Jerapah Terancam Punah, Ini 5 Penyebabnya

- Populasi jerapah menurun 40% dalam 30 tahun terakhir
- Ancaman utama adalah hilangnya habitat, perburuan liar, dan perubahan ekologi
- Penegakan hukum satwa liar dan kesadaran konservasi dapat menyelamatkan jerapah
Jerapah adalah mamalia tertinggi di dunia dan ikon dari Afrika. Meski begitu, mereka rentan terhadap kepunahan. Populasi jerapah telah menurun hingga 40 persen dalam 30 tahun terakhir dan kini hanya tersisa kurang dari 70.000 individu dewasa di alam liar.
Lima ancaman terbesar bagi jerapah di antaranya hilangnya habitat, penegakan hukum yang tidak memadai, perubahan ekologi, perubahan iklim, dan kurangnya kesadaran, menurut situs The Conversation.
Hadapi krisis kepunahan
Jerapah menghadapi krisis kepunahan yang tak terlihat di Afrika. Namun, masih ada harapan mereka dapat diselamatkan jika orang-orang memahami dan mengatasi ancaman tersebut.
Studi mengurutkan ancaman dan melihat tindakan yang berpotensi untuk mengurangi dampaknya. Simulasi menunjukkan bahwa faktor risiko terbesar bagi kepunahan jerapah lokal adalah berkurangnya penegakan hukum satwa liar yang menyebabkan meningkatnya perburuan liar.
Studi ini menggunakan data dari lebih dari 3.100 jerapah yang diidentifikasi selama delapan tahun di area seluas 4.500 km² yang tidak dipagari di ekosistem Tarangire di Tanzania.
Peneliti menggunakan data tersebut untuk mensimulasikan bagaimana perubahan lingkungan dan penggunaan lahan dapat memengaruhi populasi jerapah selama 50 tahun.
Dalam model tersebut, peningkatan penegakan hukum akan mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan perluasan kota di sepanjang tepi kawasan lindung. Studi ini menyoroti manfaat besar penegakan hukum sebagai alat konservasi alam.
Mengingat wilayah jelajah mereka yang luas di seluruh Afrika dan wilayah masing-masing yang luasnya ribuan hektar, jerapah kemungkinan tidak akan bertahan hidup hanya di dalam batas-batas wilayah lindung yang kecil dan terfragmentasi.
1. Degradasi, fragmentasi dan hilangnya habitat

Jerapah membutuhkan area sabana yang luas dengan semak dan pohon asli yang melimpah untuk dimakan. Ancaman terbesar bagi jerapah adalah degradasi, fragmentasi, dan hilangnya habitat mereka akibat aktivitas manusia seperti pertanian dan perluasan pemukiman manusia.
Hilangnya habitat di luar kawasan lindung merupakan alasan utama penurunan jumlah jerapah akhir-akhir ini.
Para penggembala tradisional seperti suku Maasai di Tanzania utara menjaga hamparan sabana alami yang luas tempat satwa liar dan manusia berkembang bersama.
Akan tetapi, sebagian besar orang yang kini tinggal di daerah yang dulunya merupakan habitat jerapah. Seiring dengan bertambahnya jumlah petani dan penduduk kota, jerapah terpaksa tinggal di daerah yang lebih kecil dan terisolasi. Hal ini mengurangi akses mereka terhadap makanan dan air, serta meningkatkan kerentanan.
2. Penegakan hukum yang tidak memadai
Ancaman besar lainnya bagi jerapah adalah perburuan liar untuk pasar daging hewan liar. Hal ini biasanya dikendalikan oleh sindikat kriminal internasional.
Penegakan hukum satwa liar yang kuat adalah alat terbaik untuk memerangi ancaman ini. Para pegiat konservasi berupaya untuk memperkuat penegakan hukum lokal dan internasional terkait kejahatan terhadap satwa liar, dan untuk mengurangi permintaan produk jerapah.
Di tingkat bawah, hal ini memerlukan dukungan patroli antiperburuan liar oleh penjaga hutan dan pengintai satwa liar desa. Penting juga bagi masyarakat untuk memiliki alternatif mencari nafkah yang legal.
3. Perubahan ekologi

Ancaman utama ketiga bagi jerapah adalah perubahan ekologi yang disebabkan manusia yang memengaruhi ketersediaan dan mobilitas makanan mereka.
Perubahan ini meliputi penggundulan hutan sabana untuk produksi kayu bakar dan arang, aktivitas pertambangan, serta pembangunan jalan dan jaringan pipa. Pengalihan air dan pemompaan air tanah juga memengaruhi habitat dan akses mereka terhadap air.
Pertambangan, jalan raya, dan jaringan pipa dapat mengganggu pola pergerakan alami satwa liar, yang menyebabkan populasi menjadi lebih kecil dan terisolasi sehingga lebih rentan terhadap kepunahan lokal.
4. Perubahan iklim.

Perubahan iklim akibat polusi karbon dioksida yang disebabkan manusia diperkirakan akan meningkatkan suhu dan curah hujan di banyak wilayah sabana Afrika. Jerapah tidak terpengaruh oleh suhu yang lebih tinggi, tetapi peningkatan curah hujan musiman dikaitkan dengan kelangsungan hidup mereka yang lebih rendah karena penyakit dan kualitas makanan yang lebih rendah.
Dalam jangka panjang, curah hujan yang lebih tinggi akan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan tutupan tanaman berkayu di sabana. Hal ini dapat membantu jerapah meningkatkan pasokan makanan, tetapi hanya jika sabana alami yang terlindungi dari eksploitasi manusia.
5. Kurang pengetahuan dan kesadaran
Ancaman utama terakhir bagi jerapah adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang kebutuhan konservasi mereka. Jerapah sering kali diabaikan dan kurang terwakili dalam penelitian, pendanaan dan kebijakan satwa liar. Banyak orang tidak menyadari bahwa jerapah terancam punah dan menghadapi berbagai ancaman di seluruh Afrika.
Para pegiat konservasi berupaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang jerapah di tingkat lokal dan dunia. Para ilmuwan mempelajari demografi, pola makan, perilaku dan genetika jerapah.
Diusulkan agar padang rumput yang digunakan oleh satwa liar dan penggembala sebagai jalur pergerakan dilindungi secara permanen dari pertanian, pertambangan, dan infrastruktur. Ini akan memberi manusia serta hewan yang memiliki wilayah jelajah luas seperti jerapah kebebasan untuk berkeliaran.
Hal ini juga memerlukan perluasan penegakan hukum satwa liar di luar kawasan lindung formal. Tindakan-tindakan ini akan membantu memungkinkan manusia dan jerapah untuk berkembang bersama.