Bolehkah Atlet Sepak Bola Menolak Panggilan Timnas?

Panggilan membela tim nasional adalah salah satu highlight dalam karier seorang atlet. Sampai-sampai menolaknya adalah sebuah hal yang tabu, ganjil, bahkan terkesan arogan. Rasanya jarang, bahkan aneh saat mendengar seorang pemain sepak bola menolak panggilan timnas, kecuali benar-benar terhalang sejumlah alasan kuat.
Beberapa alasan yang dimaksud, misalnya, cedera atau sakit, isu administrasi kewarganegaraan, dan urusan pribadi mendesak. Selain alasan-alasan tadi, amat jarang menemukan pemain menolak panggilan timnas. Namun, benarkah atlet punya kewajiban untuk mengamini panggilan timnas? Mari kupas lebih dalam lewat sejumlah regulasi dan contoh berikut!
1. Tak ada kewajiban untuk membela timnas bagi seorang atlet sepak bola
FIFA selaku badan pengatur urusan sepak bola dunia tidak punya aturan khusus yang menyatakan kewajiban bagi pemain untuk memenuhi panggilan tim nasional. Sejauh ini, regulasi yang berlaku hanya mengikat klub sepak bola. Mereka diwajibkan melepas pemain bila diminta federasi sepak bola negaranya untuk keperluan pertandingan resmi sesuai jadwal International Match Calendars (IMC). Dalam regulasi itu diatur pula detail durasi kepergian pemain dari klub untuk membela timnas.
Intinya, klub tidak punya hak untuk menghalangi pemain memperkuat timnas dan itu dijamin FIFA. Namun, tak ada klausa yang menyatakan bahwa pemain wajib memenuhi panggilan federasi. Keputusan menerima dan menolak sudah masuk hak personal atlet.
2. Ada konsekuensi tak langsung yang harus ditanggung
Semua keputusan punya konsekuensinya sendiri. Jika menolak, pemain berpotensi tak dipanggil lagi oleh pelatih timnas dan federasi. Meski secara etika keputusan pemain diutarakan secara pribadi kepada federasi, tak menutup kemungkinan penolakan ini terendus publik. Alhasil, pemain juga harus menghadapi risiko dihakimi publik yang bisa saja menganggap mereka arogan.
Di negeri sendiri, Elkan Baggott adalah salah satu pemain yang dihujat publik karena masalah ini. Baggott dipercaya menolak panggilan pelatih Timnas Indonesia saat itu, Shin Tae Yong, yang membutuhkannya untuk Piala Asia U-23 2024. Tak ada alasan jelas yang disebutkan dan spekulasi liar pun berkembang. Beberapa percaya Baggott ingin fokus dengan kariernya di klub, tetapi tak sedikit yang justru menyorot keputusannya mengunggah foto-foto liburannya di media sosial pada periode tersebut.
Baggott bukan kasus satu-satunya. Johan Cruyff juga pernah jadi bulan-bulanan media karena menolak membela Timnas Belanda untuk Piala Dunia 1978. Spekulasi berkembang dengan cepat, tetapi ia kemudian menegaskan keputusannya berkaitan dengan percobaan penculikan yang dialaminya beserta keluarga beberapa bulan sebelum turnamen tersebut berlangsung.
Beberapa pemain Inggris, seperti Ben White dan Jude Bellingham, juga pernah menolak panggilan Gareth Southgate. Begitu pula dengan Marco Verratti, Artem Dzyuba, dan Zlatan Ibrahimovic. Alasan mereka cukup beragam, mulai dari masalah pribadi dengan salah satu staf di timnas, urusan keluarga, kebutuhan untuk istirahat, sampai perasaan tidak berhak karena tak dapat menit bermain cukup di klub.
3. Atlet menolak memperkuat timnas karena alasan politik
Alasan politik juga pernah dipakai beberapa pemain untuk menolak panggilan timnas. Pemain timnas perempuan Spanyol pernah kompak menolak panggilan federasi pada 2023 sebagai bentuk protes. Ini terkait dengan belum dibenahinya regulasi dan jaminan proteksi pemain setelah indikasi pelecehan seksual yang dilakukan mantan presiden Federasi Sepak Bola Spanyol, Luis Rubiales. Protes serupa juga pernah dilakoni para atlet sepak bola perempuan Timnas Kanada pada 2022. Masalahnya terletak pada ketidaksetaraan upah antara atlet pria dan perempuan.
Menilik jauh ke belakang, alasan politik juga jadi alasan yang dipakai Matthias Sindelar dari Austria untuk menolak panggilan timnas. Sindelar adalah pemain sepak bola yang aktif pada era 1920-1930-an. Ia adalah bintang FK Austria Vienna dan Timnas Austria pada era itu. Namun, sejak Austria dianeksasi Nazi dan timnas mereka dilebur dengan Jerman, Sindelar memilih pensiun dari sepak bola. Ia berganti karier jadi pengelola kafe setelah pensiun pada usia 35 tahun. Miris, pada 1939, setahun setelah resmi berhenti jadi atlet, Sindelar ditemukan tewas di apartemennya karena keracunan gas karbon monoksida dari mesin penghangat yang rusak.
Kematiannya memunculkan dua teori. Polisi menegaskan itu murni kecelakaan, tetapi tak sedikit yang percaya kalau kecelakaan itu disengaja. Ini karena Sindelar dikenal anti-Nazi. Setelah menolak membela Timnas Austria-Jerman (di bawah Nazi), ia membeli kafe yang tidak menerapkan perlakuan diskriminatif terhadap warga Yahudi di Vienna. Kafe itu bahkan ia beli dari Leopold Drill, pria Yahudi yang terpaksa menjual asetnya seiring menguatnya regulasi rasis Nazi di Austria.
Kesimpulannya, atlet punya hak untuk menolak panggilan timnas dengan alasan apa pun. Tak ada pula kewajiban bagi mereka untuk menjelaskan alasannya. Namun, sebagai figur publik, tak dapat dimungkiri akan ada tekanan yang mereka dapat. Bagaimanapun, tiap keputusan punya konsekuensinya sendiri.