Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kejatuhan Strasbourg, Contoh Jebakan Middle Income dalam Sepak Bola?

penggemar RC Strasbourg Alsace membawa spanduk dukungan berbahasa Jerman (instagram.com/rcsa)

RC Strasbourg Alsace baru saja mengalami momen gemilang pada musim 2021/2022 lalu dengan bertengger di peringkat enam klasemen akhir Ligue 1 Prancis. Namun, semuanya berbalik drastis musim 2022/2023. Mereka kembali ke habitat aslinya, penghuni tetap zona degradasi.

Apa yang membuat Strasbourg terpuruk begitu cepat? Ulasan berikut mungkin bisa menjawab beberapa rasa penasaranmu.

1. Perubahan besar terjadi ketika pelatih Julien Stephan diperkenalkan pada musim 2021/2022

pemain RC Strasbourg (instagram.com/lucasperrin5)

RC Strasbourg memboyong Julien Stephan dari Stade Rennais FC pada pertengahan tahun 2021. Meski sempat jatuh bangun pada awal musim 2021/2022, performa Strasbourg meningkat pesat di bawah komando Stephan. 

Stephan berhasil menjawab ekspektasi penggemar dan petinggi Strasbourg yang sudah lelah dengan performa klub mereka selama beberapa musim terakhir sejak promosi kembali ke Ligue 1 pada musim 2017/2018.

2. Pernah tahan imbang Paris Saint-Germain dan menempati posisi enam klasemen akhir Ligue 1

pertandingan PSG lawan RC Strasbourg pada 30 April 2022 (instagram.com/ligue1ubereats)

Pada musim 2021/2022, secara mengejutkan mereka berhasil meraih 17 kemenangan, 12 hasil seri, dan hanya 9 kekalahan. Ini mengalahkan catatan Strasbourg sebelumnya di Ligue 1 ketika masih diasuh Thierry Laurey.

Dengan catatan ini pula, klub yang berlokasi di perbatasan dengan Jerman ini mampu bertengger di posisi enam klasemen akhir. Rekor terbaik mereka sejak jadi juara liga utama Prancis (saat itu masih bernama Division 1) pada 1977/1978. 

Salah satu pertandingan yang cukup dikenang adalah momen pertama Strasbourg menghindari kekalahan dari Paris Saint-Germain pada 30 April 2022. Saat itu mereka berhasil menahan imbang juara bertahan Ligue 1 dengan skor 3-3. 

3. Pemain-pemain terbaiknya mulai menua dan tidak ada upaya merekrut pemain muda potensial

Ronaël Pierre-Gabriel (instagram.com/rcsa)

Kemajuan prestasi RC Strasbourg langsung menarik perhatian banyak pihak, terutama menyasar pemain-pemain bintang mereka. Melansir Get French Football News, ada empat pemain dengan rapor baik pada musim 2021/2022. Mereka adalah Ludovic Ajorque (penyerang), Matz Sels (kiper), Sanjin Prcić (gelandang bertahan), dan Gerzino Nyamsi (bek tengah).

Tiga dari empat pemain di atas sudah memasuki usia 30 dan secara natural akan mengalami penurunan performa. Strasbourg juga melepas beberapa pemain andalan mereka, seperti Mahamé Siby (FF Malmo), Adrien Thomasson (Lens), dan Anthony Caci (FSV Mainz 05), Ronaël Pierre-Gabriel (FSV Mainz 05). 

Melihat kondisi ini, pihak klub ternyata tidak melakukan tindakan progresif untuk memperbarui tim dengan menyuntikkan pemain-pemain baru potensial. Mereka hanya merekrut pemain jebolan akademi, free agent, serta menerima kembali sejumlah pemain yang masa pinjamannya selesai di klub lain. Secara pendapatan dan pengeluaran, pada jendela transfer musim ini, mereka juga gagal meraup selisih untung yang signifikan.

4. Julien Stephan didepak dari kursi pelatih pada Januari 2023 karena ancaman degradasi

Julien Stephan (instagram.com/rcsa)

Selama paruh musim 2022/2023, RC Strasbourg gagal menyamai prestasi mereka di musim lalu. Ini akhirnya bermuara pada didepaknya pelatih Julien Stephan pada Januari 2023. Sampai saat ini Strasbourg belum menemukan pengganti sang juru taktik dan mendapuk asisten pelatih Mathieu Le Scornet sebagai pelatih interim. 

