Satu Penemuan Dua Bapaknya, 5 Fakta Drama di Balik Lahirnya Kalkulus

- Newton memulai lebih dulu, tetapi sangat tertutup
- Newton meletakkan dasar-dasar kalkulus pada pertengahan tahun 1660-an, tetapi tidak pernah menerbitkan karyanya secara utuh dan sistematis saat itu.
- Leibniz menerbitkan karyanya lebih awal dan membuat geger
- Leibniz menerbitkan artikel pertamanya tentang kalkulus di jurnal ilmiah Acta Eruditorum pada tahun 1684, membuat nama Leibniz melambung sebagai penemu kalkulus di seluruh Eropa.
- Notasi Leibniz ternyata lebih unggul dan dipakai hingga kini
- Sistem notasinya yang elegan dan intuitif membuat notasi Leibn
Dunia sains pada akhir abad ke-17 digemparkan oleh lahirnya sebuah cabang matematika yang revolusioner, yaitu kalkulus. Alat baru yang super canggih ini memungkinkan para ilmuwan untuk memahami perubahan, gerak, dan kurva dengan cara yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik penemuan hebat ini, tersimpan kisah persaingan sengit antara dua pemikir terhebat di zaman itu, Isaac Newton di Inggris dan Gottfried Wilhelm Leibniz di Jerman, yang sama-sama mengklaim sebagai penemu pertama.
Alih-alih menjadi sebuah kolaborasi indah, penemuan ini justru memicu kontroversi intelektual paling panas dalam sejarah. Pertarungan ini bukan sekadar adu gengsi pribadi, melainkan meluas menjadi perseteruan nasionalisme antara Inggris dan seluruh daratan Eropa. Bagaimana mungkin dua orang di tempat berbeda bisa menemukan hal yang sama secara bersamaan, dan siapa sebenarnya yang lebih dulu sampai di puncak penemuan ini? Kisah mereka adalah drama tentang kejeniusan, ambisi, kerahasiaan, dan tuduhan plagiarisme yang dampaknya terasa hingga kini.
1. Newton memulai lebih dulu, tetapi sangat tertutup

Isaac Newton sebenarnya telah meletakkan dasar-dasar kalkulus jauh lebih awal. Pada pertengahan tahun 1660-an, saat wabah pes melanda London dan memaksanya pulang ke rumahnya di pedesaan, Newton mengalami periode kreativitas yang luar biasa. Di sanalah ia merumuskan apa yang disebutnya sebagai "metode fluksion", sebuah sistem untuk memahami laju perubahan yang menjadi inti dari kalkulus diferensial.
Sayangnya, Newton adalah sosok yang sangat perfeksionis dan tidak suka dikritik. Ia menuliskan temuannya dalam manuskrip-manuskrip yang hanya dibagikan kepada lingkaran kecil teman-temannya. Dilansir STEM Fellowship, ia tidak pernah menerbitkan karyanya secara utuh dan sistematis saat itu. Sebagian gagasannya memang terselip dalam mahakaryanya, Principia Mathematica (1687), tetapi metode lengkapnya tetap menjadi rahasia yang ia simpan rapat-rapat selama puluhan tahun.
2. Leibniz menerbitkan karyanya lebih awal dan membuat geger

Di sisi lain benua Eropa, Gottfried Wilhelm Leibniz, seorang filsuf dan matematikawan Jerman, mulai mengembangkan versinya sendiri tentang kalkulus pada pertengahan 1670-an. Berbeda dengan Newton yang memulai dari pendekatan fisika dan geometris, Leibniz mendekatinya dari sisi yang lebih filosofis dan analitis. Ia berfokus pada konsep infinitesimal atau bilangan yang sangat kecil tak terhingga.
Leibniz tidak membuang waktu untuk membagikan penemuannya kepada dunia. Pada tahun 1684, ia menerbitkan artikel pertamanya tentang kalkulus di jurnal ilmiah Acta Eruditorum. Dilansir Britannica, publikasi ini menjadi momen penting karena untuk pertama kalinya, metode kalkulus dijelaskan secara terbuka dan sistematis kepada komunitas ilmiah. Langkah inilah yang membuat nama Leibniz melambung sebagai penemu kalkulus di seluruh Eropa, sementara Newton masih menyimpan karyanya di dalam laci.
3. Notasi Leibniz ternyata lebih unggul dan dipakai hingga kini

