5 Dampak Kerusakan Taman Nasional bagi Keseimbangan Ekologi

- Hilangnya penyangga iklim global dan pelepasan karbon masif
- Kepunahan spesies dan pemutusan rantai kehidupan
- Degradasi DAS dan peningkatan risiko bencana hidrologis
Di tengah hiruk pikuk situasi saat ini, Taman Nasional (TN) kerap dipersepsikan sebagai hamparan hijau yang statis. Padahal, ia adalah benteng terakhir yang dinamis, tempat ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antar makhluk hidup dan lingkungannya.
Ketika benteng ini retak, dampaknya bukan hanya pada pepohonan yang hilang, tetapi pada seluruh sistem kehidupan semua makhluk hidup. Kerusakan alam serta ekosistem yang ada di dalam Taman Nasional akan menjadi sebuah musibah besar yang mengancam. Berikut ini adalah 5 dampak mendalam dari kerusakan Taman Nasional terhadap keseimbangan ekologis yang didukung oleh data dan laporan terkini.
1. Hilangnya penyangga iklim global dan pelepasan karbon masif

Taman Nasional seperti Tesso Nilo di Riau adalah carbon sink atau penyerap karbon raksasa. Kerusakan yang terjadi di dalamnya, terutama melalui deforestasi, mengubah fungsi tersebut menjadi sumber emisi. Data satelit terkini mengungkapkan bahwa deforestasi di TN Tesso Nilo masih berlanjut, membuka tutupan hutan yang vital (Mongabay, 2024).
Setiap hektar yang hilang bukan hanya kehilangan pohon, melainkan juga melepaskan karbon yang telah tersimpan puluhan tahun ke atmosfer. Ini mempercepat perubahan iklim, yang pada gilirannya mengacaukan pola curah hujan dan meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, menciptakan lingkaran setan bencana ekologi.
2. Kepunahan spesies dan pemutusan rantai kehidupan

Ekologi mengajarkan bahwa setiap spesies, sekecil apa pun, adalah mata rantai dalam jaring-jaring makanan. Taman Nasional merupakan ark terakhir bagi keanekaragaman hayati Indonesia, seperti harimau Sumatera, orangutan, dan ribuan flora endemik.
Aktivitas ilegal dan perambahan yang menyebabkan kerusakan habitat memutus rantai ini. Seperti dilaporkan Forest Watch Indonesia (2024), tingginya deforestasi di Papua dan Kalimantan mengancam habitat spesies kunci. Kepunahan satu spesies predator puncak dapat menyebabkan ledakan populasi hewan mangsa, yang kemudian mengganggu keseimbangan vegetasi dan seluruh struktur ekosistem.
3. Degradasi DAS dan peningkatan risiko bencana hidrologis

Fungsi ekologis Taman Nasional sebagai pengatur tata air (hidro-rologi) sangat krusial. Akar pohon hutan berperan sebagai penyangga tanah dan spons raksasa. Ketika hutan di kawasan konservasi seperti TN Tesso Nilo mengalami degradasi akibat konversi untuk perkebunan atau permukiman (Environesia, 2025), Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi terganggu.
Kemampuan tanah menyerap air hujan menurun drastis, yang berujung pada banjir bandang di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kerusakan ini mentransformasi TN dari penjaga menjadi penyumbang bencana ekologi bagi masyarakat di hilir.
4. Munculnya zona konflik dan eksploitasi yang memperparah kerusakan

Kerusakan Taman Nasional seringkali membuka ruang bagi dinamika sosial-ekonomi yang kompleks dan merusak. Kawasan yang seharusnya dilindungi justru menjadi ajang konflik antara otoritas konservasi, masyarakat lokal, dan aktor ekonomi kuat, termasuk yang disebut sebagai mafia lahan (Environesia, 2025).
Lebih parah lagi, kawasan inti TN pun tak luput, seperti yang terjadi pada Taman Nasional Kutai yang berubah menjadi zona eksploitasi batubara (Project Multatuli, 2025). Eksploitasi sumber daya ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik langsung, tetapi juga mencemari tanah, air, dan udara, meracuni komponen abiotik yang menjadi fondasi kehidupan.
5. Hilangnya layanan ekosistem yang tidak tergantikan

Taman Nasional menyediakan ecosystem services atau jasa ekosistem yang tak terhitung nilainya seperti penyediaan air bersih, penyerbukan tanaman, perlindungan pantai dari abrasi, hingga sumber obat-obatan.
Deforestasi di kawasan konservasi (Betahita, 2025) secara sistematis menghancurkan layanan gratis alam ini. Kehilangannya memaksa manusia untuk menciptakan substitusi buatan dengan biaya sangat tinggi, seperti pembangunan instalasi penjernih air atau tanggul raksasa, yang seringkali tidak seefektif fungsi alami. Pada akhirnya, kerusakan ini merupakan penggerogotan investasi alam yang menjadi warisan untuk generasi mendatang.
Kerusakan pada Taman Nasional adalah luka yang menganga pada tubuh ekologi Indonesia. Ia bukan sekadar persoalan kehilangan satwa atau pohon, tetapi gangguan sistemik pada hubungan biotik dan abiotik yang telah terbangun selama ribuan tahun.
Data dan laporan terkini dari berbagai wilayah membuktikan bahwa ancaman ini nyata dan masih berlangsung. Melindungi Taman Nasional dari kerusakan lebih lanjut sama dengan mengamankan sistem pendukung kehidupan bangsa.
Tindakan tegas terhadap pelaku perusakan, pemberdayaan masyarakat penyangga, dan penegakan hukum yang konsisten bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memutus rantai bencana ekologi yang kita hadapi bersama.


















