Peter Gade, Sang Dinamit dari Aalborg

Tak banyak gelar bergengsi, Gade melegenda dengan cara unik

Jakarta, IDN Times - Setelah era kejayaan Morten Frost, mari jujur saja, hampir tidak ada atlet dari Benua Eropa yang mampu menandingi kejayaan pebulutangkis Asia di kancah global. Frost, salah satu tunggal terbaik dunia dari Benua Biru, bahkan saking hebatnya, Frost juga dijuluki Mr. Badminton, mampu mengoleksi 4 gelar All England dan pensiun dengan salah satu predikat sebagai legenda bulu tangkis dunia di nomor tunggal putra.

Sampai kemudian, di awal 1990-an, Denmark memunculkan sang nama ikonik: Peter Gade Christensen.

Pria kelahiran Aalborg, Denmark ini sejatinya memulai karier junior sebagai spesialis ganda putra. Berpasangan dengan Peder Nissen, Gade muda kala itu sukses merengkuh gelar juara dunia junior di nomor ganda putra pada Kejuaraan Dunia Junior 1994.

Tapi siapa sangka, ketika beralih dan kemudian fokus di nomor tunggal putra, nama Peter Gade menyeruak sebagai salah satu atlet tunggal putra yang disegani tak hanya di Eropa namun juga dunia. Dan sejak itu, seperti kata orang-orang, the rest is history.

1. Punya pukulan double action yang legendaris

Peter Gade, Sang Dinamit dari AalborgPeter Gade kini beralih sebagai pelatih usai pensiun pada tahun 2012. (Instagram.com/petergadeofficial)
https://www.youtube.com/embed/9Esp6Rw3Hxc

Jika Taufik Hidayat dikenal dengan backhand smash-nya yang luar biasa, Gade pun tak kalah dibanding rival klasiknya itu. Kala itu, Peter Gade punya pukulan andalan yang oleh banyak pengamat dan pencinta bulu tangkis dinamakan sebagai double action. Di sejarahnya, Gade memang salah satu pemain tunggal putra yang punya variasi pukulan cukup banyak pada masanya.

Double action sendiri adalah variasi pukulan yang begitu diandalkan Gade untuk mendulang poin. Dalam praktiknya, Gade akan menyongsong shuttlecock di depan net untuk kemudian seolah-olah memancing lawan melakukan permainan net, namun dalam hitungan detik, ia justru mendorong shuttlecock ke belakang permainan lawan tepat ketika sang lawan sudah berniat maju menyongsong di depan net, sehingga kemungkinan lawan akan mati langkah sangat besar.

Pukulan tricky ini sendiri terbukti sanggup merepotkan nama-nama besar di dunia bulu tangkis kala itu seperti Taufik, Lin Dan, hingga Lee Chong Wei. Selain itu, Gade juga dikenal dengan gaya main ofensif yang cepat dan menyerang. Seperti bagaimana Timnas Denmark dijuluki sebagai The Dynamite di kancah sepak bola, Gade pun ibarat dinamit yang selalu siap meledak di hadapan lawan-lawannya.

Baca Juga: Lin Dan Kalah, Tiongkok Tanpa Gelar di Korea Masters 2019!

2. Tak banyak gelar bergengsi, kenapa Peter Gade begitu legendaris?

Peter Gade, Sang Dinamit dari AalborgPeter Gade dalam laga eksebisi Yonex All Star Legends di All England 2020. (Instagram.com/petergadeofficial)

Sedikit yang unik dari Peter Gade, patut diakui memang, adalah ia tak banyak memenangkan gelar bergengsi yang prestisius. Ia tak pernah memenangkan medali emas Olimpiade seperti Taufik Hidayat, pun Gade tak juga mampu menjuarai Kejuaraan Dunia versi BWF seperti Lin Dan.

Tercatat, Gade hanya mengoleksi 1 gelar dari All England yakni pada tahun 1999. Dan di tahun yang sama, Gade juga menjuarai World Grand Prix, sejenis Kejuaraan Dunia yang kala itu dihelat oleh IBF, federasi lawas bulu tangkis dunia. Saat itu di Brunei Darussalam, Peter Gade menundukkan wakil Indonesia di final, Marleve Mainaky, untuk meraih gelar juara dunia.

Namun, legendarisnya sosok Gade tentu karena ia ada di satu masa di mana bulu tangkis dunia kala itu disesaki nama-nama tenar macam Taufik, Lin Dan, dan Lee Chong Wei. Belum lagi, masih ada sosok Xia Xuanze, senior Lin Dan yang juga salah satu pebulutangkis legendaris Tiongkok. Dan di tengah dominasi wakil Asia di top level, Gade nyatanya mampu jadi pebulutangkis nomor satu dunia dari rentang 1998-2001.

3. Gagal di Olimpiade hingga menyematkan julukan Super Dan yang begitu membekas di ingatan

Peter Gade, Sang Dinamit dari AalborgPeter Gade mendirikan akademi bulu tangkis bekerja sama dengan Yonex. (Instagram.com/petergadeofficial)

Selain deret kesuksesan, Gade juga dikenal dengan berderet kegagalan terutama di ajang Olimpiade. Sepanjang kariernya, ayah dua anak ini mengikuti 4 kali Olimpiade yakni tahun 2000, 2004, 2008, dan 2012.

Di edisi 2000, yang dihelat di Sydney, Australia, Gade sejatinya mampu lolos ke semifinal namun harus keok dari wakil Tiongkok, Ji Xinpeng. Setelahnya di laga perebutan perunggu, Gade juga kembali kalah dari wakil Tiongkok lain yakni Xia Xuanze.

4 tahun berselang, di Olimpiade 2004, Athena, Yunani, Gade mulus melaju ke perempat final sebelum langkahnya dihentikan sang peraih medali emas di ajang itu, Taufik Hidayat, dari Indonesia.

Di Beijing, 2008, lagi-lagi, langkah Gade terhenti di perempat final, kali ini lewat tangan sakti, Lin Dan. Sebelum akhirnya di edisi 2012, Gade mengakhiri perjuangannya mengejar medali emas Olimpiade setelah ia takluk atas wakil Tiongkok lain, Chen Long.

Satu yang membekas lagi adalah bagaimana ia memberi julukan "Super Dan" untuk Lin Dan usai keduanya bertanding di laga final All England 2004. Bertarung tiga set di salah satu final terbaik dalam sejarah All England, Gade kalah dengan skor 15-9, 5-15, dan 8-15 dari Lin Dan yang kala itu baru berusia 21 tahun.

Selepas laga sengit itu sendiri, Gade mengakui kehebatan lawannya itu sampai kemudian menyematkan julukan "Super Dan", nama yang dipakai media dan pencinta bulu tangkis untuk mengingat kehebatan Lin Dan.

Setelah 18 tahun berkarier, usai ajang French Open 2012 di mana ia tersingkir di babak perempat final, Peter Gade akhirnya resmi gantung raket.

Baca Juga: Juarai All England 2020, Viktor Axelsen Malah Didenda oleh BWF!

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya