Euro 2024 Disebut sebagai Edisi Teranyep, Mengapa?

Sudah mencapai semifinal, Euro 2024 rasanya tak semeriah edisi-edisi sebelumnya. Ada yang kurang dari tahun ini. Tak ada bintang baru yang benar-benar mencolok, tak banyak drama dan intrik yang menarik buat diulik, pun 4 tim yang tersisa di partai semifinal adalah juara bertahan yang kelolosannya tak mengejutkan.
Apa yang bikin Euro 2024 seanyep ini? Faktor apa saja yang kiranya bisa jadi evaluasi untuk penyelenggaraan turnamen serupa pada masa depan? Mari kupas setajam-tajamnya.
1. Daftar pemain yang benar-benar memorable terbatas

Salah satu faktor yang bikin Euro 2024 anyep alias tak seberapa menarik adalah ketiadaan pemain-pemain yang benar-benar memorable. Hanya ada beberapa nama yang mungkin bakal kamu ingat, seperti Lamine Yamal, Arda Guler, dan Georges Mikautadze.
Mirisnya lagi, top skor Euro 2024 sampai menjelang semifinal baru mencetak 3 gol. Itu pun mayoritas diisi pemain yang timnya sudah tersingkir pada babak gugur. Hanya Cody Gakpo dari Belanda yang berpeluang menambah pundi gol.
Melihat situasi ini, ada potensi rekor top skor Euro bakal lebih kecil dibanding dua edisi sebelumnya yang mencapai 5--6 gol, yakni pada edisi 2020 dan 2016. Orang mulai membandingkan Euro 2024 dengan edisi lawas yang jauh lebih variatif. Misalnya Michel Platini yang rekam rekor 9 gol dalam satu turnamen pada 1984 dan top skor Euro 1988 Marco Van Basten yang ciptakan gol ikonik.
Ingat juga, Angelos Charisteas yang paling dikenang saat Yunani merebut Piala Eropa 2004. Andres Iniesta dan Xavi yang menandai generasi emas Spanyol dengan memenangkan Euro 2008 dan 2012 berturut-turut. Adapun duet maut Roman Pavlyuchenko dan Andrey Arshavin pada edisi 2008. Tak lupa, Antoine Griezmann yang alami kenaikan performa signfikan pada Euro 2016.
2. Permainan terlalu taktikal dan berorientasi pada hasil

Selain kurangnya pemain-pemain yang bisa diingat, gaya bermain tim peserta Euro 2024 juga terlihat kurang menarik. Banyak tim yang menggunakan pendekatan taktikal dan terstruktur, membuat pergerakan mereka mudah tertebak. Bahkan, tak sedikit penikmat dan pundit sepak bola yang menyamakan para pemain dengan robot saking tak luwesnya mereka. Tempo permainan pun terasa lebih lambat karena diukur masak-masak.
Hanya beberapa tim yang menyelamatkan Euro 2024 dari keanyepan, yakni Georgia, Turki, dan Rumania. Mereka satu dari sedikit tim yang gaya bermainnya dan pola ball progression-nya relatif lebih cair dan dinamis, cenderung kaos, tapi tetap seru ditonton.
Inggris jadi salah satu tim yang paling banyak dicerca karena pendekatan baru Southgate yang pragmatis dan berorientasi pada hasil ketimbang proses. Tak pelak banyak yang beranggapan Euro tahun ini susah buat dinikmati sebagai hiburan. Spanyol pun tak lagi menggunakan taktik tiki-taka idealis yang jadi kunci sukses mereka pada 2008 dan 2012.
3. Ketiadaan tim kejutan yang melaju jauh seperti edisi-edisi sebelumnya

Faktor lainnya adalah minimnya tim kuda hitam yang bisa menembus semifinal. Ini membuat penikmat sepak bola jadi kurang antusias menonton kelanjutan Euro 2024. Beda dengan beberapa edisi sebelumnya, seperti Rusia yang capai semifinal Euro 2008, Spanyol yang biasanya langganan babak 16 besar jadi juara, serta Yunani yang pada 2004 tiba-tiba merebut Piala Eropa bak petir di siang bolong.
Tahun ini, Turki dan Swiss sempat jadi harapan terakhir alias kuda hitam tersisa pada semifinal. Sayangnya, mereka harus pulang setelah kalah dari lawan masing-masing pada babak perempat final. Kontan, hanya tinggal empat tim besar yang tersisa di Euro 2024, yakni Inggris, Spanyol, Belanda, dan Prancis.
Ketiadaan tim kejutan jelas mengurangi keseruan Euro tahun ini. Menurut liputan Joseph Stromberg untuk Vox, manusia punya kecenderungan mendukung tim nonunggulan karena beberapa alasan. Salah satunya keinginan untuk terwakili serta tuntutan terhadap sistem masyarakat yang adil.
Hanya Georgia yang mungkin akan dikenang karena mengulang kisah inspiratif Islandia pada Euro 2016. Keduanya jadi debutan yang berhasil lolos fase grup. Islandia saat itu mencapai perempat final, setingkat lebih baik dari Georgia yang lolos sampai babak 16 besar. Ada beberapa rekor lain seperti Slovakia yang tembus fase gugur pertama kali atau Skotlandia yang punya fans terbaik, tetapi sepertinya bukan highlight yang bakal diingat publik dalam waktu lama layaknya Rusia dan Spanyol pada 2008 serta Yunani pada 2004.
Ulasan di atas mungkin tidak bisa mewakili opini semua orang. Euro 2024 mungkin jadi salah satu momen terbaik buat sebagian suporter, terutama negara-negara yang timnya tampil memuaskan. Namun, sebagai seseorang yang tak punya timnas di turnamen tersebut, apa pendapat pribadimu soal edisi Euro kali ini?