Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kontroversi Strategi 2 Pitstop di Balik F1 GP Monako 2025

potret mobil F1 McLaren MCL38 (commons.wikimedia.org/Liauzh)
potret mobil F1 McLaren MCL38 (commons.wikimedia.org/Liauzh)

Lando Norris berhasil keluar sebagai pemenang Formula 1 GP Monako 2025 diikuti Charles Leclerc di posisi ke-2 dan Oscar Piastri di posisi ke-3. Selain kemenangan Norris, salah satu hal yang menjadi sorotan pada gelaran balapan Minggu (25/5/2025) kemarin adalah mengenai regulasi dua kali pitstop dan menggunakan tiga jenis ban berbeda dalam satu balapan. Inovasi ini diharapkan dapat memecah kebosanan yang kerap terjadi di Monako akibat minimnya aksi salip-menyalip.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Aturan tersebut justru menciptakan celah bagi manipulasi strategi tim yang menurunkan kualitas persaingan yang mengutamakan kemampuan individual pembalap. Kritik pun muncul dari para pembalap, analis balapan, hingga penggemar yang menyebut eksperimen ini sebagai langkah mundur dalam dunia balap jet darat.

1. Meski niatnya baik, aturan dua pitstop justru dimanfaatkan untuk memanipulasi strategi

Federasi Otomobil Internasional (FIA) mengambil langkah berani dengan menerapkan aturan dua pitstop wajib di GP Monako 2025. Dalam regulasi tersebut, setiap pembalap diwajibkan mengganti ban minimal dua kali dan menggunakan tiga jenis kompon ban berbeda sepanjang 78 lap. Tujuan utama kebijakan ini adalah menambah dinamika balapan yang selama ini kerap disebut ‘Sunday Morning Ride (Sunmori)’ karena hampir tidak ada aksi salip-menyalip.

Musim 2024 menjadi asal muasal perubahan ini. Kala itu, balapan dimulai dengan insiden bendera merah pada lap pertama yang membuat sebagian besar pembalap tak perlu lagi masuk pit. Pembalap sepuluh besar finis dalam urutan kualifikasi tanpa perubahan posisi berarti. Dalam upaya menghindari ulangan kejadian serupa, FIA memperkenalkan aturan baru untuk meningkatkan peluang strategi tim serta ketidakpastian hasil akhir.

Walaupun maksudnya baik, banyak pihak langsung mempertanyakan efektivitasnya. Di atas kertas, pitstop tambahan mungkin menawarkan lebih banyak momen tak terduga. Namun pada kenyataannya, hal ini justru membuka ruang untuk manipulasi strategi. Dengan karakteristik Monako yang sempit dan minim ruang menyalip, celah ini dimanfaatkan tim untuk memberi ruang aman bagi rekan setim agar bisa masuk pit tanpa kehilangan posisi di lintasan.

2. Beberapa pembalap F1 turut mengkritik regulasi dua pitstop

Taktik manipulatif segera terlihat sejak balapan dimulai. Tim-tim seperti Williams dan Racing Bulls memperlambat salah satu mobil mereka agar rekan setim di depan bisa masuk pit dan kembali ke lintasan tanpa kehilangan posisi. Pembalap Williams, Carlos Sainz, menjadi salah satu yang paling vokal mengkritik metode ini. 

“Intinya, kamu berkendara 2 atau 3 detik lebih lambat dari kecepatan yang seharusnya bisa dilakukan mobil. Ini berarti kamu secara tidak langsung mengatur jalannya dan sedikit memanipulasi hasil balapan. Di Monako, hal itu sangat mudah dilakukan. Berbeda dengan trek lain yang punya DRS dan trek lurus, di sana kamu tak bisa melakukan ini.

Aku sepenuhnya mengerti mengapa dia (George Russell) melakukannya, karena aku nyaris melakukannya. Dulu, ada penalti besar akibat memanipulasi balapan. Pada akhirnya, kami tidak menabrak, tetapi kami mengemudi sangat lambat sehingga kami memanipulasi balapan,” ungkap Sainz dikutip Motorsport.

