Kerap Terancam Gagal Panen, Petani Harus Adopsi Konsep Lebih Modern

Pertanian di Indonesia kerap terancam gagal panen. Masalahnya cukup beragam seperti perubahan iklim, hama yang semakin kebal pada produk perlindungan tanaman, dan lahan yang semakin berkurang.
Direktur Eksekutif CropLife Indonesia, Agung Kurniawan menyebut masalah ini membuat petani sulit memenuhi kuota produksi pangan dan harus mengimpor dari negara lain.
"Pada akhirnya ketahanan pangan nasional kita bisa terancam jika tidak ada intervensi di bidang sains dan teknologi," ujarnya di Jakarta, pada Jumat (02/01/2024).
Urgensi adopsi bioteknologi
Asosiasi nirlaba Croplife Indonesia kian mempertegas komitmennya untuk mewakili kepentingan petani dan industri benih serta pestisida, termasuk lewat edukasi.
Mereka bertujuan meningkatkan pemahaman mengenai urgensi adopsi serta pengembangan riset bioteknologi pertanian demi menjaga ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Agung mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat terbuka dan mendukung upaya-upaya pengembangan inovasi bioteknologi, misalnya budidaya tanaman dan benih bioteknologi atau Produk Rekayasa Genetika (PRG).
Namun, proses riset yang panjang dan regulasi yang kompleks membuat distribusi benih bioteknologi di Indonesia cenderung lebih lambat dibanding negara lain.
"Di berbagai negara seperti Filipina, benih-benih dan tanaman bioteknologi sudah diakses petani dan hasilnya juga dikonsumsi publik secara luas berbarengan dengan versi konvensional," imbuh Agung.
Dia berharap Indonesia bisa segera menyusul langkah tersebut. Sementara itu Croplife Indonesia telah berupaya mengadvokasi praktik pertanian modern agar terus didukung pemerintah dan mendapat penerimaan baik oleh masyarakat.
Salah satu yang dilakukan termasuk mengedukasi petani tentang pemakaian produk perlindungan tanaman, melawan peredaran produk palsu, dan menjaga upaya pertanian berkelanjutan lewat bioteknologi pertanian.
Bioteknologi tingkatkan pendapatan petani

Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Molekuler Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Anggota Tim Teknis Keamanan Hayati KLHK, Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto M.Sc., menjelaskan penggunaan benih bioteknologi sangat berpihak pada petani.
"Teknik-teknik bioteknologi moderen seperti benih PRG ataupun benih hasil penyuntingan gen (genome editing), memang dirancang dan dikembangkan oleh peneliti dengan tujuan untuk meminimalisir potensi hasil kehilangan petani," katanya.
Produk-produk bioteknologi pertanian seperti benih ini sangat berguna bagi petani kecil karena tanaman akan mempunyai sifat-sifat yang unggul seperti lebih adaptif terhadap perubahan cuaca ekstrem atau memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit jika dibandingkan dengan benih konvensional/non-PRG.
"Kalau mengandalkan benih konvensional saja, petani akan sulit bertahan menghadapi perubahan iklim ataupun Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang akan selalu ada. Hal-hal ini akan menyebabkan penurunan hasil panen dari petani. Tentu saja pengelolaan (bioteknologi) di lapangan selalu memperhatikan aspek ekologis dan sustainability,” jelasnya.
Anton turut membagikan temuan J. GM Crops & Food yang menyatakan bahwa adopsi benih bioteknologi ke pertanian dunia terbukti meningkatkan pendapatan petani secara signifikan.
Di tahun 2020 saja, peningkatan pendapatan petani global mencapai USD 18,8 miliar. Jika dirinci, nilai pendapatan petani di negara berkembang naik 52 persen, sementara petani di negara maju naik 48 persen. Naiknya pendapatan itu berasal dari peningkatan produksi dan penghematan biaya seperti input pertanian (agricultural input) dan biaya operasional lain.
Sebagai gambaran, benih bioteknologi membantu petani melindungi 23,4 juta hektar habitat alami, setara seperti luas Vietnam yang digabung dengan Filipina. Teknologi ini telah mengurangi emisi gas rumah kaca dengan jumlah yang setara seperti mengurangi 15,6 juta mobil di jalan.
“Bisa dibayangkan keuntungan yang akan didapat jika masyarakat kita lebih terbuka terhadap inovasi teknologi dan tidak mudah termakan dengan mitos yang beredar,” kata Anton.