Tan Joe Hok, Si Giant Killer Pengangkat Gengsi Bulu Tangkis Indonesia

- Tan Joe Hok, legenda bulu tangkis Indonesia, meninggal pada Senin (2/6/2025) setelah mengangkat gengsi bulu tangkis Indonesia pada era 1950-an.
- Dikenal dengan teknik halus dan stamina luar biasa, Tan dijuluki The Giant Killer karena mampu mengalahkan lawan yang lebih tangguh.
- Pada 1958, bersama rekan-rekannya, Tan membawa Indonesia menjuarai Piala Thomas untuk pertama kalinya dan meraih All England serta emas Asian Games dalam sektor tunggal putra.
Jakarta, IDN Times - Tan Joe Hok adalah legenda yang mengangkat gengsi bulu tangkis Indonesia. Pada era 1950-an, dia merupakan pemain paling menakutkan bagi lawan-lawannya di atas lapangan.
Tak heran, banyak catatan yang sukses dipecahkan pria yang sempat memakai nama Hendra Kartanegara itu. Kini, semua catatan itu akan jadi sejarah, seiring berpulangnya Tan pada Senin (2/6/2025).
1. Berjuluk The Giant Killer, hingga jadi raksasa sebenarnya
Tan Joe Hok lahir di Bandung, 11 Agustus 1937. Semasa jadi pemain, dia dikenal dengan teknik permainannya yang halus, stamina luar biasa, dan ketajaman taktik. Tak jarang, dia mampu menang dari lawan yang lebih tangguh.
Atas kemampuannya itu, Tan pun dijuluki The Giant Killer, pembunuh para raksasa. Di setiap ajang internasional yang dia ikuti, lawan akan dibuat kesulitan oleh kemampuannya yang lengkap ini.
2. Ragam gelar yang didapat Tan
Kegemilangan Tan dimulai pada 1958. Bersama rekan-rekan seangkatannya seperti Ferry Sonneville, Tan King Gwan, Njoo Kiem Bee, dan Eddy Yusuf, dia membawa Indonesia menjuarai Piala Thomas untuk pertama kalinya.
Pada 1959, Tan jadi orang Indonesia pertama yang meraih All England, usai mengalahkan Ferry di final. Berselang tiga tahun, dia kembali jadi orang Indonesia pertama yang meraih emas Asian Games dari sektor tunggal putra.
Tidak cuma sampai di situ, masih di Asian Games 1962, Tan membawa Indonesia meraih emas di kategori beregu putra. Setelah 1958, dia kembali membawa Indonesia juara Piala Thomas pada 1961 dan 1964.
3. Sempat jadi korban diskriminasi
Sayangnya, kisah Tan tak selamanya diwarnai hal baik. Pada masa awal Orde Baru, dia sulit mendapatkan kewarganegaraan penuh di Indonesia, karena merupakan keturunan Tionghoa.
Padahal, sama sekali tak terpikir bagi Tan untuk meninggalkan Indonesia dan berganti kewarganegaraan. Namun, pada akhirnya dia tetap harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
4. Dedikasi sebagai pelatih
Terlepas dari tindak diskriminasi yang didapat, Tan tetap mencintai Indonesia. Usai pensiun, dia mengabdi sebagai pelatih. Sempat melatih di Meksiko dan Hong Kong, dia jadi pelatih PB Djarum pada 1982.
Momen besar terjadi pada 1984 ketika Tan dipercaya melatih Indonesia di Piala Thomas. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia kembali jadi juara setelah menaklukkan China di final.
Disiplin, semangat nasionalisme, dan integritas, menjadi ciri khas Tan. Dia bahkan menolak penghargaan uang dari Presiden Sukarno, dengan alasan rakyat Indonesia lebih memerlukan bantuan tersebut.
Kini, Tan telah berpulang. Duka itu ada, tetapi kepergiannya juga menghadirkan warisan yang tak ternilai. Dia adalah pembuka jalan dan pengangkat harkat serta martabat bulu tangkis Indonesia di level internasional. Selamat jalan, legenda!