Menariknya, bukan hanya Strasbourg yang melakukan pemutusan kerja pada pelatih masing-masing. Melansir Opta Analyst, sepanjang musim 2022/2023 yang belum berakhir ini sudah ada sembilan klub yang memecat pelatihnya. Angka ini hanya sedikit lebih rendah dari rekor musim 2004/2005 dan 2015/2016.

Alasan pergantian pelatih yang cukup sering terjadi di Ligue 1 disimpulkan oleh CBS Sports sebagai buah dari kerja sama Professional Football League (badan yang membawahi liga profesional di Prancis) dengan sebuah perusahaan ekuitas. Ditambah dengan kebijakan baru pascapandemi yang mengizinkan klub menggunakan suntikan dana besar untuk berbagai kebutuhan. Bukan hanya transfer dan gaji, tetapi juga mempertahankan reputasi baik sepak bola Prancis (misal dengan memperbaiki infrastruktur dan membangun citra positif).

Apalagi, pada musim 2023/2024 nanti, jumlah klub Ligue 1 akan dikurangi menjadi 18 tim dari sebelumnya 20. Artinya akan ada empat tim dari Ligue 1 yang terelegasi pada musim 2022/2023. Upaya tersebut dilakukan untuk membangun liga profesional baru di kasta ketiga (Championnat National). Dengan berbagai perubahan ini, banyak klub yang tidak ragu melakukan berbagai upaya untuk menghindari relegasi.

Salah satunya Strasbourg yang per Januari 2023 ini menduduki peringkat 16. Bila tidak ada perubahan berarti, mereka akan terancam terdegradasi ke Ligue 2 musim depan.

5. Apakah Strasbourg bisa dikategorikan contoh middle income trap dalam sepak bola?

pemain RC Strasbourg (instagram.com/rcsa)

Kasus Strasbourg yang hanya mencicip kejayaan selama semusim mungkin bisa dianalogikan dengan middle income trap. Istilah ekonomi ini dideskripsikan Aiyar, dkk. dalam jurnal IMF berjudul "Growth Slowdowns and the Middle-Income Trap" sebagai fenomena stagnasi pendapatan yang banyak melanda emerging countries.

Mereka mengalami peningkatan pendapatan signifikan pada era tertentu, tetapi kemudian tidak lagi bisa meningkatkan angka tersebut setelah beberapa waktu. Akhirnya, mereka gagal mencapai standar negara dengan pendapatan tinggi. Biasanya disebabkan mereka terjebak di zona nyaman sebagai negara manufaktur yang minim inovasi.

Di sektor sepak bola global, tim-tim asal Asia dan Afrika sering dianalogikan sebagai fenomena jebakan middle income. Merujuk tulisan Krause dan Szymanski yang berjudul "Convergence vs. the Middle Income Trap: The Case of Global Soccer", negara-negara Benua Asia dan Afrika berada di fase ini karena kurangnya inisiatif, inovasi, dan akses.

Mereka tidak memiliki stabilitas liga dan sistem regenerasi pemain muda sebaik Eropa dan Amerika Latin. Ditambah minimnya kohesi regional yang membuat pemain sepak bola di Asia dan Afrika tidak memiliki pengalaman sebanyak atlet yang bermain di Eropa dan Amerika Latin.

Di ranah yang lebih sempit, middle income trap bisa diamati terjadi pada klub dengan pendapatan menengah seperti Strasbourg. Seperti yang bisa kita lihat, Strasbourg yang meski diuntungkan dengan kesempatan bermain reguler dengan tim-tim terbaik Eropa dan dapat eksposur besar karena berada di Ligue 1, ternyata tidak bisa mendobrak dominasi dan tradisi menang tim-tim besar.

Sama dengan analogi sebelumnya, mereka terjebak di zona nyaman dengan tidak melakukan terobosan-terobosan inovatif selain cara instan seperti mengganti pelatih. Padahal, sebagai klub medioker dengan pendapatan tak seberapa, pemberdayaan akademi merupakan salah satu investasi yang menjanjikan.

 

Kesuksesan Benfica dan Brighton Hove & Albion mengoptimasi akademi mereka kini berbuah hasil. Meski ditinggalkan pemain-pemain bintangnya, mereka tetap bisa bertengger di papan atas liga domestik karena tak kesulitan mencari pemain pengganti. Secara pendapatan pun mereka dapat meraup profit yang lumayan dari menjual pemain jebolan akademi yang berhasil bersinar.

Bagaimana menurutmu? Bisakah Strasbourg dikategorikan berada dalam jebakan middle income?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo
EditorAtqo
Follow Us