Max Verstappen pun melontarkan kritik dengan nada sarkastik. Juara dunia F1 empat kali itu menyamakan balapan kali ini dengan permainan video Mario Kart. Ia menyindir, mereka (pembalap) hanya tinggal melemparkan pisang di lintasan agar lebih ‘menarik’. Ia mencoba strategi menunda pitstop hingga lap terakhir dengan harapan munculnya red flag, tetapi tak membuahkan hasil dan finis ke-4.

George Russell mengambil pendekatan ekstrem ketika merasa frustasi terjebak di belakang mobil Williams yang sengaja memperlambat laju. Ia memilih untuk menyalip secara ilegal di chicane, sebuah keputusan yang membuatnya menerima penalti drive-through. Dirinya mengaku melakukannya demi bisa menikmati sisa balapan dengan kecepatan penuh. Menurutnya, mengemudi 4 detik lebih lambat dari batas kemampuan mobil adalah bentuk pembalap ‘bermain catur’, bukan balapan.

3. Pengamat dan penggemar F1 menilai GP Monako membosankan dan merusak integritas kompetisi

Reaksi publik terhadap eksperimen dua pitstop ini sebagian besar bernada negatif. Komentator kawakan seperti Martin Brundle menyebut, ia tidak ingin melihat pembalap top dunia bermain strategi deselerasi daripada menunjukkan keahlian balap sebenarnya. Menurutnya, F1 adalah puncak motorsport, dan mengubahnya menjadi ajang permainan strategi merusak integritas olahraga ini.

Jenson Button, juara dunia F1 2009, menilai strategi saling bantu antar rekan setim tampak aneh dan tidak menarik bagi penonton. Ia menyorot aksi George Russell yang melakukan manuver ilegal terhadap Alexander Albon sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap aturan ini. Menurutnya, situasi ini membuat balapan kehilangan kesan kompetitif dan terlihat seperti pertunjukan yang diatur.

Para penggemar turut menyuarakan kritik di media sosial. Beberapa menyebut GP Monako sebagai balapan paling membosankan yang pernah ada dan menyatakan strategi dua pitstop seharusnya tidak diterapkan lagi pada masa mendatang. Ada juga yang menyoroti ukuran mobil F1 modern yang terlalu besar untuk sirkuit jalanan Monako, dan mengusulkan modifikasi terhadap tata letak lintasan agar balapan lebih kompetitif.

4. Perubahan layout sirkuit dan regulasi 2026 bisa jadi solusi masalah di GP Monako

Setelah eksperimen dua pitstop gagal meningkatkan kualitas balapan secara signifikan, berbagai usulan mulai bermunculan. Salah satu ide yang mengemuka adalah menjadikan sesi kualifikasi sebagai sorotan utama akhir pekan dengan memberikan poin berdasarkan hasil kualifikasi. Saran ini didukung oleh George Russell yang menganggap kualifikasi di Monako jauh lebih menarik dan menantang ketimbang balapan itu sendiri.

Beberapa penggemar dan analis menyarankan agar sirkuit dimodifikasi, misalnya dengan menambah zona DRS di titik-titik tertentu. Ada juga yang mengusulkan perubahan bentuk tikungan agar lebih lebar untuk mempermudah aksi menyalip. Contoh usulan konkret termasuk menghilangkan tikungan 10 dan 11 atau menambahkan zona DRS di bagian terowongan.

Selain itu, regulasi teknis 2026 yang akan membuat mobil F1 lebih kecil dan ringan dianggap sebagai harapan baru. Pengurangan panjang wheelbase hingga 200 mm, lebar mobil sebanyak 100 mm, serta bobot minimum yang lebih rendah bisa membantu mobil-mobil F1 lebih lincah di sirkuit jalan raya sempit seperti Monako. Dengan demikian, aksi balap yang sesungguhnya dapat kembali muncul di sirkuit legendaris ini.

Eksperimen dua pitstop di GP Monako 2025 menyisakan pelajaran penting bahwa solusi instan tidak selalu efektif untuk masalah struktural. Ke depannya, kombinasi reformasi teknis dan pendekatan kreatif terhadap format balapan mungkin menjadi kunci untuk mengembalikan kejayaan Monako sebagai balapan paling prestisius di kalender Formula 1.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo
EditorAtqo
Follow Us