.
Suryatmojo, H. (2025, 1 Desember). Bencana banjir bandang Sumatra, pakar UGM sebut akibat kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS. Universitas Gadjah Mada. Diakses pada Desember 2025.
Suryatmojo, H. (2025, 15 Desember). Pakar UGM sebut bencana Sumatera akibat dosa ekologis yang berulang. Spatial Highlights. Diakses pada Desember 2025.
Pakar hukum lingkungan ini sebut banjir Sumatera sudah memenuhi kriteria bencana nasional. (2025). Hukumonline.com. Diakses pada Desember 2025.
5 Dampak Tersembunyi Alih Fungsi Gambut bagi Banjir Sumatra

- Gambut adalah spons raksasa alami yang menyerap air hingga 13 kali berat keringnya
- Pengeringan lahan gambut untuk perkebunan menyebabkan subsiden dan penurunan kemampuan serapan air
- Konversi lahan gambut mengubah pola aliran air, meningkatkan kerentanan terhadap kekeringan dan kebakaran
Di balik genangan air yang melanda Sumatera, tersembunyi krisis ekologi yang lebih dalam yaitu hilangnya gambut. Nah, gambut sebenarnya ibarat spons raksasa alami yang selama ini menjadi benteng pertahanan daratan terhadap banjir.
Banjir besar yang melanda Aceh. Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada penghujung November 2025 bukan sekadar persoalan curah hujan tinggi. Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc., pakar meteorologi dari ITB, mengonfirmasi bahwa wilayah tersebut memang mengalami puncak musim hujan dengan curah hujan ekstrem lebih dari 300 mm per hari, yang diperkuat oleh keberadaan Siklon Tropis Senyar.
Para ahli sepakat bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu. Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS dari UGM, menegaskan bahwa daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan, sebuah akumulasi "dosa ekologis" yang berulang di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Di balik kejadian tersebut, terdapat perubahan bentang alam di mana konversi lahan gambut dan hutan menjadi perkebunan skala besar. Ekosistem basah dan lebat ini bukan tanah kosong; ia adalah infrastruktur alami penahan air yang fungsinya kini banyak hilang. Untuk mengetahui lebih lanjut dampak tersembunyi alih fungsi gambut bagi banjir Sumatra, bisa kamu simak pada penjelasan berikut.
1. Gambut bukan tanah biasa, melainkan spons raksasa penyerap air

Gambut adalah tumpukan material organik (sisa-sisa tumbuhan) yang terdekomposisi tidak sempurna dan menumpuk selama ribuan tahun di kondisi basah. Strukturnya yang berongga dan berpori membuatnya memiliki kapasitas menyerap dan menyimpan air yang luar biasa, hingga 13 kali berat keringnya.
Sebuah analogi sederhana dengan bayangkan dua ember. Satu diisi tanah biasa, satunya diisi spons basah raksasa (gambut). Saat dituangi air (hujan), ember berisi tanah akan cepat meluap. Sementara, ember berisi spons akan menyerap sebagian besar airnya, baru meluap setelah benar-benar jenuh. Inilah peran gambut sebelum dikeringkan dan dibuka. Dampak yang akan terjadi ketika jutaan hektar gambut di Sumatera dikeringkan untuk perkebunan, fungsi spons raksasa ini akan hilang.
Dr. Heri Andreas, S.T., M.T., pakar geospasial ITB, menjelaskan bahwa kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi.Saat kawasan tersebut terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan, menyebabkan peningkatan runoff (aliran permukaan) yang memicu banjir. Dr. Annisa Trisnia Sasmi, S.Si., M.T., dari UMS, menambahkan bahwa ketika tanah tak mampu lagi menyerap dan sungai kehilangan kapasitas tampung, banjir menjadi tak terhindarkan.
2. Proses drainase dan subsiden, ketika daratan mulai menyusut dan tenggelam

Untuk membuka lahan gambut menjadi perkebunan, langkah pertama adalah membuat kanal-kanal drainase untuk mengeringkannya. Inilah awal malapetaka hidrologis.
Pengeringan menyebabkan material organik gambut teroksidasi dan menyusut. Ditambah dengan kompaksi (pemadatan) dan kebakaran, permukaan tanah gambut turun secara permanen. Fenomena ini disebut subsiden (penurunan muka tanah). Di beberapa wilayah, laju subsiden bisa mencapai 3-5 cm per tahun. Daratan menjadi lebih rendah daripada muka air sungai atau laut di sekitarnya. Kawasan yang sudah mengalami subsiden akan menjadi cekungan permanen yang sangat rentan terhadap genangan.
Dr. Ir. Hatma Suryatmojo peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM memperingatkan bahwa kerusakan di hulu ini menghilangkan "sabuk pengaman alami" bagi kawasan di bawahnya. Pendangkalan sungai akibat erosi dari hulu yang gundul semakin memperbesar risiko luapan banjir.
3. Hilangnya kapasitas tampung air dan perubahan pola aliran

Ekosistem gambut alami berfungsi seperti waduk alami yang tersebar. Ia tidak hanya menyerap, tetapi juga mengatur pelepasannya secara perlahan ke sungai, menjaga ketersediaan air di musim kemarau.
Konversi lahan mengubah sistem ini secara drastis. Kanopi hutan gambut yang menahan tetesan hujan hilang. Jaringan akar yang menstabilkan tanah juga lenyap. Yang tersisa adalah lahan terbuka dengan tanah yang menyusut dan mengeras. Menurut data dari ahli UGM, hutan alami dapat menahan 15-35 persen air hujan di tajuk (intersepsi atau keseluruhan bagian pohon), menginfiltrasikan 55 persen ke dalam tanah, dan hanya 10-20 persen yang menjadi aliran permukaan.
Ketika hutan rusak, mayoritas hujan langsung menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke hilir. Air hujan yang sebelumnya diatur, kini langsung mengalir deras melalui kanal drainase, menjadi jalan tol bagi air banjir yang membanjiri sungai utama.
4. Peningkatan kerentanan ganda, kekeringan di musim kemarau dan kebakaran

Dampak alih fungsi gambut bersifat paradoks. Lahan yang sama yang menyebabkan banjir di musim hujan, justru menjadi sumber bencana kekeringan dan kebakaran di musim kemarau.
Gambut kering adalah bahan bakar yang sangat sempurna. Ia mudah terbakar dan api bisa menjalar dalam di bawah permukaan tanah, sulit dipadamkan. Kebakaran gambut tidak hanya menghancurkan sisa keanekaragaman hayati, tetapi juga melepaskan karbon dalam jumlah raksasa ke atmosfer, memperparah perubahan iklim yang pada gilirannya meningkatkan potensi cuaca ekstrem.
Dr. Annisa Trisnia Sasmi ahli dari UMS menyebut bencana ini sebagai contoh nyata pertemuan antara ancaman alam (hazard), kerentanan, dan kapasitas penanggulangan. Deforestasi dan alih fungsi lahan skala besar telah meningkatkan kerentanan wilayah secara signifikan, sehingga ketika hazard (hujan ekstrem) datang, dampaknya menjadi sangat luas dan merusak.
5. Bukti dari langit: data satelit yang menunjukkan keterkaitan langsung

Penelitian oleh lembaga riset dan lembaga survei lingkungan, termasuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menunjukkan bahwa citra satelit, khususnya dari instrumen radar seperti Sentinel-1A, berhasil mendeteksi 118 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terkena dampak banjir di Aceh dan Sumatera Utara.
Gambar satelit di area sebelum dan sesudah bencana menunjukkan perubahan drastis yaitu pantai yang keruh, sungai yang melebar, wilayah kota dan pemukiman berubah warna, kawasan hijau bertransformasi menjadi kecoklatan, dan laut di tepi pantai menjadi keruh kecoklatan dari sebelumnya biru kehijauan.
Citra satelit menjadi alat penting pasca-bencana karena saat terjadi hujan deras atau badai, banyak area terhalang awan, namun satelit radar seperti Sentinel-1A bisa “menembus” awan sehingga tetap dapat menangkap kondisi permukaan tanah.
Bencana November 2025 menunjukkan skala yang luar biasa. Prof. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si., ahli bencana dari UMS, dalam analisis terpisah menyoroti bahwa bencana ini telah melampaui batas administrasi beberapa provinsi, menyebabkan kerusakan fisik masif dan mengganggu ketahanan sosial jangka panjang bagi jutaan jiwa.
Dengan membandingkan citra sebelum dan sesudah, para ahli menerapkan teknik “deteksi perubahan” untuk mengidentifikasi wilayah yang mengalami transformasi, seperti dari warna hijau vegetasi menjadi cokelat lumpur, dari daerah permukiman yang padat menjadi genangan air, atau dari garis pantai yang normal menjadi bercampur sedimen dan lumpur.
Analisis dilakukan terhadap perubahan piksel yang dihasilkan untuk mengukur luas genangan, area yang terdampak longsor, dan jalur aliran air, analisis citra satelit pasca bencana tidak hanya menunjukkan air dan lumpur di hilir, tetapi juga perubahan tutupan lahan di hulu.
Penelitian mengungkapkan bahwa beberapa wilayah yang saat ini terendam banjir dulu pernah mengalami pembukaan lahan, aktivitas pertambangan, atau deforestasi yang menyebabkan lereng bukit dan hutan kehilangan kemampuan menyerap air.
Banjir bandang bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi atau badai, tetapi juga ada peran manusia terkait pengelolaan lahan, izin usaha pertambangan atau perkebunan, serta pengawasan lingkungan yang kurang efektif. Citra satelit berperan dalam menunjukkan pola ini dengan jelas, sehingga dapat dijadikan bukti untuk audit lingkungan, penegakan hukum, dan kebijakan mitigasi bencana di masa yang akan datang
Dr. Ir. Hatma Suryatmojo peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menegaskan, bencana ini hendaknya menjadi titik balik. Upaya ke depan harus menyeimbangkan pendekatan struktural (infrastruktur) dengan pendekatan ekologis yang menjadi prioritas utama seperti perlindungan ketat sisa hutan, rehabilitasi lahan kritis di hulu, dan penegakan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana. Kini kamu sudah mengetahui dampak tersembunyi alih fungsi gambut bagi banjir Sumatra. Dengan begitu, kamu bisa lebih memahami bahwa pentingnya keberadaan lahan gambut di Indonesia.


