Salah satu warisan terbesar Leibniz yang membuatnya unggul dalam persaingan ini adalah sistem notasinya. Leibniz memperkenalkan simbol-simbol yang elegan dan intuitif, seperti dy/dx untuk turunan dan simbol integral ∫ (berasal dari huruf 'S' yang memanjang untuk kata "summa" atau jumlah). Notasi ini sangat praktis dan memudahkan para matematikawan untuk memahami dan menggunakan kalkulus.
Sebaliknya, notasi "fluksion" Newton menggunakan titik di atas variabel (misalnya, ẏ) untuk menandakan laju perubahan. Meskipun efektif untuk dirinya sendiri, notasi ini dianggap kurang fleksibel dan lebih sulit digunakan oleh orang lain. Dilansir MacTutor dari University of St Andrews, keunggulan notasi Leibniz inilah yang membuatnya diadopsi secara luas di Eropa dan menjadi standar global yang kita kenal di buku-buku pelajaran matematika hingga hari ini.
4. Tudingan plagiarisme memicu perseteruan sengit antarnegara

Ketika karya Leibniz mulai menyebar luas, para pendukung Newton di Inggris menjadi geram. Mereka merasa Leibniz telah mencuri ide dari manuskrip-manuskrip Newton yang belum dipublikasikan, yang mungkin pernah ia lihat secara singkat saat berkunjung ke London beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 1708, tudingan plagiarisme dilontarkan secara terbuka oleh matematikawan John Keill, memicu api perseteruan yang membara.
Perselisihan ini dengan cepat berubah dari debat akademis menjadi konflik kebanggaan nasional. Royal Society di London, yang saat itu dipimpin oleh Newton sendiri, membentuk sebuah komite untuk menyelidiki masalah ini. Seperti yang bisa ditebak, komite tersebut memutuskan bahwa Newton adalah penemu pertama dan menuduh Leibniz melakukan penipuan. Dilansir Oxford Academic, keputusan yang bias ini memecah komunitas matematika Eropa menjadi dua kubu: Inggris yang teguh mendukung Newton, dan seluruh benua yang membela Leibniz.
5. Sejarah akhirnya mengakui keduanya sebagai penemu independen

Setelah puluhan tahun saling serang dan menuduh, sejarah akhirnya memberikan pandangan yang lebih adil. Para sejarawan dan matematikawan modern sepakat bahwa Newton dan Leibniz menemukan kalkulus secara independen satu sama lain. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "penemuan ganda", bukanlah hal aneh dalam sains, di mana beberapa pemikir brilian bisa mencapai kesimpulan yang sama ketika fondasi pengetahuan yang ada sudah matang.
Newton memang yang pertama kali menemukan konsepnya, tetapi Leibniz adalah yang pertama kali mempublikasikannya dan memberikan notasi yang lebih unggul. Ironisnya, perseteruan ini justru merugikan perkembangan matematika di Inggris selama hampir satu abad. Para matematikawan Inggris bersikeras menggunakan notasi Newton yang kurang praktis, membuat mereka tertinggal dari kemajuan pesat yang terjadi di daratan Eropa yang menggunakan sistem Leibniz.
Pada akhirnya, kisah Newton dan Leibniz bukanlah tentang siapa yang menang, melainkan tentang bagaimana dua pemikiran brilian bisa sampai pada puncak yang sama dari jalur yang berbeda. Warisan mereka berdua kini menjadi fondasi tak tergantikan bagi sains dan teknologi modern yang kita nikmati setiap hari.
















